Sabtu, 31 Mei 2008

Terjerembab Kata



Beberapa waktu lalu ketika sedang asyik-asyiknya bikin sebuah aransemen lagu di studio pribadi yang acak-acakan itu, datang seorang teman lama. " Lagi ngapain mas ? Lagi bikin lagu ruhani ya ? Entah seperti biasa bila sehari tanpa guyon hidup terasa garing. Maka jawaban yang keluar dari mulut saya berbalik nerocos menjadi pertanyaan baru : " Emangnya ada lagu Jasmani ? Jangan - jangan nanti sampeyan menyuruh saya agar instrumen dan perangkat rekamnya bersyahadat dulu sebelum mengerjakan musik ruhani.

Terus apa saya juga harus pakai baju muslim ? Sebab kalau pakai kaos oblong kowor-kowor kayak gini nanti sampeyan anggap pakai baju musyrik. Kita ini kok senang bikin istilah yang tidak pada tempatnya. Kalau diterus-teruskan bisa-bisa saya ini nggak sempat berkarya.....Teman saya hanya cengengesan. Mboh kah....katanya.

Dengan teman yang satu ini selalu saja ada rasan-rasan yang sifatnya menertawakan diri sendiri.

Seperti biasa, bila kedatangan tamu, segala pekerjaan otomatis berhenti. Dan seperti biasa juga, saya harus siap jadi keranjang sampah menampung segala keluh kesah.

Terkadang diam-diam saya mbatin sama Gusti Allah dengan sedikit protes " Ya Allah ada apa sih dengan mereka yang segalanya sudah lebih dari saya. Baik dari sisi pendiikan, ekonomi, pengakuan masyarakat, kelengkapan keluarga dan sejenisnya. Seharusnya saya dong yang sambat-sinambat kepada mereka ! Apa karena saya ini pengamen sehingga mereka menganggap ke rumah saya sama dengan pergi ke tempat hiburan untuk membuang keluh kesah. Tapi ya wis nggak apa-apa kalau takdir saya memang sebagai lelaki penghibur. Manut....

Untungnya eh untungnya...Kok Allah itu sangat sayang. Sehingga semua keluh kesah teman-teman yang datang kok ya terjawab dengan mudah. Allah Maha Menuntun. Padahal yang namanya mulut ini terasa njawab sekenanya. Parameternya kesuksesannya sih mudah tetapi memang jauh dari kacamata ilmiah ataupun klenik. Pertama biasanya matanya berkedap-kedip kayak orang habis kena gendam, kemudian mulai senyam-senyum, lalu bicara jadi semangat. Kemudian diakhiri dengan guyon memel seperti bercandanya anak kecil. Wajah yang kusut jadi ceria.

Ah...Apa ada di dunia ini yang bisa menandingi kebahagiaan dan keceriaan bagai anak kecil yang fitri itu ?

Tetapi terkadang ada juga yang datang dengan problematika seperti surat Al Baqoroh. Ibaratnya kalau saya menjawab sapi, dia kembali membalik pertanyaan lagi : yang gemuk apa yang kurus ?
Saya jawab, "yang kurus mas....
Tapi yang tua apa muda ?
Yang muda mas...
Tapi yang hitam apa putih ?
Yang putih mas....
Tapi yang betina atau jantan ?
Yang betina mas...
Tapi yang cerewet apa yang patuh ?
Kalau sampeyan itu orangnya cerewet, pasti nanti ketemu yang cerewet. Entah itu kecerewetan di sekitar atau kecerewetan-kecerewetan dalam diri sendiri.Semua hanya refleksi diri sendiri. Sampeyan itu hanya butuh istirahat. Diam.
Tapi diam tidur apa diam bicara ?
Tapi...tapi....dst...Uhh...saya yang ilmunya cekak ini ganti bingung....

Kalau pertanyaan itu berlanjut nggak selesai-selesai, akhirnya saya stop, " terserah yang penting sapinya harus ada dulu !. Saya yakin sampeyan nggak punya sapi sebanyak itu. Saya hanya menyimpulkan bahwa si teman ini sedang terlilit pikirannya sendiri. Ia harus memulai action dari ujung benang terawal dari sebuah kekusutan diri.

Penyelesaian termudah dan temporer ya saya panggilkan tukang bakso atau pangsit mie. Kalau udah kenyang biasanya aliran darah yang deras di kepala pindah ke perut. Jadi ngantuk lalu ndhlosor, tidur. Hilanglah masalah seiring hilangnya kesadaran. Kemudian terjadilah defragmentasi alami dalam tidurnya.
Kalau tetap saja agresif kuat melek, terpaksa saya harus mengeluarkan jurus terakhir. Ludrukan !. Sebuah seni menertawakan keterhimpitan hidup. Sejarah mencatat, seni ini telah terbukti mampu menggerakkan orang Jawa Timur mengusir penjajah. Dan sayapun berusaha membebaskan seseorang dari keterkungkungan penjajahan kata-kata. Mengikhlaskan kata menggapai makna. Melawan manipulasi kata yang kelihatan serius dan bijaksana tapi bertujuan narcis, dilawan dengan cara menyulap kata yang lucu menjadi sebuah makna pencerahan.

Seperti contoh plesetan kata ludrukan tapi memang pernah terjadi. Seorang teman yang begitu perhatian menasehati saya : Dod, daripada kamu ngendhog tunggu popok terus di Malang, mbok kamu pergi ke Jakarta merantau mengembangkan karir. Dengan kemampuan seperti ini, di sana pasti sangat banyak orang yang mau menerima kamu. Pasti kamu cepat sukses dan kaya.
Saya jawab sekenanya: " Lho daripada saya capek -capek ke Jakarta, mbok Jakarta aja suruh ke sini.....
"Pancet ae...dasar kamu ! maunya minta dikelilingi dan ditamui orang... kayak Ka'bah aja...
Lho , kalau kamu mau ngganti posisiku yang katamu kayak Ka'bah, ya malah enak saya. Asalkan kamu kuat hitamnya.

Ah...siapa kuat dianggap hitam. Semua orang ingin dianggap putih suci....
Ya enak jadi yang hitam dong. Wangwung. Persis kayak Ka'bah yang dikelilingi orang thawaf. Berdiam hening di tengah agar di kelilingi yang putih suci berseri. Enak lho...diam di Ka'batullah nggak capek muter-muter.

Dan tak lama beberapa waktu setelah guyonan itu, ehhh... ndhak tau gimana ceritanya, saya benar-benar dapat order dari Jakarta beberapa kali. Guyonan itu ternyata sangat didengar Allah. Mau gimana lagi, lha wong Allah itu maha Pendengar kok.

Dialog itu hanya metode guyon untuk saling bertafakur menyiratkan bahwa seseorang tidak boleh iri hati terhadap perolehan orang lain. Karena belum tentu bila saja nasib itu bisa ditukar, maka seseorang yang menginginkan nasib temannya benar-benar mampu memikul layaknya sang teman yang telah terbiasa memikul nasibnya sendiri.

Yah... guyonan sekedar mengukur kemampuan diri.Kata-kata yang terucap dalam dialog itu hanyalah medium penyampai makna. Kata-kata itu sama sekali tidak dapat dijadikan pegangan harfiah dan diseriusi.

***
Pembebasan kata melalui humor sebenarnya adalah masalah yang sangat serius. Humor ini bertujuan meluruskan makna kata yang diselewengkan. Mengentas kata yang terjerembab dari makna. Meng"hanief"kan yang munafik dengan metode kegembiraan.

Anggapan tentang pelurusan munafik di sini bukanlah definisi yang seram-seram dan menuduh seperti yang sudah-sudah. Melainkan memfitrahkan orang sesuai kadar kemampuan diri. Meluruskan konsep angan-angan kemudian membenturkan dengan realitas keseharian melalui metode outframe. Humor.

Tertawa adalah pijat refleksi syaraf. Dalam ilmu psikologi, bila di kepala seseorang telah mengalami kejenuhan puncak karena otaknya full, kalau seorang itu tidak segera berkehendak untuk mengaplikasikan, secara alamiah otaknya akan menguraikan pikiran-pikiran itu dengan tertawa. Masalah utamanya, proses tertawa ini disadari atau tidak oleh pelaku pemikir. Bila disadari, akan menjadi pencerahan sekitar sedangkan bila tidak disadari akan berakibat menjadi keresahan sosial sekitar.

Pelepasan model tertawa ini tak lain karena tiap orang punya kebutuhan dasar akan kerileksan dan ketenangan. Salah satu zat dalam otak yang menghasilkan kerileksan itu bernama Melatonin dan endorphin. Dan zat itu bisa dirangsang atau diproduksi dengan tertawa. Yang jadi blunder, siapa yang menyuruh tertawa ? padahal isi otaknya hanya berisi hal serius melulu ?

