Rabu, 04 Februari 2009

Bertemu Satrio Piningit


Sudah jamak, setiap mendekati hajatan perebutan kekuasaan, pasti banyak bermunculan kejadian -kejadian aneh yang mengguncang akal sehat. Entah sengaja dimunculkan atau memang begitu adanya, nyatanya memang selalu demikian.

Masyarakat selalu dididik berita ghaib pepesan kosong. Yang memenuhi media selalu isu -isu tehnologi jaman kerajaan. Pusaka, darah biru, titisan, dogma leluhur dan armagedon hari akhir adalah brain storming yang di hembuskan ke setiap kepala manusia Indonesia. Hingga akhirnya kita tak sempat melihat track racord ataupun apa sesungguhnya mizan program kerja nyata antara hak bathil nya para perebut kekuasaan.

Maka di balik kesumpekan ketidakjelasan masa depan dan demi mengalihkan kekritisan, dibuatlah imajinasi idola tertinggi tentang sosok manusia yang bisa menyelesaikan segala keruwetan negara. Muncullah pengharapan akan satrio piningit yang tak keluar-keluar dari sarangnya. Bahkan orang yang berpendidikan tinggi tak luput dari pengharapan munculnya tokoh ini.

Beruntung, sudah bertahun-tahun lampau saya mengenalnya dengan baik. Walaupun terkadang nasehatnya yang super bijaksana sering saya abaikan. Maklumlah, orang seperti saya yang masih kepala tiga ini biasanya masih suka ngeyel, merasa telah matang dan masih ingin cari pengakuan akan posisi diri.

Untuk inilah saya menulis dan sekedar ingin memperkenalkan siapa dia. Satrio piningit itu benar-benar ada, sangat dekat, care dan welas asih dengan kehidupan kita. Tapi wong namanya aja satrio piningit, pasti kita jarang bisa melihatnya karena kita sibuk dengan urusan isi kepala masing-masing. Akhirnya kita tak bisa menjalankan nasihatnya. Dan kacaulah kehidupan kita...

Dalam hal ini saya juga sekedar memberi alamat "ancer-ancer"-kurang lebih di mana tinggalnya. Eh, siapa tahu pembaca mau menemuinya secara langsung. Biasanya kalau sudah mengantongi ciri-ciri sosoknya dan alamat tinggal, pasti bakalan ketemu. Entah dengan cara bertanya pada orang-orang yang dekat dengan tempat tinggalnya atau langsung coba ketuk pintu. Nanti kalau dah ketemu tinggal betah apa tidak mendengar nasihatnya yang kadang merontokkan ego kita.

Satrio atau satria adalah orang dengan keadaan jiwa yang tenang, sumeleh, ridho dan punya keberanian tinggi berperang melawan kegelapan. Ia adalah kecerdasan sejati yang melampaui jaman. Piningit bermakna tersembunyi, tak mudah dicari dan dilihat. Ia memang benar-benar tak mau menunjukkan sebuah pamrih sosial. Ia tak peduli identitas. Mau disebut ustadz atau wong mbambung sudah bukan urusannya. Tugasnya hanyalah menunjuk jalan kebenaran tanpa mau ditawar secuil. Walaupun ia harus terasing, dipandang sebelah mata dan dianggap gendheng.

" Apalah arti anggapan...yang penting cita-cita mulia ajaran ilahi harus tersampaikan dengan amanah...Yah, amanah yang memaknakan aman. Dimana setiap orang yang dekat dengan kita harus merasa aman dan nyaman. Sehingga ajaran itu benar-benar diterima dengan legowo dan mengakar tanpa kita sibuk mensatpami dan menghakimi mereka..." begitu kata sang satria piningit itu.

Dan sesungguhnya satrio piningit itu ada di dalam setiap diri manusia. Ia hanya dapat ditempuh bila seseorang mau membuka diri di hadapan Allah. Satrio piningit adalah konsep ikhlas yang memang sudah lama semakin menghilang. Keberanian dan sifat kesatria menuju ikhlas ini bagaikan kondisi nabi Ibrahim yang lagi dibakar raja Namruj. Apabila ia tidak terbakar berkat ketundukan doanya, maka loloslah ia meniti karir menjadi satrio piningit.

Kekebalan atas api bukanlah makna sebatas fisik. Kekebalan dari api memaknakan orang yang tak terbakar oleh isu-isu, nafsu-nafsu, cemoohan, fitnah dan adu domba. Ia tetep adem tak bergejolak. Api tak berbalas api.Kekebalan itu hanya bisa didapat dengan sikap kepasrahan total kepada Allah, Sang Maha Pengendali Keadaan.

Pertanyaan nalar sehat sederhananya sih mudah ; sepanas apapun api di muka bumi ini, kalau sudah bertemu air, selesai sudah urusannya. Lha kalau yang panas itu hati, kira-kira gimana ya cara memadamkannya ? air apakah gerangan.

Hanya air ikhlas yang bisa memadamkan. Air yang menyifatkan mengalir ke bawah berendah hati. Sifat yang tak tersibukkan oleh prasangka-prasangka beserta pembelaannya. Keberanian menghadapi cobaan seperti inilah yang membuat seseorang menjadi satria yang ikhlas alias satrio piningit.

Ketika ia tidak tersibukkan oleh anggapan luar diri, otomatis ia tersibukkan oleh anggapan dalam diri- biasa disebut suara hati atau nurani. Yah, suara jiwa kesatria yang tersembunyi. Suara yang begitu keras perintah dan petunjuknya namun tak dapat didengar telinga fisik.

Orang yang bermukim di wilayah ini hidupnya sangat sibuk membaca pengajaran-pengajaran diri. Otomatis saking lubernya pengajaran, hikmah-hikmah dan ilmu pengetahuan itu ia tumpahkan kepada siapa saja. Tak peduli mendapat imbalan atau tidak. Tak memilah status sosial siapa yang harus didahulukan. Termanajemeni atau tidak juga bukan urusannya.

Ia bagaikan matahari yang memang harus terbit secara sunatullah walaupun semua orang menghendakinya tenggelam. Ia juga setia mengikuti ketenggelaman dirinya walau orang tetap menginginkan terbit. Dalam kamus hidupnya sudah tak ada lagi ungkapan " apa kata dunia ! ". Tak Kata arek Malang, " Gak direken wong, gak patheken...."

Bila sunatullah ini dilanggar, ia akan mengalami kesakitan sendiri. Ia akan mengalami penderitaan yang lebih cepat daripada orang yang tak pernah bertemu satria piningit. Ibarat orang yang dulunya mandi di sungai kumuh lalu sekarang sudah mandi air bersih, kalau balik lagi mandi di sungai pasti badannya lebih cepat terkena penyakit daripada orang yang sudah terbiasa mandi di sungai dan tak pernah tahu air bersih.

Satrio piningit juga tak dapat diucap minta diakui. Sebab bila terucap ia tidak lagi menjadi satrio piningit. Karena posisinya tak lagi sembunyi. Ia berubah menjadi satrio sesumbar. Alias orang riya' .

Anda dan saya juga punya potensi kemungkinan menjadi satrio piningit yang hidupnya selalu menemani-menyelesaikan kegundahan dan keruwetan bathin orang banyak. Walaupun kita tak pernah dianggap dan mendapat imbalan akan hal itu.Kata Rasul orang ikhlas itu kehadirannya tak dianggap, tetapi ketidak hadirannya dicari.

Kita bisa jadi satria piningit di bidang masing-masing. Seorang pengacara bisa memberikan lobi advokasi diam-diam terhadap kasus kampung tergusur. Seorang birokrat bisa menjadi wistle blower terhadap kecurangan di departemennya. Seorang da'i bisa berceramah diam-diam dipelosok dusun yang jauh dari liputan media. Seorang guru bisa memberi pendidikan gratis anak jalanan di kolong jembatan. Seorang konglomerat bisa diam-diam mengkoordinir ribuan pedagang kaki lima dan memberikan sedikit uang recehnya bagi pengembangan usaha mereka.

Tentu masih banyak lagi ragam kemampuan diri kita yang bisa disumbangkan untuk kemajuan. Tak peduli walau hanya setetes keringat...

Sebab bila mereka yang jumlahnya puluhan jutaan ini bisa tersentuh oleh para satrio piningit dengan tangan-tangan ikhlasnya, apalah beratnya masalah negara ini...dan isu apalagi yang akan bisa dijual perebut kekuasaan untuk mengkadali kita ? Toh semua sudah beres...

Atau mungkin kita malah senang jadi satrio sesumbar yang menjelang pemilu ini fotonya lagi banyak terpampang di jalan-jalan bak artis produk iklan tanpa pernah ada kejelasan product knowledge yang dapat dinalar akal sehat ?....

Kalau saya sendiri , mungkin levelnya masih satrio kepirit....Kalau nggak ada masalah sok jago menganalisa dan berkomentar, tapi kalau bener-bener ada masalah, lari tunggang langgang nggak karuan dengan berbagai kecanggihan alasan...

Ah...tapi nggak apalah asalkan larinya menuju Sang Maha Satria Piningit, Al Lathief....
*

Kemarin saya guyonan memel sama anak-anak band tentang berita banyaknya orang demo protes nasib, orang mengaku jadi Tuhan, satrio piningit dan sejenisnya. Saya hanya melempar guyonan, memberi rasa pede dan berandai -andai,

" Hei rek, paling positif itu sebenarnya ya kita anak-anak band ini...
Lho, kok bisa gitu mas ?
" Lha iyo, hampir semua orang kalau demo isinya kan cuman protes berkoar bising dengan langkah yang tak terarah. Karena tak terarah dan ngawur, akhirnya anarkhi kan ? Kalau yang nggak pakai jalan anarkhi biasanya bikin kelompok sendiri. Lalu pemimpinnya merintis menjadi tuhan wiraswasta kayak yang lagi menjamur sekarang ini

"Lha kalau kita kan lain, demo kita positif, demo bikin lagu, menata suara, membikin harmoni, membuat struktur kalimat yang indah. Itu bagian dari karunia keindahan Tuhan sehingga hidupmu jadi nyaman. Demomu itu demo bertanggungjawab dan berilmu...

" Kalau masalah tuhan-tuhan yang di tv itu, coba andai ada kemampuan, iseng -iseng kita bikin seminar judulnya " Pertemuan Antar Tuhan ". Kita undang narasumbernya seperti Lia Eden, Mossadeq, Bosnya aliran Weteng Buwono, dan beberapa yang mengaku Satria Piningit. Kalau perlu mereka kita suruh bikin kursus " pelatihan menjadi Tuhan "

" Saya yang jadi moderator akan mengawali pembukaan. Para hadirin...di depan anda adalah tuhan-tuhan dan utusannya yang akan menyampaikan kebenaran kepada anda. Tapi sebelumnya mari kita simak dulu diskusi mereka..."

Hi...hi...saya hanya membayangkan betapa kacaunya jalan diskusi itu. Para narasumber berebut keabsahan legalitas ketuhanan dan kerasulan. Mungkin pertama hanya berdebat teosofi dan teologi dengan sedkit mencari-cari benang merah atas kemajuan peradaban kelompoknya. Kemudian adu keheranan-keheranan pengalaman spiritual. Karena sama-sama kuat, apa boleh buat adu kadigdayan pun terjadi. Akhirnya bentrok fisik saling menghancurkan tak terhindarkan.

Nanti kalau ada polisi datang akan menangkap kita karena bikin acara onar, tinggal bilang aja " lho pak, ini wilayah ketuhanan, bukan wilayah hukum negara. . Anda tidak bisa mencampuri, apalagi menghukum tuhan. Biarkan saja tuhan-tuhan itu berkelahi sampai tetes darah penghabisan. Biarkan saling menghancurkan sampai tingkat atom alias ghaib. Kalau sudah pada wilayah "dugdeng" ini, para tuhan itu kan moksa menghilang. Entah melanjutkan perkelahian di alam ghaib gang berapa sudah bukan urusan aparat...

Inti dan tujuan akhir acara ini, agar mereka dan pengikutnya akan wassalam dengan sendirinya. " Enak kan pak ? akhirnya tuhan gadungan itu tak ada lagi di Indonesia... Kami ini sebenarnya malah membantu sampean lho...

Sampeyan dan organisasi-organisasi agama yang tidak terima akan adanya tuhan dan nabi baru tak perlu capek-capek mengurusi lagi. Lha wong mereka sudah pada musnah dengan sendirinya tanpa kita capek- capek menggebuki...

Lebih baik tenaga sampeyan dan organisasi agama itu difokuskan untuk mengurusi ketidakadilan, tindak kekerasan, TKW yang nasibnya di negeri jiran dan timteng nggak pernah termanusiakan, maling negara, kefakiran, keyatiman, dan keserakahan. Itu kan sejalan dengan motto mengayomi dan melindungi yang menjadi pijakan aparat dan ulama. Bukannya malah lebih gemar mengutamakan menghukum dan mencari-cari kesalahan. Nanti masyarakat dan umat nggak mau dekat sampeyan-sampeyan lho...takyutch...

Dasar anak band, cara berfikir tentang agama yang tak serumit kita ini cuma berkomentar singkat, tapi cespleng, " Dasar orang-orang yang menuhankan diri itu memang otaknya pada beset ya ...

Saya cuman mbatin " jangan-jangan saya juga..."

Beset = sedikit tergores permanen



Wassalam

Dody Ide