Sabtu, 13 Desember 2008

Awas ! Akan Ada Bingung Berjamaah

STOP PRESS...!


Gawat ! sudah ada tokoh yang terang -terangan ngajak golput. Di sisi lain ada tokoh yang terang-terangan juga meminta legalisasi pengharaman golput. Saya pribadi hanya berharap dan berdoa pada Allah :

" Ya Allah, semoga sehari sebelum coblosan aku Kau beri pekerjaan yang banyak demi menafkahi anak istri "

Sehingga di satu hari sebelum coblosan diriku begitu capek karena banyaknya pekerjaan. Otomatis kalau seorang laki-laki capek, pulangnya ya cari hiburan. Dan hiburan yang paling enak dan halalan toyyibah ya mencoblos istri sendiri....

Harapan saya, esok hari ketika pemilu, saya sekeluarga ketiduran pulas sampe sore karena kecapekan. Tentunya orang yang ketiduran tak bisa dikenai hukum wajib pasal apapun. Lha nanti kalau ada tetangga nanya " gak nyoblos, Pak ?"
Saya jawab, " sudah, tadi malem.... "
"Lho ?"

Kalau toh dipaksa nyoblos mengqada' seperti sholat, apa bisa ? wong surat suara sudah dibawa ke kecamatan.
Kalau toh pagi - pagi sudah terlanjur bangun, ya saya harus istikharah meminta petunjuk Tuhan dengan singkat, padat dan jelas...

" Ya Tuhan, Engkau pilih siapa ? kulo tumut kerso...."

Setelah itu saya kembali menyelesaikan tumpukan pekerjaan kemarin yang telah diberikan oleh Tuhanku. Karena ini lebih wajib dari hal apapun

Alasannya sih sederhana,

" Saya bukan orang lemah yang menyerahkan nasib saya kepada tenaga kontrakan lima tahunan. Dan saya juga bukan golput..alias golongan diampuu...ut tukang korup harta masyarakat.

" Saya adalah manusia yang punya kewajiban berkarya. Bukan budak isu dan angan-angan yang dikendalikan oleh segelintir orang."

Lho, berarti kamu tidak mematuhi pemerintah dan kekhalifahan !

Ups, jangan khawatir, pemerintah saya banyak. kemarin saya di perintah istri untuk nguras kolam ikan. Lalu si sulung merintah saya untuk mbetulin mainan yang rusak. Si bungsu tanpa kata sudah memerintah saya mengganti popok yang kena pub. Kakak saya memerintah untuk menjemput anaknya sekolah. Ibu saya memerintahkan untuk beli air galon. Dan banyak lagi pemerintah-pemerintah saya. ...

Dan sebagai warga pemerintahan yang baik, maka semua itu saya laksanakan sebagai bentuk pertanggungjawaban tugas kekhalifahan.

Sebab setiap manusia adalah pemimpin bin khalifah. Kalau saya sendiri belum bisa melaksanakan kepemimpinan pribadi dengan baik, apa bisa saya menentukan kepemimpinan yang lebih tinggi ?

Kalau sampean belum bisa membaca, apa bisa menentukan buku yang baik ? Jadi yang gradual dulu lah...melancarkan membaca, baru memilih buku yang baik. Jangan loncat-loncat kayak jurus kodok. Kaki belakang menendang yang di bawah, kaki depan bersikap mengerucut menyembah yang atas. Jadinya nggak karu-karuan seperti saat ini

Walah-walah...kok nglantur....

Ya memang kalau otak saya lagi berfikir model politik begitu itu. Sukanya menghubung-hubungkan, mencari pembenaran, membentuk opini, alasan dan undang-undang kebijakan yang jauh dari realitas bijak itu sendiri....

Kayak nggak ada kehidupan lain aja.....


wsb

Dody Ide

Selasa, 09 Desember 2008

Berihram di Dalam Negeri


Sewaktu kecil saat sholat berjamaah banyak kejadian lucu. Melihat teman sebelah garuk-garuk karena nggak khusyu, dengan niatan lugu teman satunya mengingatkan : “hei, kalau banyak gerak, nanti sholatmu batal.”

Dengan lugunya pula teman di belakangnya nyeletuk : “Sholat kok ngomong ! batal Lho.”
“ Lha gadah ! kamu juga ngomong ! sama-sama batal dong !”
Di sekelilingnya juga mulai cekikikan mendengar kekonyolan itu. Yang agak senior dengan setengah sinis nggerundhel : “Arek-arek iki rek...rame ae. Nanti mulutnya tak obras baru tau rasa. Sholat kok buat guyonan.”
Mungkin sesepuhnya masjid sambil meneruskan rakaat juga nimbrung dalam hati : “Ah...Seandainya mereka tahu manfaat dan nikmatnya sholat...”