Tentu saja Allah Yang Maha Penyanyang. Allah memberi jalan itu agar seseorang itu tetap hidup dan menjadi ibrah bagi sekelilingnya. Baik mereka yang tertawa dengan kesadaran penuh ataupun orang yang tertawa secara tidak sadar. Jadi orang yang tertawa itu sebenarnya sangat serius.Dan orang yang serius melulu itu sebenarnya telah kehilangan zat ketawa. Dzat ketenangan batin.

Dulu waktu masih ABG ada seorang teman yang sukanya cerita apa saja yang dilihat. Sampai-sampai kalau dia datang, teman yang lain sudah siap ngrasani " awas koran datang ...awas RRI " Ketika si teman ini mulai cerita ngalor ngidul seperti siaran radio, yang lainnya mulai berkomentar cekikikan tertawa dengan bahasa tarzan : Ooo....wuiih...usss...wot tot tot...."ighya...hmmm.....pret...mphff...ckk...ckk..ckk....mocok ce lek....

Kalau sudah begitu si teman ini mulai diam sendiri. Rupanya komentar bahasa tarzan yang disertai tawa canda itu lebih ampuh meredam radionya daripada menanggapinya dengan serius. Perasaannya pun tersentuh.Ia tahu diri dan jadi tenang kembali. Sebab kalau ditanggapi biasanya tambah kenceng siaran nggedhabrus nya. Bahkan bisa menjurus perkelahian sesama teman.

Bahasa yang tak beraturan ini beralih fungsi menjadi pesan makna yang dalam daripada bahasa serius. Seakan teman lainnya sudah sepakat menerjemahkan bahasa tarzan itu dalam bahasa batin " emangnya kamu aja yang tahu kejadian itu... Ngomong yang ada di realitas kita aja. Jangan muluk-muluk. bergembira bersama aja dah. Itu sudah lebih dari segalanya...

Ahh...makna itu rupanya telah mensirnakan tata bahasa.

Ingatan cerita-cerita ini seakan menggurui saya tentang beragama : Udahlah, emangnya kamu aja yang tahu....banyak yang lebih pakar, cuman mereka silent majority dan tawadhu. Jangan sampai hidupmu terjerembab dan terlilit oleh kata mewah yang kau ucap sendiri. Cukuplah berbagi kebahagiaan dan pengalaman apa adanya saja. Kalau ada yang tak sepaham jangan diladeni. Apapun alasan ayatnya. Itu hak mereka menyangkal. Toh itu hanya karena mereka tidak mengalami seperti yang kamu alami.

Bila engkau melihat perbedaan, tersenyum saja. Ibaratnya biru dengan blue akan bisa jadi perang bagi yang sama-sama belum melihat realitas warna itu. Water dan air akan dianggap realitas berbeda. Tetapi bagi yang sudah melihat, merasakan dan menggunakan realitasnya, ia hanya ketawa-ketiwi melihat perbedaan-perbedaan yang berseliweran. Simpel saja, satu musuh sudah terlalu banyak, seribu saudara masih kurang. Hibur setiap orang. Temani kesedihannya.
***
Kita ini sering bersitegang hanya karena beda istilah. Kemudian penjabarannya pun kita ulur-ulur begitu panjang sesuai definisi yang menyenangkan diri sendiri. Kalau dalam rumusan Religious Quotient kita sebut jawaban nilai B. Pernyataan benar alasan benar tetapi tidak berhubungan. Dan kalau kita jujur, hal ini tidak dapat dikatakan dialog atau diskusi melainkan duo monolog. Jauh dari nilai tabayun..Sekilas tapi tak sama. Tidak ada kemauan mencari titik temu. Ilmu yang kelihatannya hebat dan berdefinisi jutaan kata, akhirnya hanya mengerucut pada kata : Pokoknya begini ! Pokoknya tidak begitu !

Kita semua pasti sering melakukan beginian. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.

Seandainya kita menerapkan ayat Lakum dienukum waliyadiin ke dalam diri sendiri, maka selesailah sudah segala otot-ototan itu. Konsep Al Kaafirun adalah konsep kemengalahan yang bertujuan memantapkan konsep Islam itu sendiri. Sebuah makna salam disampaikan lewat ayat Lakum dienukum waliyadiin. Oke....kalau engkau punya agama atau sesuatu yang sangat engkau yakini pemahaman kebenarnnya, jalani saja. Ndhak perlu beradu pemahaman yang jelas berlainan. Mari berfastabiqul khairat saja. Uji tesis dengan pembuktian lapangan realitas manfaat. Itu lebih amaliyah, objektif dan terhormat.

Ayat ini begitu mengingatkan kita untuk tidak berpanjang lebar terhadap sesuatu yang tak se ide.



Wassalam. semoga bermanfaat

1 komentar: