Rabu, 28 Mei 2008

Fana ?


Sekedar menyadur diskusi saya yang pernah dimuat di beberapa milis tentang perdebatan kefanaan diri di hadapan Tuhan :

Filsafat Yunani yang terkenal, Cogito Ergo Sum ( Descartes ). saya berfikir

maka saya ada...

Jadi kalau ingin fana, ya tinggal balik saja filsafat itu... saya tidak berfikir maka

saya tidak ada...Hayo siapa berani ?

Hal ini persis seperti seratus tahun yang lalu dan seratus tahun

yang akan datang dimana "kita yang hidup sekarang ini" tidak mengadakan Tuhan ataupun diri sendiri. Singkatnya belum ada kesadaran kedirian kita.

Nah kan..Tuhan nggak ada...kita nggak ada...ada juga nggak ada... nggak ada

itu juga nggak ada...walaupun sampai detik ini kita yakin bahwa kita dan

Tuhan ada.

Dan menurut saya, kalau pernah ada orang ngomong bahwa dia pernah

mengalami ketiadaan..berarti belum tiada beneran wong masih bisa cerita

keadaan "ketiadaan ".

Menurut saya dalam terminologi Islam kita perlu

berguru kepada nabi Ibrahim yang mendapat perintah menyembelih kepala

Ismail sebab bagi saya tafsiran hakiki menyembelih kepala adalah kita harus

menonaktifkan respon dari anggota kepala_hidung, mata, telinga, otak dan

mulut.

Sedangkan Ismail sebagai anak mewakili arti kecintaan kita terhadap

buah produktifitas dan kreatifitas diri yang berbuah "saya ada" ..."saya

eksis....” Jadi inilah sumber ajaran pemfanaan diri dalam Islam

Nah yang harus kita sadari kalau kita udah berani ngomong keadaan fana seperti

orang2 suci misalnya kata2..Ana Al haq, sekalian aja dikomplitin..Ana Al haq

ente Al Haq juga..cos we are Al haq or ...nothing...

Soalnya yang sering terjadi kalau udah dialog masalah spritual ujung2nya

sering bukan peningkatan spiritual...tapi secara nggak sadar jadi marketing

pabrik kecap. Kecap saya nomor satu.

Mana ada kecap nomer dua?

Yah…tak tersadar kita malah mengasah kesombongan terhalus…

Memang ini sesuatu yang lucu dan sulit dirubah. Tapi memang begitu realitasnya bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar