Minggu, 04 Mei 2008

Bekas Sujud dan Kurs Kebahagiaan



Dulu, setelah masa ABG saya habiskan dengan kenakalan yang lumayan luar biasa, tiba-tiba secara sunatullah habislah gelap terbitlah terang. Diri ini digerakkan Allah untuk sholat tobat. Tapi saking semangatnya, setiap kali sholat, sujudnya sangat menekan ke lantai sebagai pertanda kapok yang luar biasa. Apalagi didukung salah satu ayat Quran yang menyatakan tanda-tanda muka orang beriman tampak dari bekas sujud.

Saya mengartikan ayat itu dengan keriya'an tak disadari. Seakan-akan ingin menunjukkan kepada setiap teman atau saudara, " ini lho tanda hitam di dahiku bekas sujud. Aku sudah kapok ". Tak terasa pula diri ini mulai membandingkan jidat sendiri dengan jidat sekitar sambil melengos sinis kepada jidat yang kurang hitam. Secepat itu diri ini lupa asal bahwa kemarin baru saja bertahun-tahun hidup ngawur.

Ehh... berbulan-bulan terbawa perasaan seperti itu, tiba -tiba ada suatu peristiwa yang menohok keriya'an itu. Seorang teman bercerita, sebentar lagi teman-teman dari Hadramaut Yaman akan datang. Dia ngajak orang sana. Kalau kamu tahu, kulitnya itu hitam legam melebihi negro Amerika. Pokoknya persis seperti hajar aswad lah...

Dheg ! diri ini serasa lunglai sambil berfikir, " lha iya ya, bagaimana kita bisa mengenali bekas hitam sujudnya ? lha wong mereka dalam ukuran kulit sudah sangat hitam. Lha kan persis kayak mencari semut hitam berdiri diatas batu hitam di kegelapan malam, dalam gua lagi ! Kalau bigini Allah nggak adil dong ! Jangan-jangan yang paling tampak sholeh nanti orang bule dan Jepang. Sebab antara kulit dan bekas sujud akan mudah terlihat kontras. Lagipula kulit mereka lebih tipis dan mudah iritasi karena gesekan.

Ah, betapa bodohnya si ABG ini menyamakan makna Quran dengan bacaan komik. Akhirnya saya tersadar, dulu senengnya sholat pakai sajadah kakek yang tipis dan aus agar cepat mengikis jidat, kemudian berubah ganti merengek minta oleh-oleh sajadah tebal nan lembut dari Makkah. Supaya wajah tetep mulus kayak bintang sinetron.

*

Bekas sujud sesungguhnya adalah kepakaran diri dalam berendah hati kepada manusia. Dahi menempel ke tanah adalah sebuah pesan bahwa konsep isi kepala haruslah tertransfer bermanfaat memanusiakan manusia dan membumi. Karena bumi alias tanah adalah unsur dari terciptanya manusia. Tempat kita semua berpijak.

Hal ini iblis tidak bisa mengerjakan. Ada yang bilang iblis tidak bisa karena demi menjaga ketauhidan murni sehingga hanya mau sujud kepada Allah. Tapi iblis lupa kalau Allah telah memfirmankan bahwa di dalam manusia Kutiup sebagian Ruh Ku.

Dengan kata lain menghargai sesama manusia sama saja dengan mensujudiKu. Sialnya, wujud rupa manusia adalah hijab tertinggi. Tapi bagaimanapun kita harus belajar tak menghiraukan bentuk wajah agar diri ini mampu bersujud dengan benar dalam memandang wajah Allah.

Tapi ya memang itu beratnya. Terkadang maunya beimajinasi ketemu guru ngaji yang berwibawa dan lemah lembut, ehh...ndhak tahunya yang ditemui kok hanya orang gembel gondrong crongohan dan agak bau. Padahal siapa tahu beliau sebenarnya adalah Khidhr yang lagi nyamar meng-intel-i jejeg nya ketauhidan kita.Terkadang pula maunya ditamui orang baik-baik yang bawa rejeki, eehhh ndhak tahunya yang datang malah preman sempoyongan sambil pinjam uang plus minta doa...

Bila Kita tak bisa ikhlas memaknai sujud, hidup akan terombang-ambing seperti arwah iblis gentayangan. Membumi tidak, melangit tidak. Kebingungan di tengah kedalaman sujud. Diri ini masih belum bisa terima bahwa sujud itu adalah merawat manusia. Sehingga akhirnya sang jiwa tak mampu bersemayam kekal di langit ke tujuh.

