Kamis, 01 Mei 2008

Pluralisme Singularisme






Seperti biasanya dan selalu berulang-ulang dalam berbagai hal, kita sebagai muslim adalah penari terbaik atas tabuhan gendang orang yang kita anggap bukan muslim. Satu pukulan perkusi kita tanggapi dengan gerak yang luar biasa. Energi kita begitu terkuras untuk pemenuhan hal ini. , Makin rancak pukulan para penabuh gendang, makin lihai kita menari . Dan anehnya kita tak pernah sadar akan hal itu. Terlalu menikmati peran latah sepanjang sejarah. Seperti dalam isu pluralisme, tiba-tiba kita terasa mempunyai energi yang amat dahsyat untuk bergoyang menentang atau membela mati-matian. Namun sayangnya geliat gerak itu tak bisa lepas dari ritme penabuh gendang. Intinya yang pro maupun yang kontra masih bermakmum pada penabuh gendang. Bila tetabuhan itu berhenti, kita pun pasif tak punya gerakan.

Derajat kita masih seperti alat musik. Kalau belum dipetik, dipukul, digesek, ditiup, tak kan pernah mengeluarkan bunyi selirih apapun. Satu-satunya suara yang mampu kita keluarkan adalah koleksi piringan hitam khazanah lagu tempoe doeloe yang suaranya semakin sember karena terlalu sering tergores sana-sini. Derajat kita belum naik menjadi seorang musisi. Apalagi konduktor pemegang tongkat baton kecil nan sakti itu. Derajat decission maker.

Tenang jes...Belanda masih jauh...santai aja...begitu guyonan teman-teman saya waktu kecil ketika melihat anak yang terlalu rajin. Memang sudah menjadi bagian hidup masyarakat kita bila tak ada ancaman, maka hal yang paling diutamakan dalam hidup adalah santai-santai jagongan, cangkrukan, kongkow -kongkow. Tak peduli strata apapun hal ini sudah menjadi candu bagi kita semua. Bedanya cuman masalah istilah. Kalau jagongan itu istilah orang desa beserta segala bumbu kleniknya, cangkrukan adalah istilah orang kampung kota dengan fenomena berfikir urban yang pragmatis bermodal katanya bin katanya, kongkow adalah ungkapan kelas menengah atas dengan keterseretan diri dihadapan lifestyle produk konsumtif atau isu megatrend, dan last but not least diskusi atau seminar adalah jargon untuk orang intelek yang lengket dengan waham agen of change. Dan jangan kaget, saya pun sama saja kecanduan narkoba yang satu ini.He...he...nikmat...kepala serasa dipijit-pijit.

Kembali lagi, sekarang bagaimana kalau kita berbalik mulai mencoba menabuh gendang sekeras-kerasnya, seindah-indahnya. Agar gema itu tersebar ke seluruh penjuru langit bumi. Semua menari berjoget bergembira mengikuti apa saja yang sedang dan akan kita pukul.

Mari kita mulai menabuh versi lain...

Tetabuhan pluralisme itu sebenarnya sudah begitu melekat dalam diri kita. Berhari-hari, bertahun-tahun, sedjak tempo doeloe sebeloem djaman sepoer lempoeng. Masalahnya kita ragu untuk menabuhnya karena tempo iramanya tak sesuai dengan tetabuhan pemegang fatwa penguasa global. Tetabuhan pluralisme sesungguhnya adalah konsep jamaah. Plural itu bahasa Inggris dari kata jamak, sedangkan jamaah itu disarikan dari bahasa arab . Komplit hakiki bahasa Indonesianya adalah gotong royong rame-rame, bareng-bareng. Merunut dari istilah plural, ketemulah isme utama Islam adalah jamaah. Konon pahalanya 27 kali lipat lebih banyak. Lalu pluralisme atau jamaah untuk apa dan mulai darimana ?

Kalau kita ingin kuat dan daya hidup ini lebih efektif minimal 27 kali lipat, pertama mari sadari bahwa tiap hari, tiap jam, tiap detik kita selalu dibarengi dengan Allah, berjamaah dengan Allah. Kejamaahan abadi alias pluralisme hakiki. Biasanya setelah kita berpluralisme jamaah secara tepat bersama Allah, segala jawaban kebuntuan hidup akan mudah terurai. Tugas-tugas mengalir dengan lancar apa adanya. Antara plan dan action sangat seimbang. Keseimbangan inilah yang disebut berdaya. Bila semua orang dalam sebuah kesatuan wilayah mempunyai daya yang begitu kuat, maka wilayah itu disebut wilayah adidaya atau sering kita sebut negara adidaya. Blar....! Negara super power. Wus...Indonesia jadi negara super power. Penghuninya para superman dan superwati...eh superwoman ding....

Jika saat ini negara kita dirumuskan sebagai negara ketiga yang dalam hitungan statistik tingkat peradabannya masih sekitar seperduapuluh negara super power, maka bila kita semua berpluralisme kepada Allah dengan sesungguhnya, tidak menutup kemungkinan sistem pahala kemajuan peradaban 27 kali lipat akan segera terwujud. Dus berarti kita masih surplus tujuh digit lebih maju dibanding negara super power yang ada saat ini. Apakah ini hanya mimpi ? Ya...memang semua berangkat dari impian. Semisal video streaming 3G adalah impian tahun 70an film Startrek. James Watt, T.A Edison, Einstein pun mengakui bahwa referensi teori hanyalah bagian kecil dari sesungguhnya kehidupan mereka. Mimpi dan berimajinasi adalah domain terbesar hidup mereka.

Mimpi berimajinasi yang benar, disindir-haluskan Rasulullah dalam konteks beribadahlah kamu seakan-akan engkau melihat Tuhanmu. Walaupun masih terhenti pada wilayah seakan-akan, paling tidak akan berdampak melatih konsistensi perjuangan terhadap suatu hal. Wujud dari konsistensi adalah bergerak secara terus-menerus untuk mencapainya. Mujahadah, jihad dan ijtihad adalah pencariannya. Ya...bergerak terus ! Bergerak adalah bekerja !

Bekerja bukan hanya dikerdilkan menjadi urusan uang. Namun bekerja adalah cakupan enterpreneurship, imajinatif, inovatif, profesionalitas dalam berkarya, istiqomah, tawadhu, tasamuh, tabayyun, pelayanan sosial dan pencerahan-pencerahan. Dalam Islam semua hal ini disebut amal sholeh. Inilah rumusan komplek tentang hakikat kerja yang selama ini telah dibonsai maknanya hanya menjadi urusan keuangan alias kapital - isme. Bila seseorang mempunyai kompleksitas dari unsur amal sholeh ini, ya bisa dibayangkan sendiri betapa terbantunya kehidupan kita bersama. Dream come true...

Sekarang kalau kita tidak sanggup berpluralisme dengan konsep amal sholeh yang nyata, mari kita melakukan kegiatan yang berlawanan kata dengan pluralisme. Ikrarkan dengan lantang, Singularisme !. Single fighter, soloist solitaire. Berkelana sebatang kara kesana kemari mencari realitas makna hidup. Namun ini juga masih singularisme tanggung karena masih membutuhkan banyak variabel kelana, seperti pengamatan dan perjalanan alam. Baik alam fisika materi maupun alam ghaib. Intinya masih jamak karena masih ada subyek versus obyek. Singularisme murni adalah tidak butuh apa-apa lagi karena diri sudah melebur menjadi satu. Wahdatul wujud. kalau kita takut atau alergi dengan kata wahdatul wujud, mari kita downgrade istilah itu dengan wahdatul syuhud. Satunya kesaksian. Kesaksian kita adalah pengetahuan terhadap Sesuatu di balik adanya nama. Kalau ada nama pasti ada yang dinamai. Yah...sekedar mencari yang punya nama. Setelah bertemu dengan yang punya nama, kemudian tinggal menyaksikan bahwa Yang Satu itu meliputi, berkehendak, menentukan, menggerakkan dan satu-satunya daya. La haula walaquwwata ila billah. Bila jalan akhir ini tidak juga kita imani, mari bersama-sama bersikap gentle mencoret ayat La haula walaquwwata ila billah. Anggap saja ayat itu tidak pernah ada.Dhaif. Karena tidak sesuai dengan file kepala. Tak lain agar otak ini tidak terusik legitimasi kekuasaannya.

Nah...Kalau sudah begini, Terus enak e yok opo rek ! gimana bang ..piye bos...what's up coy....buat apa kita bertengkar dengan isu pluralisme dari negeri antah brantah yang dangkal itu ? Sebab kalau kita sibuk membela konsep pluralisme dari tetabuhan orang lain, nyatanya kita ini tidak punya konsep yang terukur, tersistem dan berjangka yang mewujud menjadi manfaat nyata dalam wilayah internal terkecil, sesama muslim. Pun kalau kita memfatwa pluralisme itu haram, ternyata kita juga tidak siap dengan singularisme murni manunggaling kawulo Gusti. J

adilah kita umat peragu. Kiri takut dikira komunis penolak Tuhan, kanan takut dikira fundamentalis kura-kura dalam tempurung, tengah takut dianggap moderat liberalis. Bingung kan ? jangan khawatir, saya juga bingung....ya memang begini ini isinya angan-angan waham dalam otak. Wilayah pasar bebas yang penuh permainan. Laaibun wa lahwun. Bukan untuk di amini. Apalagi di Imani.

Jadi mari belajar tak peduli apa itu pluralisme ataupun singularisme. Tak perlu beradu referensi. Yang penting mari terus belajar bahwa segala hal dan kejadian, ntek-tekan final ujung-ujungnya harus ketemu Allah. Eksak. Sebuah ketauhidan. Maha Satu, Maha Solid, Ahad tak terpecah. Inilah genderang tetabuhan yang harus kita pukul sekeras-kerasnya, seindah-indahnya. Sebuah takbir akbar kemenangan tanpa ada yang perlu dikalahkan. Agar semua mampu menggapai kebahagiaan puncak. Kata almarhum pelawak Asmuni bukan lagi hil yang mustahal menjadi Suangaaa...at bahaggiyyahh....

Terakhir, ijinkanlah saya berpidato bak gaya khatib Jum'atan... " Wahai saudaraku muslimin dan muslimat yang dirahmati Allah, Marilah kita semua mulai berfastabiqul khairat, beramal soleh. Ajarkanlah solusi, bukan ilusi. Ajarkanlah problem solving bukan tong kosong berbunyi nyaring. Berbagilah pengalaman bukan hanya angan-angan.

Amal amal...amal amal....amal amal...ayo kotak amalnya masih kosong...isilah dengan keringat...isilah dengan modalmu walaupun hanya sebatas dengkul.....

Demikian khutbah yang saya sampaikan kali ini. Semoga ini menjadi pengingat, khususon wa khususon untuk saya pribadi. Bila saudaraku sekalian tidak ngantuk dan setuju dalam mendengar tausyiah ini, ya Alhamdulillah. Lumayan buat nambah celengan pahala....

Wassalam, semoga tidak menambah rumit.

Dody Ide

1 komentar:

  1. Saya benar2 dibikin ketawa terpingkal2 membaca tulisan2 Mas Dody, sekaligus membuat saya banyak tersadarkan dan tercerahkan. Jujur, saya mengagumi tulisan2 Mas (apalagi orangnya ya?)
    .
    Jika Allah menghendaki, saya ingin berbincang-bincang dengan Mas via YM. Semoga berkenan.

    Salam,
    dari seorang pencari kedamaian
    Aris Susanto
    light_2017@yahoo.com
    http://esensi.wordpress.com

    BalasHapus