Jumat, 19 Juni 2009

Musik,, Jalan Tembus Pintu Tauhid





Sampai sekarang diri ini masih bingung kenapa ada orang yang mengilegalkan musik dengan berbagai fatwa. Ada sesuatu yang mengganjal dalam benak. Kenapa ketika mendengar bunyi yang tidak tertata rapi seperti rombongan motor gede, demo kampanye, suara mesin pabrik dan keberisikan - keberisikan lain, kok tak ada bahtsul masail yang menyatakan bahwa hal itu haram. Dengan landasan itu adalah kategori polusi suara, lebih detilnya mengakibatkan kerusakan anugerah Allah, telinga.

Padahal amanah kekhalifahan menganjurkan kita merawat segala anugerah ini. Belum lagi suara mesin jet yang melebihi ambang batas kemampuan dengar. 140 dB lebih ! Padahal kemampuan kenyamanan manusia jauh di bawah 100dB. Di manakah sebuah konsep Quran bisa mengantisipasi dan memberi fatwa atas hal ini ? Mosok Quran yang salah ? Nggak mungkin lah...Tapi manakah fatwa terhadap hal - hal seperti ini ? Di mana kemampuan para mujtahid ? Apa karena karena donatur saudagar muslim banyak yang memiliki jet pribadi atau moge sehingga kita tak berani memberi teguran fatwa ?

Anehnnya ketika kita mendengar suara yang tertata rapi, indah, menyegarkan dan menundukkan keliaran fikiran, kok malah ada fatwa haram ?

Kalau kita mengharamkan musik apakah kita lupa bahwa konsep keimanan kepada 25 rasul, salah satunya adalah Nabi Daud sebagai leluhur musik dunia. Ada baiknya kalau kita tidak bisa mengakui hal ini, ya lebih baik cukup beriman kepada 24 rasul seperti keyakinan tetangga yang menafikan Muhammad SAW.

Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada DAUD kurnia dari Kami. (Kami berfirman): "Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama DAUD", dan Kami telah melunakkan besi untuknya, ( Saba' : 34 ). Ayat ini sudah terlalu cukup dan sangat luar biasa bagi diri pribadi untuk menguak salah satu jalan pribadi menuju Allah,-musik.
Dalam disiplin musik universal, burung adalah sebuah awal ilham musik. Timbre, sound quality, dynamic range, lompatan interval, ambience harmony, healing sound, daya resonansi dan masih banyak lagi sudah terangkum sempurna pada spesies ini. Dalam beberapa hikayah, suara burung ini oleh Nabi Daud diterjemahkan dengan alat yang bernama psalterion. Kita mengenalnya dengan harpa. Bila dirunut psalterion ini berasal dari kata psaltm yang berarti nyanyian. Sedangkan dalam tradisi kuno, psaltm ini sebenarnya adalah kata lain dari zabur.
Jelasnya zabur adalah wahyu Tuhan yang berupa keindahan nada. Tapi apa sesederhana itu ? Cuma sebuah terjemahan kesenangan nyanyian burung kah ? Wah, kalau gitu apa bedanya dengan kaum lelaki yang gemar memelihara burung ? walaupun di situ memang ada sisi jalan ketenangan bathin.....
Kalau kita mengkonekkan psalterionnya nabi Daud dengan ilmu pengetahuan modern, akan sangat jelas disitulah letak cikal bakal pengetahuan matematis dan canggih yang mampu memetakan suara burung ini menjadi sebuah kompleksitas dispilin ilmu. Displin ilmu yang sedikit kita kupas adalah tehnologi gelombang beserta segala sifatnya seperti amplitudo, sound pressure level, pemecahan partikel atom, dispersi, induksi dan seputar itulah...( he...he saya bingung sendiri kalau mulai menyebut kata ilmiah )
Dispilin ilmu suara ini ternyata sangat begitu menakjubkan. Dalam ilmu modern dispilin ini telah dikembangkan menjadi alat seperti pengukur kedalaman serta jangkauan seperti radar dan sonar. Kita juga bisa melihat secara ilmiah bahwa beberapa industri menggunakan induksi gelombang untuk otomatisasi packaging produk. Juga pernahkah anda mendengar bahwa gesekan violin pada frekwensi nada tertentu resonansinya mampu memecahkan gelas ?
Tak heran bila Nabi Daud bisa melunakkan besi dengan sebuah ketundukan ilham. Hal ini karena Beliau telah mengetahui dan bisa mempraktekkan seluk beluk resonansi antara partikel benda padat dengan impuls frekwensi tertentu yang tertata. Dan partikel padat itu ditamsilkan sebagai gunung, dimana di situ ada gunung, di situlah letak kekayaan dunia bisa digali secara luar biasa.

Suatu saat kalau ilmu kita sudah jangkep, kita juga tak perlu heran bagaimana empu jaman dulu bisa melaksanakan sunatullah membuat keris tanpa peralatan berarti. Kenapa mereka selalu melakukan ritual nembang melagukan syair ruhani terlebih dulu akhirnya juga bukan sesuatu yang harus digelapkan pemahamannya. Sebab Ini hanya masalah metode kelimuan saja. Metode resonansi alamiah vs metode mekanik. Tak lebih.

Ah...lagi-lagi sebuah warisan budaya yang disalahartikan dan diselewengkan turun temurun. Padahal struktur campuran keris ini baru bisa diaplikasikan abad ini oleh tehnologi NASA dimana pencampuran tujuh logam bisa dilebur jadi satu.

Di wilayah inilah kemudian nabi Daud dinobatkan Allah sebagai pemimpin yang mampu menggabungkan kekuatan materi ( gunung ) dan gelombang energi ( suara burung ). Dari sinilah tercipta peradaban yang kuat.

Kabar gembiranya, Alhamdulillah nusantara ini adalah rombongan gunung panjang dari Aceh sampai Irian yang menandakan Nusantara ini sangat kaya. Alhamdulillah nya lagi, hanya dengan sedikit mencuplik bukit emas di Irian, kita sudah bisa meng"kaya" kan saudara tua kita, Paman Sam. Belum lagi hutan gunung di Riau, rempah di bagian timur, kilau lautan pantai butiran logam di tempat kelahiran laskar pelangi...dlllll....buanyaak...

Walah ! Alamdulillah...pokoknya kita ini bangsa yang sangat besar sodaqohnya kok...kitalah yang menjadikan kaya penduduk bumi ini.Kita sudah begitu mendekati jiwa kepemimpinan rasulullah. Mendahulukan orang lain walau diri sendiri kelaparan...Kita ini sudah begitu banyak berjasa membantu kemakmuran penduduk bumi. Saking gemarnya membantu orang, sampai-sampai begitu banyak kita ekspor pembantu.

Tapi jangan kuatir, pembantu adalah pesuruh. Bukankah rasulullah juga pesuruh Allah ? Dan memang kita lah pewaris beliau karena faktanya kita adalah negara muslim terbesar di dunia.

Tapi di balik omongan sembrono ini, yang paling penting bagaimana cara mengupgrade diri kita yang hanya dari kelas pembantu kapitalis merubah diri menjadi pembantu alias pesuruh Allah secara digdaya alias menjadi khalifah bumi ?

Kalau merunut ilmu Nabi Daud yang berakhir kesuksesan kekayaan Sulaiman, kita ini kalau modal dasar gunung alias kekayaan sumber daya alam sudah lebih - lebih. Tinggal kekayaan suara dan pengolahannya. Dan sebenarnya basicnya telah dipersiapkan oleh pendahulu kita secara samar. Apaka gerangan ? Tentulah musik nusantara....

Sesederhana itu ? tentu tidak. Coba selidiki, adakah ragam musik dunia sekaya Nusantara ? Beragamnya musik berarti beragamnya daya fikir, beragamnya sudut pandang, beragamnya lompatan kreatifitas, beragamnya pemetaan mind, beragamnya konsep kekompakan team, beragamnya metode dirijen kepemimpinan, beragamnya manajemen mental dan beragamnya mekanisme penyelarasan pengolahan alam.

Hal ini adalah modal dasar DNA yang tak kita sadari. Struktur molekul tubuh kita ini telah didefrag, di"cryogenic"kan, dan di"attunement"kan dengan limpahan materi nusantara oleh para pendahulu - pendahulu kita melalui keindahan tenaga harmoni musik, melalui kekhusyukan -kekhsuyukan mereka atas limpahan modal awal kekhalifahan yang tak terhingga.

Tapi kenyataannya kita ini masih mental Malin Kundang. Sehingga begitu mengingkarinya akan hal itu. Akhirnya corak kebudayaan kita masih sebatas jadi anak batu alias filsafat materi doang. Dampaknya kita tak bisa unggul dan bermartabat di mata dunia. Hal ini karena kita tak bisa mensinergikan antara materi ( gunung ) dan dinamika gelombang ( burung ). Jadinya ya kita ini nggak punya pertahanan ( baju besi ). Lemah dan mudah terluka. Dan ini fakta.

Jadi jangankan meniru Muhammad Sang Paripurna, lha wong menapaki jejak Daud saja kita ini masih ketheteran seyek seyek termehek - mehek... Padahal seandainya kita mau menganalisa, memetakan, mengkonsolidasi dan meneruskan modal awal ini, wah rruaarr biasyaahhh....

Tak perlu dulu lah kita ngomong politik kekuasaan pendapatan daerah atas hasil alam atau ngomong njlimet tentang iptek. Mulai dari diri sendiri dengan merawat tanaman dan mendengar musik berkualitas itu sudah bisa mengaktifkan gen -gen kita yang tertidur. Inilah modal dasar awal yang menghampar tapi terlantar.

Swear lho ! ini sekedar mekanisme alam saja. Urutan mudahnya, banyak tanaman = banyak udara bersih = bagus untuk kerja otak dan ketahanan tubuh. Mendengar lagu berkualitas = syaraf telinga rileks = aliran data syaraf menuju pusat otak lancar = tersentuhnya daya kreatif dan kemerdekaan berfikir.

Maka muncullah manusia - manusia digdaya dari bumi nusantara yang siap mengolah limpahan modal awal ini dengan sebijak -bijaknya...

*

Hakekat sederhananya, musik adalah melatih rasa. Itu prinsip dasar. Tapi rasa apa yang dilatih ? Rasa benci, rindu, fanatisme perjuangaan ras bangsa, snob elitis atau rasa "hub" kepada Allah ? Ini wilayah tanggungjawab dan efek pribadi rek !

Hakikat dispilin ilmunya, musik adalah metode mendefragmentasi alias menata rapi alias mengaspal mulus lagi susunan ribuan syaraf telinga yang berujung pada pusat otak besar, dimana orang sering menganggap di situlah wilayah titik Tuhan alias God Spot.

Ketika sistem syaraf telinga kaku silang sengkarut dan cairan dalam telinga tidak stabil, kondisi mental seseorang akan kacau, paling tidak daya konsentrasi dan ketahanan tubuh akan menurun.

Faktor perusak stabilitas kerja telinga terbesar adalah seringnya manusia mendengar suara yang tak beraturan dan melebihi ambang kemampuan dengar dalam jangka waktu tertentu dan terus menerus. Tak heran kalau sopir yang hidupnya banyak di jalan bertemperamen keras dan suka mengkonsumsi obat kuat atas kompensasi kelemahan tubuhnya.

Untuk itu, salah satu terapinya diperlukan musik sebagai penyelaras sistem kerja tubuh. Dengan treatment keteraturan nada dan resonansi frekwensi, maka secara bertahap urat kekacauan -kekacauan itu akan dipijat refelksi oleh nada - nada indah.

Dengan musik pula, otak bisa dipetakan menjadi kamar memori - memori yang mudah dipanggil. Misalnya ketika seseorang mendengar lagu Si Unyil, maka memori akan masa kecil, suasana rumah, teman -teman, jajanan, mainan kesukaan akan mudah diingat kembali dengan spektrum yang orisinil.

Jadi ada baiknya kita belajar sambil mendengar musik kesukaan. Ketika suatu saat kita lupa akan pelajaran tersebut, dengan menyetel musik itu, sedikit demi sedikit memori yang kabur akan muncul jelas kembali. Biasanya sih daripada digunakan mengingat pelajaran, lebih baik nyetel lagu nostalgia jaman pacaran...he...he...jadi terkenang semuanya deh....

Yang perlu diingat, pembeda manusia dengan mahluk lain adalah memori. Korelasi memori adalah kesadaran. Dan awal kali sebuah memori adalah kesadaran akan perjanjian mahluk dengan Khaliknya. Syahadat. ( Al A'raf 172 )

*

Jaya Suprana, seorang pianis komponis sudah beberapa dekade ternyata tidak pernah lagi memainkan lagu klasik barat. Ia lebih bangga dengan karya seperti Ismail Marzuki, Gesang, WR. Soepratman dan kawan-kawan. Terutama ia sangat mengagumi sebuah nyanyian yang diremehkan musisi modern seperti judul lagu gethuk asale soko telo karangan Mantous.

Dalam hal ini ia lebih mengetahui makna judul syair tersebut secara ketuhanan sehingga mengapresiasi dengan serius dalam mencari sebuah muasal. Gethuk asale soko telo itu sebenarnya apresiasi dari ayat...maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari RuhKu....AT-Tahrim : 12....
Realitas metaforanya, orang sering lupa bahwa gethuk, nogosari, horog-horog, kue lapis dan sejenisnya itu berasal dari satu bahan. Dan bahan itu sebenarnya tak pernah terpisah dengan sang kue. Cuman bahan itu yang memisahkan ya Adam ini dengan kemampuan penamaan benda.
Puncak pencapaian Jaya Suprana dalam bermusik ketika ia memainkan suatu reportoir tanpa not sama sekali. Alias ia hanya memandangi piano tanpa membunyikan senada pun dalam beberapa menit. Mungkin kita protes, lho seorang pianis kok karya terhebatnya malah cuman diam thok !

Filosofinya, di dalam tanda diam itulah akan memunculkan suara terindah. Bayangkan bila musik tanpa tanda henti. Pasti seperti suara tv yang ujicoba siaran...tuuuuuuut..... nggak ada jeda kayak gelombang sinewave 1kHz. Pasti semenit telinga kita sudah pekak, otak sudah jenuh.

Rumusnya, makin banyak rentetan nada tanpa henti, makin cepat telinga capek. makin capek telinga, makin stresslah hidup kita. Sebaliknya makin banyak nada istirahat, makin nyamanlah telinga. Tapi siapa sih yang betah mendengar dan menyetel mengulang - ulang komposisi Jaya Suprana yang membosankan ini ? Padahal di dalam diamlah kita mengenal sebuah penciptaan...mengalami sebuah kesaksian sejati...

Inilah paripurna musik. Urusan keilmiahan matematis harmoni dan rasa sudah parkir terhenti disini. Dan memang musik sejati adalah diam, hening, khusyu'. Sebuah suara tanpa bunyi tapi ada. Suara yang tanpa harus mengikuti hukum aksi reaksi. Sebuah rasa tanpa perasaan. Sebuah kendaran terindah menuju keahadan.

*

Musik sebagai wilayah nabi Daud ini mengajarkan cara berfikir yang tidak sekedar konsep satu sisi linear. Musik bisa membuat lompatan-lompatan ide yang bagi sebagian orang dianggap nyleneh tak beraturan. Padahal itu adalah file masa depan yang dimunculkan lewat sebuah dunia otak kanan. Kata orang disebut dunia ilham.

Dan memang dunia ide realitasnya jauh dari konsep berfikir seorang administrator birokratif linear. Lompatan -lompatan ide ini hanya bisa dipahami oleh para scientis yang pernah mempelajari hukum Phytagoras tentang asas harmony.

Dalam disiplin harmoni, sesuatu kelipatan jarak pasti akan menimbulkan kesamaan bunyi walau dengan warna suara yang berubah dan kecepatan frekwensi yang berbeda. Mudahnya ya kayak lagunya Ian Antono dunia ini panggung sandiwara. Ceritanya tetap, lakonnya saja yang berubah, dan itu pasti berulang terjadi.

Inilah kenapa seorang musisi seperti Bethoveen atau Mozart mampu memberi gambaran kejayaan kerajaan Eropa. Kalau di sini ya kayak seniman Ronggowarsito yang sebenarnya beliau adalah salah satu konseptor patrap ruhani.

He...he...bila bila diseriusi, mungkin para musisi saat ini bisa dengan mudah mengasah ilmu weruh sak durunge winarah alias kemampuan melongok masa depan yang masih menggantung di Lauhil Mahfuz.

Kalau dalam proses rekaman, ada sebuah fase yang dinamakan mixing dan mastering. Di bagian ini seorang engineer dituntut keseimbangan otak kiri kanan. Hal ini karena otak kiri memang bertugas menghafal, mendefinisi, merumuskan konsep matematis musik beserta segala istilahnya. Otak kiri harus menguasai ilmu engineer tentang apa itu sebuah Radio Frequency Interference, delay, phase, bandwith, jitter, dither, gain, compress ratio, noise floor, bit, sampling rate dlsb. Sedang otak kanan berfungsi menangkap rasa keindahan musisi yang sedang ditangani.

Struktur kerjanya, otak kanan menampung kehendak -kehendak rasa musisi. Lalu ia memerintahkan otak kiri untuk menerjemakan. Bila otak kanan tak bekerja dengan baik, gagallah otak kiri dengan segala bekal kepandaian analisisnya. Logikanya, apa yang mau dikerjakan otak kiri kalau tidak ada input dari otak kanan yang bagus. Maka yang terjadi hanyalah "make wave, not music". Wave is real mathematic, music is real dynamic. Ilmu itu kaku tak berujung, musik itu hidup.

Anda yang tak paham musik pun akan mudah membedakan keindahan organ tunggal atau electone vs musik live yang dimainkan musisi berkualitas. Mesin keyboard electone takkan pernah salah karena di dalamnya telah terumuskan dengan baku sebuah matematis harmony modern. Tanpa berlatih sungguh -sungguh, asal pencet pun bisa berbunyi bagus.

Tapi apakah keyboard lebih dapat menyentuh sebuah keindahan akan penciptaan sebuah karya bila dibanding dengan musisi live band sesungguhnya ? begitulah analaogi yang paling bisa kita praktekkan secara gampang...entah secara hablumminannas atau hablumminallah....

Seandainaya cara kerja audio engineer diterapkan dalam dakwah saat ini, betapa harmoni dunia ini. Dan sebenarnya hal ini sudah pernah diwariskan awal kali Islam masuk Nusantara. Keharmonian, keindahan, etos kerja dan etika telah menyatu dengan alam nusantara.

Sampai-sampai Syech Mahmud Syaltout dari Mesir menganggap Nusantara adalah penggalan surga. Bagaimana tidak, di tanah arab untuk merawat satu meter tanaman butuh dana sampai puluhan juta. Sedang di sini kata Koes plus tongkat kayu dan batu jadi tanaman tanpa keluar modal sepeserpun.

Tapi kenapa sekarang seperti penggalan neraka ya ? banyak hutan gundul dan sampai-sampai saking panasnya, masjidpun banyak yang terbakar....

Apa mungkin kita ini karena kita sering mendengar orasi yang pemetaan nada dan dinamiknya seperti musik death metal ...? kenceng melulu tanpa jeda alias monolog tak memberi kemerdekaan diam merenung.....isinya penuh ketidakpuasan, nggak ridho ...
**
Sangat jelas dalam surah Yaasin 69 : "Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al Quran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan.
Bahwa Allah tidak mengajari syair Muhammad karena memang itu tidak layak, dalam arti sudah sangat jelas perbandingan posisi sebuah keluhuran ilham dengan proses budaya manusia dalam meraba-raba keberadaan Tuhan.
Bagi saya pengharaman itu hanyalah karena kita tak pernah mengetahui kehebatan Al Quran. Sehingga seakan - akan buah karya budaya manusia yang bernama musik, entah yang berupa nyanyian, instrument atau syair sanggup menandingi kehebatan dan kecepatan sebuah ilham.
Hal ini persis seperti kita yang terselubungi syirik halus dengan beranggapan bahwa syetan dengan Allah adalah sebuah konsep pertarungan sederajat sehingga kita merasa bisa membela Allah, meninggikan nama Allah dan melindungi Allah dari godaan setan. Kita secara tak sadar melemahkan kemampuan Allah...kita sudah berfikir terbalik...alam e njungkir, dunyo kate kiamat rek !

Kalau kita mengharamkan musik, lebih baik mulai sekarang kita copoti saja corong - corong adzan yang ada di masjid. Sebab secara sejarah, alat itu diciptakan untuk kegiatan musik dan aktifitas Yahudi Nasrani. Kalau perlu kita nggak usah pake mobil, listrik, hp, komputer, apalagi internetan made in Pentagon ini....toh ini semua bukan orang Islam yang buat....

Memang di sinilah letak keheranannya. Bagaimana bisa kegiatan yang sifatnya meng"healing" anugerah tubuh kok malah diharamkan. Sedangkan kondisi polusi suara yang bikin sakit badan dan mental malah tak pernah ada solusi fatwa agama.

Kalau merunut secara hadits, nabi sendiri selalu menganjurkan me"nada"kan bacaan Quran bukan ?. Dalam makna, bawa sesuatu yang sangat berbobot haruslah disampaikan dengan suatu keindahan supaya hal itu benar -benar membekas di hati penyimak. Coba saja seumpama kita baca Quran seperti logat naratif pembaca berita...wah pasti sangat garing sekali.

Yang jelas anak kecil sebagai generasi penerus akan bertambah asing dan malas karena tidak ada ketertarikan awal. Bukti pribadi yang gampang, ketika menyetel radio dan terdengar keindahan nada adzan, anak saya yang masih umur satu tahun sering langsung menyimak diam, khusyu sekali seakan-akan paham rintihan hati sang muadzin.

Tapi ketika saya membuka Al Quran sambil santai membaca dalam hati, dengan kesigapan tangan mungilnya...kreek....sudah tiga kali ini kitab itu disobek. Untung nggak saya marahi... lha wong derajat kesucian saya kalah sama dia hare...namanya saja bayi masih fitrah....dan fitrah itu perjalanan pembelajarannya tanpa rekayasa. Persis kayak Musa yang makan api waktu bayi....semua membawa pesan tersembunyi.

Tapi yang rada aneh para jamaah haji kita. Suatu saat sang jamaah haji baru menginjakkan tanah di Makkah. Tiba -tiba dari kejauhan ia melihat orang arab berteriak -teriak sambil membawa surban. Ia pun langsung mendekat dan menegadahkan tangan sambil berucap lembut...amien...amien...amien... Tiba - tiba teman sebelahnya nyeletuk " mas, orang itu lagi jualan surban..ngapain sampeyan amin - amin ? oo rupanya pedagang toh...kirain pemfatwa...

***

Memang sih pada perjalanannya, musik bisa menjadi godaan yang melenakan tujuan. Dan itu lumrah saja, tergantung kesadaran ilahi masing - masing penikmat. Sama persis seperti orang yang belajar fiqih, nahwu sharaf, ilmu mantiq dll. Toh pada perjalanannya banyak yang tak sampai pada kesadaran ilahi.

Banyak yang akhirnya tertahan pada kekuasaan, fasilitas wibawa, jual beli suara, nego jatah menteri atau kucuran dana luar negeri yang semuanya masih menandakan mental tangan di bawah alias mengemis pada penduduk dunia untuk sebuah anggapan dunia yang tak berujung berputar - putar. Alias tak begitu yakin akan Daya Allah

Tapi sekali lagi, sesuai judulnya, musik hanyalah jalan, hanyalah kendaran, bukan tujuan. Persis seperti disiplin ilmu fisika, biologi dan renik kebudayaan yang lain. Kalau tujuan billah sudah tercapai, kenapa sebuah jalan dan kendaraan harus diributkan ? kenapa harus ditandingkan ...?

Biarkan sajalah tiap orang mencari jalan menuju Tuhannya sesuai jatah ilmu dan kebudayaan yang ia pahami... karena kita tak pernah tahu seberapa besar ketulusan mahluk dengan Khalik. Padahal inilah awal point penting sebuah proses perjalanan ketauhidan.

Waba'du, mohon maaf kalau bahasan ini sifatnya campur aduk dengan menggunakan metode ilminik alias ilmiah campur klenik karena musik memang menyangkut dua dunia, logis dan nonlogis. Rasa plus matematis.


Wassalam

Dody Ide