Kita belum terpahamkan bahwa konsekuensi sujud adalah rakaat salam, yang berarti menjamin keselamatan sekitar, dus menjadi pengingat akan asal muasal nilai ajaran Islam yang tak mengenal pengurungan diri alias kerabian..

Fungsi sujud menghargai manusia tak lain untuk mengikis kesombongan diri sampai enthek ngamek. Sebab sebiji zarah kesombongan sudah jadi penghalang utama seseorang masuk surga. Yah...tempat dimana tak ada lagi amarah, hujat menghujat, tantang menantang, tonjok menonjok, makan memakan dan bakar membakar seperti keadaan neraka. Duhai surga dambaan mukhlisin....

Jadi tak perlu heran banyak orang sering bersujud tetapi malah suka marah-marah. Makin sering sujud makin mudah tersinggung. Maklumi saja bahwa mas Fulan belum mengetahui tehnik mentransfer isi kepalanya yang penuh itu ke bumi tempat ia berpijak. Temani saja, sebab ia hanyalah orang kesepian yang ingin cari perhatian dan teman pengikut atas kebingungan posisi diri. Hiburlah, sujudi kakinya, pegang kakinya, lalu panggul. Biarkan ia berteriak girang sembari mengangkangi kepalamu dengan kakinya. Nikmati saja. Lonjak-lonjak menari-nari lah seperti reog agar yang terpanggul gembira hatinya.

Itulah ikhlas, mengerjakan sesuatu bukan untuk perolehan diri sendiri. Sikap yang terlihat memosisikan harga diri rendah ternyata membuahkan kegembiraan manusia lain. Inilah sujud. Kebahagian kita pun jadi naik peringkat dari kebahagiaan berkelas anak-anak yang hanya egosentris berubah menjadi kebahagiaan orang tua. Biarkan aku yang susah dan kemproh nak, asal engkau bahagia....

Bahkan suatu saat kita harus mengejar kelas kebahagiaan yang lebih tinggi. Kebahagiaan seluruh manusia kemudian berlanjut kebahagiaan semesta. Kebahagiaaan kelas udara. Menghidupi tapi tak dilihat keberadaannya. Rahmatan lil alamien.

**

Memang, banyak model kebahagiaan yang tidak mudah kita pahami. Karena dalam berbagai hal, kita sudah terbiasa mengukur kebahagiaan dengan cara pandang kuantitas formal. Kualitas esensi nonformal tak pernah kita seriusi dan kita potret secara cermat.

Seharusnya dalam memahami kegembiraan, kita bisa mencontoh permainan ekonomi modern seperti valas. Dalam dunia valas, broker tidak lagi melihat angka mata uang tetapi lebih memilih nilai tukar. Mereka menawar mahluk yang bernama kurs.

Seandainya memilih, bila kita sadar bahwa US$ 1 = Rp 9.000,- , Manakah yang kita pilih antara US$ 100 dengan Rp 100.000,- ? Banyaknya deretan angka ataukah nilai mata uangnya ? Hal ini persis seperti pilihan kita membeli tiket kebahagiaan. Allah terkadang memberi kita tiket jalan tol kebahagiaan, tapi kita lebih memilih jalan umum walaupun macet. Alasannya sederhana, bisa lihat macam-macam, bisa mampir sana-sini. Banyak pengalaman dan oleh-oleh. Otomatis banyak bahan buat nggedhabrus.

Seringkali kita diberikan kebahagian oleh Allah dengan cara yang sangat by pass sederhana bahkan terkadang tanpa perantara apapun. Lhesss...tiba-tiba tanpa sebab akibat apapun, otak, hati dan tubuh jadi rileks semilir. Byar ! semua terasa gamblang padhang, ikhlas. Namun yang bikin suasana itu cepat hilang karena kita tak pernah mengakuinya sebagai anugerah kebahagiaan yang dahsyat.

Kita terbiasa terdoktrin bahwa yang namanya bahagia itu harus melalui proses makan enak dulu, kalau sudah bisa beli baju bagus, punya mobil keren, dapat pujian kejeniusan dan sejenisnya. Padahal makanan enak, baju bagus, ataupun kecerdasan hanyalah trigger atau perantara penyampai menuju cita-cita bahagia. Ia hanyalah sekedar stimuli zat bahagia dalam tubuh.