Tak terasa, ternyata semua terlibat kebatalan-kebatalan yang tak disadari. Semua merasa benar. Semua merasa berkewajiban mengingatkan. Semua berhak marah bila agama jadi sesuatu yang tidak serius.

Semua ingin berbagi kebahagiaan spiritual. Namun mata hatinya masih melirik ke kanan kiri. Belum memandang lurus ke depan. Allah Sang Penggerak.

Semua berdebat kendaraan cara. Semua berdebat jalan kebenaran. Semua berdebat pengalaman. Terhenti di hiruk pikuk sampai tak terasa lupa tujuan.

Batal tapi benar. Batal tapi indah. Batal tapi lega. Batal tapi lapang. Tahu tujuan tapi masih berat di ongkos.

Sampai kita dewasa pun ternyata kebatalan-kebatalan itu selalu terjadi dengan bentuk yang lebih halus dan luas. Tentu sesuai dengan rumitnya parameter file otak kita tentang tafsir-tafsir. Mungkin kalau urusan mengerjakan tertib sholat yang lima waktu itu, bolehlah kita bangga merasa lebih khusyu ketimbang sahabat-sahabat kita yang kecil. Tapi bagaimana dengan mendirikan sholat ?

Perintah aqomu sholat, mendirikan sholat, seperti orang mendirikan rumah. Setelah mendirikan, sudah seharusnya seseorang harus bermukim di dalamnya. Menjadi mukimin sholat. Bermaqom di sholat. Kalau mengerjakan itu urusan lima waktu, sedangkan mendirikan dan bermukim harus 24 jam online. Tidak boleh melakukan gerakan-gerakan yang membatalkan.Khusyu 24 jam tanpa melirik sekalipun.

Kekhusyukan terus-menerus mendirikan sholat tanpa lirak-lirik kanan ini sudah seharusnya menjadi kewajiban moral. Tapi siapa sih yang betah tidak lirak-lirik senggal-senggol kanan kiri ?

“Ah...kalau berjilbabnya masih gitu sih belum kaffah. Ah...kalau metode penafsirannya begituan, apa bisa dipertanggungjawabkan. Ah...ngaji di pesantren belum tuntas kok kesusu ngomong. jadi nambahin kacau deh. Ah...kalau metode sholat yang ada di ibukota dan lagi ramai itu sih sebenarnya sudah jadi lauk pauk keseharian. Sayang kita tinggal di pinggiran yang tak tercover peradaban media modern.”

Itu semua sebagian contoh kecil lirikan dan gerakan diluar rakaat mata pikiran dan mata hati kita dalam bermukim sholat.

Kalau fikih syariat tidak sahnya rukun sholat karena najisnya pakaian, maka fikih hakekat batalnya gerakan mukim sholat ini penyebab utamanya adalah masalah model pakaian. Setiap hari kita berganti model baju tak pernah puas. Kemarin kita pakai baju intelektual. Setelah bosan, sekarang ganti kostum politikus. Besok mungkin sudah merancang desain model pengusaha. Kemarin ikut ini sekarang ikut itu. Lusanya karena nggak puas terhadap semuanya lalu pindah jadi spiritualis. Ketika nggak laku, balik lagi jadi pedagang. Menjual spiritualitas.

Kita semua terombang-ambing oleh perputaran trend baju gelar, profesi dan status sosial. Sehingga kita begitu peka mengamati baju-baju orang sekitar. “Oh...kalau itu pakaianku lima tahun yang lalu waktu ABG. Eihh...masih ada juga model begini. Wah...ini bisa jadi trend futuristik. Sip...ini hak patenku.Ini nilai jualnya tinggi. Waduh gimana bajuku ini kok mulai ketinggalan ya...” Mungkin begitu rutinitas gerundelan bathin kita.

Seandainya kita paham bahwa makna dasar baju hanyalah sebatas menutup nilai aurat ruhani yang sangat personal, maka selesailah sudah urusan yang tidak perlu itu. Kita tak lagi bingung jahitan model tafsir siapa, motif model gerakan halaqah siapa, benang spiritual siapa, warna pemahaman siapa dan kancing fatwa siapa. Kita juga tak perlu menyelidik menyingkap bagaimana sebenarnya bentuk body ruhani seseorang di balik baju itu.

Kepentingan kita seharusnya cukup mensibukkan diri menutupi pencapaian-pencapaian spiritual dengan baju putih bersih tanpa rajutan, tanpa warna, tanpa motif dan tanpa model. Netral seperti netralnya baju ihram. Inilah kostum sejati seseorang yang telah mencapai puncak ibadah. Baik ibadah sholat maupun haji ataupun ketiga rukun Islam lainnya.

Bila saja semua pemuka agama Islam telah berbaju ihram dalam keseharian, selesailah sudah pertikaian itu. Baik berihram secara syariat maupun hakikat.

Andai saya punya dana sangat buwessarrr, saya akan ber SMS kepada semua Kyai, Ustadz, Ajengan, Mursyid, Murobbi dan sejenisnya yang berbunyi :

Minggu depan di mohon kumpul di Istiqlal. Wajib memakai baju ihram. diharamkan membawa bendera dan label apapun. Ongkos ditanggung panitia. Mohon konfirmasi balik untuk masalah akomodasi. Wassalam, dari pecinta warosatul anbiya.

Ah...kita akan melihat Istiqlal bagaikan miniatur Makkah. Kita para makmum dan umat juga tidak akan larut dalam penilaian yang tak perlu. Kita tidak bisa lagi menilai : “Tuh yang sorbannya segedhe wakul itu golongan si A. Yang celananya hampir sedengkul itu pasukan B. Kalau yang berbaju koko itu jamaah C.Kayaknya yang kopyah hitam itu favoritku. Wah ini nih gamisnya mantap..”

Cara pandang kita akan dibutakan dengan keindahan. Kemanapun memandang yang ada hanyalah putih bersinar bagaikan kesucian hati mereka. Tak ada lagi klaim merasa bersih dari yang lainnya.

Tinggal selangkah. Jika para beliau telah berjajar rapi dengan pakaian ihram, saya ingin memberanikan diri berdiri mengajukan sebuah uneg-uneg :

"Ya para pewaris nabi...hari ini aku sangat bahagia. Karena tak lagi kulihat sekat-sekat dari golongan Islam mana engkau berasal. Engkau semua begitu bersih sebersih kain ihram. Terlihat jelas olehku perbedaan antara bersih dan kotor. Hitam dan putih. Dan engkaulah yang putih bersih itu. “

“Maka sudah seharusnya engkau semua layak menjadi simbol moral kami. Pimpinlah kami turun ke jalan secara besar-besaran. Meneriakkan segala ketidakberesan negeri ini. Teriakkan anti korupsi secara lantang. Sebab inilah biang keroknya.”

“Adanya tayangan maksiat itu karena aturan yang sebenarnya sudah berpihak pada nilai Islam dikorupsi, dilanggar. Bertebarannya fakir miskin dan anak yatim juga karena korupsi dana kesejahteraan. Kebodohan yang berakibat mudah menuduh dan menghakimi itu juga karena korupsi anggaran pendidikan.”

“ Ketidak khusyukan sholat seorang bapak yang bingung cari nafkah itu juga karena korupsi regulasi yang tak berpihak samasekali kepada pedagang kecil. Semua berasal dari nilai luhur dan kesantunan yang telah dikorupsi demi sebuah eksistensi kain seluas kurang lebih satu kali dua meter alias bendera - bendera golongan.”

“Ayolah kita bikin gerakan moral besar-besaran tanpa kepentingan apapun. Setulus kain ihram. Tanpa motif, tanpa warna dan jahitan. Ayo kita hancurkan berhala-berhala bendera golongan itu ! “

“Saya yakin bila anda semua turun kejalan dengan pakaian ihram, pasti semua orang di pinggir jalan akan ikut. Sebab orang-orang kecil atau makmum biasanya lebih jeli membaca sebuah ketulusan. Pasti ikut ! Pasti ikut !. Lautan manusia ruhani akan terjadi. Mosok kita kalah sama gerakan para biksu suci di Myanmar.”

“Ayo kita berfastabiqul khairat dengan mereka....Buktikan bahwa kita lebih baik. Jadikan seperti gerakan Hijrah Rasulullah yang sedang memimpin kaum terpinggirkan. Badan dan jiwa kami semua ingin hidup lapang seperti tenangnya orang yang sudah bermukim di sholat, seperti jembar dodo nya orang yang sudah mukim wukuf di padang Arafah. Diamnya nafsu karena telah bermukim di padang penyaksian.”

Begitu menggebunya angan-angan saya untuk berdiri tegak menyampaikan aspirasi kepada para bapaknya umat. Tetapi tiba-tiba...

Glodhak ...! saya terjatuh dari tempat tidur. Rupanya mimpi lagi. Namun diam-diam saya tetap kepikiran apakah mimpi semacam ini mungkin terwujud ? Sebab kenyataannya pemimpin kita masih lebih gemar senggol-senggolan seperti sholatnya adik-adik kita. Sebab senggol-sengolan itu asyik.

Akupun ngelindur keloyongan bingung lagi mencari imam.

Wassalam, tetap makmum garda belakang.