Kalau kita jujur, bukankah kita semua ingin secepatnya hidup bahagia, apapun caranya ? Bahkan jalan haram pun kita oyi saja. Tapi anehnya, kalau Allah langsung kasih cara bahagia kontan, kita malah susah, bingung dan nggak percaya.

Jadi kalau kebahagiaan itu langsung di ilhamkan oleh Allah kepada diri kita secara kontan tanpa perantara apapun, ngapain malah masih bingung mempertahankan perangkat pencapai kebahagiaan itu ? Akhirnya makin banyak perangkat itu, makin sulit lah diri kita merumuskan bentuk mahluk yang bernama bahagia ini.

Wong namanya makin sulit merumuskan, ya jelas otomatis hidup ini makin kayak Mr. Sumit, susah dan rumit. Tapi ya santai aja, ndhak perlu kebakaran jenggot, nikmati saja kesusahan-kesusahan itu. Toh kita sudah dengan rela hati berjibaku mempertahankannya.

***

Peralatan kebahagiaaan itu persis seperti tongkat krug bagi orang yang punya masalah kaki. Semakin banyak bantuan peralatan, menandakan semakin lemahlah kedirian kita berjalan menapaki kebahagiaan. Tapi anehnya setiap hari dari pagi sampai kelelawar keluar sarang, kita ini memeras keringat hanya untuk mengoleksi berbagai peralatan perantara kebahagiaan ini. Berjuang untuk melemahkan diri sendiri.

Bila saja kita sampai pada tahap ketergantungan menuhankan peralatan perantara ini, maka siap-siap saja kalau Allah melengos kepada diri kita. Allah akan mencabut kebahagiaan itu dari diri kita. Saya dan anda pasti pernah merasakan. Merasa bisa terhadap segala sesuatu tapi tak bisa merasakan ekstase kegembiraan atas segala perolehannya. Memiliki berbagai wasilah kebahagiaan namun tak kunjung ketemu Pak Bahagia. Maybe, beliau lagi pulang ke desa kali ya....?

Makin lama kita seperti kecanduan narkoba. Porsinya makin banyak tapi efeknya makin berkurang. Bila telat sedikit, sakit luar dalam luar biasa. Pil dan bubuk haramnya tak pernah kita konsumsi, namun sifat barang itu kita install secara berjamaah, setiap hari, bertahun-tahun dengan daya jihad luar biasa. Kita pun tak mampu punya ilmu daya tawar sezarah pun di hadapannya.

Tanda-tanda kita terkena pengeringan celupan Allah, biasanya ada ketidaksinkronan antara yang kita kuasai dengan sifatnya. Yang kaya jadi pelit takut tekor. Padahal makna kaya adalah kemampuan memberi tanpa khawatir kehabisan.Yang pandai jadi apriori mudah salah sangka dan menghujat orang. Padahal hakikat pandai adalah kepakaran menyerap apa saja untuk dijadikan kelapangan hidup. Mewujud menjadi manusia universal yang mampu mewadahi orang terbelakang sekalipun. Yang merasa punya ilmu ma'rifat mudah tersinggung tak kuat hati melihat orang yang lebih maju spiritualnya. Padahal hakikat mar'ifat adalah orang yang sudah kosong fana tak memiliki apa-apa. Tak ada kehendak pribadi. Di apa-apain ya nggak apa-apa lha wong sudah nggak ada apa-apa. Apanya yang mau di apa-apain ?

Semua ketidaksinkronan itu karena terlalu kuat rasa memiliki perangkat kebahagiaan. Sesuatu yang dipinjamkan oleh Allah diaku menjadi milik pribadi. Persis seperti kalau kita kelamaan pinjam barang teman. Seakan-akan barang itu sudah berhak kita miliki. Sampai-sampai yang punya barang malah sungkan mengambil. Lha ini kan masalahnya bukan sesama teman, melainkan akhlak simpan pinjam kepada Tuhan.

Tapi ya sudahlah, nggak perlu diseriusi. Dunia ini laibun wa lahwun. Saya sendiri paling ya belum tentu bisa. Lha wong saya je ! ....jelas gak iso...yang bisa hanya kehendak Allah thok.

Sedikit metuwek, Ketika moment kebahagiaan tanpa perantara ini datang, mbok sekali-kali jangan menampik atau menawar. Cepat pegang era-erat dan nikmati. Sungguh, jangan ditawar-tawar. Mosok Allah di tawar rek ! wong kita belanja ke supermarket saja nggak berani nawar. Aneh ya... sistem Allah kita tawar, sedangkan dihadapan sistem kapitalis kita malah sami'na wa ata'na.

Ya Allah, mbok benahi pola pikir kami yang pathing krunthel nggak karu-karuan ini....

****

Beberapa minggu lalu, entah karena kesalahan manajemen kerja atau apa, singkat kata akhirnya saya harus menerima konsekuensi takdir tanpa bisa ditawar lagi. Bahwa salah satu rejeki yang bernama uang itu dalam beberapa hari tinggal delapan ratus rupiah doang. Plus saldo ATM tiga ribu rupiah. Cuman bisa buat beli kerupuk. Pokoknya asyik lah...( he..he..walaupun sebenarnya agak clingukan juga )

Seperti biasa, otak ini jadi blingsatan dan anehnya malah suka bermimpi yang muluk-muluk ketimbang saat kantong agak tebal. Wong namanya mimpi, ya sekalian aja yang muluk. Mumpung mimpi nggak perlu keluar keringat dan dilarang. Gratis lagi !.

Sebab kenyataannya mimpi membayangkan dapat undian seribu rupiah dengan membayangkan dapat semilyar, tanggapan otak kita akan sangat lain. Persis perbedaan membayangkan surga dengan neraka. Walaupun kenyataannya semua masih sama-sama angan-angan.Tapi ya apa salahnya berangan-angan positif dan muluk kayak kata para pakar LOA.

Karena saya tidak berhak membagi berita ini pada anak istri, maka harus ada cara menyenangkan mereka tanpa uang. Tapi nampaknya istri sudah tahu akan hal ini. Maka sebelum bersedih, dia saya ajak jalan-jalan naik motor, sambil berkhayal, berkelakar dan mencari jawaban hikmah.

Lho ! lha kok tiba-tiba kami nylonong keliling perumahan mewah. Why...why...why....diri ini bergumam menunggu wangsit sambil terus melihat-lihat perumahan yang asri itu. Kenapa saya harus jalan-jalan ke sini ? Ada apa dengan rumah-rumah ini ? kapan saya punya rumah sendiri ? dimanakah bakal rumahku ?

Hmmm... yah, seandainya kita punya satu kapling saja disini bla...bla...bla...Istri saya mulai mengigau.

Eiitt...saya terkesiap dari lamunan alam ghaib, lalu langsung memotong pembicaraan. Sebenarnya saya mau ngomong kok nggak enak, diam-diam sebenarnya kita di sini sudah punya jatah lima kapling. Tinggal mau tidaknya kita menempati.

Heh ! istri saya terhenyak antusias. Masak sih ? Lima kapling ?

Iya, sungguh, Di Sini ...!

Kapling pisan, moco Quran sak maknane. Kapling pindho, sholat wengi lakonono. kapling telu, wong kang sholeh kumpulono. Kapling papat, weteng siro ingkang luweh. kapling limo, dzikir wengi ingkang suwe. Itulah rumah sejati yang begitu jembar asri dan bikin kita tetap bisa cengengesan walau kas lagi nol.

Masalah kita sesungguhnya, apakah harus nunggu dapat rumah besar baru bisa merasa bahagia, atau pengen langsung dapat bahagia walaupun tetap nggak punya rumah kayak sekarang ? He...he... tapi kok kayaknya saya ini mbeling ingin dapat bahagia sekarang sambil menunggu siapa tahu tahun depan dapat rumah besar...

Istri saya hanya bisa ketawa gemes ngrasakno suami yang nggak beres cara kerja otaknya ini. Namun tiba-tiba dia hening sejenak. Yah...aku kangen sama Allah lagi....

Ya sudah kita ke studio biar nggak ada yang ngganggu, silahkan diam bertafakur berkangen-kangen dengan Allah sambil nungguin saya nerusin kerjaan yang nggak beres-beres ini. Biar dananya cepet cair. Ayo kerja, kerja dan kerja....

Rupanya kerinduan pulang ke rumah sejati itu menyirnakan penyakit liar kambuhan. Si angan-angan....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar