Kamis, 01 Mei 2008

Religious Quotient



Apa sikap dasar dari seorang jenius ketika menghadapi tantangan atas persoalan hidup ? Bagaimana prilaku seorang expert ketika menyelesaikan tugas - tugasnya ? Gimana sih reaksi orang yang tidak punya jawaban atas tantangan hidup ? Apa chemistry utama orang yang hanya punya informasi sepotong-sepotong ketika diharuskan bertindak ? Bagaimana mental seseorang yang menjawab realitas bermodal mencontek doang tanpa tahu realitas permasalahan sesungguhnya ? Kira-kira aksi apa yang akan dilakukan oleh seorang yang bermodal isu doang ? Marah, tersenyum merasa tertantang, kalap, mrengut, ketawa-ketiwi, sigap atau emosional meluap-luap ? Mari kita uraikan berbagai alternatif jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu dengan mengaca pada contoh sederhana keseharian.

Satu tambah satu berapa nak ? Begitu kata bu guru kelas satu SD. Bagi yang di luar kepala, cara menjawabnya pasti ringan-ringan saja . Pertanyaan direspon cepat, lugas, tapi rileks. Bahkan bagi murid kelas lima SD, pertanyaan itu dijawab dengan senyam-senyum. Tapi bagaimana bila ujian ini dihadapi anak yang tak mau belajar ? Gugup, terkadang wajah memerah, bahkan melampiaskan kemarahan pada teman sebangku bila si teman sebelah nggak mau membantu memberi jawaban. Bagi yang ilmunya pas-pasan alias ABT ( Anak Baru Tahu ), biasanya jawabannya lebih kedahuluan emosional meluap-luap daripada betulnya jawaban itu sendiri. Tapi ya begitulah proses belajar.

Dalam proses beragama pun demikian adanya. Dengan satu tantangan hidup yang sama, dengan referensi pelajaran dari kitab suci yang sama, eehh...cara menjawabnya ada yang dengan kemarahan, ada yang lugas, ada yang gagap, ada yang senyam-seyum ketawa-ketiwi, ada yang merasa paling tahu alias ABT, ada yang kelihatan cengengesan nggak serius tapi persoalan bisa kelar dengan baik. Banyak juga yang menjawab dengan kening berkerut akut sampai-sampai bekasnya tidak hilang berhari-hari bahkan bertahun-tahun, tapi hasilnya nggak jelas. Berputar-putar hanya satu isu saja. Kenapa begitu ?

Mari sekali lagi kembali berkaca dengan mengacu pada salah satu metode ujian Sekolah Dasar jaman dulu.

Entah sekarang masih dipakai atau tidak, jaman dulu ada sistem ujian dengan penilaian jawaban A,B, C dan D yang kurang lebihnya begini : Jawaban A bila pernyataan betul, alasan betul dan berhubungan. Contoh soal : Mr X butuh makan soto, karena ia lapar. Jawaban B bila pernyataan betul, alasan betul, tapi tidak berhubungan. Misalnya : Mr X bertanya kepada Mrs Y bagaimana cara mengolah daging agar enak dimasak soto. Mrs Y menjawab " emangnya daging cuman bisa buat soto doang !. Jawaban C bila pernyataan Betul, alasan salah. Misalnya : Mr X memasak soto, karena ia haus sekali. Jawaban D bila pernyataan salah, alasan salah. Misalnya : Mr X mencuri soto untuk digunakan menenggak pil koplo.

Jujur saja, dalam memotret persoalan hidup kita pernah memiliki jawaban A, B, C bahkan D. Akumulasi rata-rata dari jawaban itu akan menunjukkan apa yang disebut derajat Religious Quotient, RQ. Mohon maaf, ini bukan promo istilah baru. Bagi saudara-saudara trainer, pendakwah, ataupun psikolog bila sreg dengan konsep ini, ya monggo dikembangkan, digunakan sebesar-besarnya untuk kemaslahatan bersama. Asal jangan diklaim apalagi dipatentkan. Sebab sebenarnya realitas ini sudah ada sejak jaman bahuela walaupun tidak pernah dilabeli. Saya hanya sekedar kacung yang mengelap, membersihkan debu sana-sini. Karena terlalu lama tidak dipakai. Agar tampak kembali fungsi dan keindahannya.

Karena secara realitas umum keseharian kita ini mahluk tiga dimensi, maka rumus Religious Quotient juga harus mewakili tiga elemen. Seperti pelajaran SD, rumus tiga dimensi adalah elemen triaxis X,Y dan Y. Panjang, lebar dan tinggi. Panjang mewakili planning berfikir . Lebar menunjukkan action amal nyata. Tinggi menunjukkan sebuah kesungguhan transendensi . Ketika tiga elemen dasar ini berpadu serasi, maka akan muncul bentuk bangun tiga dimensi yang dinamis. Apa yang ada di dalam bentuk bangunan ini ? kosong...! Lho terus ngapain kalau cuman kosong...? Ups...tunggu dulu. Sampeyan dan saya membeli tas, rumah, kulkas atau tempat sampah, sebenarnya yang kita beli adalah area kosongnya. Karena di wilayah itu segala kehendak kita akan terwakili.

Ruang kosong adalah Religious Quotient. Makin sedikit ruang kosong itu, jawaban kita terhadap tantangan hidup makin bergeser ke arah jawaban D. Pernyataan salah, alasan salah. Makin besar ruang kosong itu, jawaban kita terhadap tantangan hidup makin bergeser ke arah jawaban A. Terus bagaimana cara kita menilai diri sendiri bahwa jawaban kita ini sudah A atau masih D ? Gampang. Sesak atau leganya mahluk bernama dada ini.

Sempitnya ruang dada tak lain karena ketidakseimbangan antara faktor X,Y dan Z. Sebetulnya tidak ada seorangpun yang berniat menyempitkan dadanya sendiri. Namun biasanya keterhimpitan ini terjadi karena kita salah meletakkan, memperpanjang atau memaknai ketiga faktor itu. Misalnya, persoalan X kita tanggapi Y, masalah Y kita panjangkan dengan variabel X, realitas Z kita ukur dengan faktor X. Berfikir kita anggap sudah beramal nyata, beramal kita anggap tak perlu dengan strategi, bermiraj kita anggap sekedar berfikir. Kita memperpanjang pada sisi yang salah secara terus menerus. Wrong man in the wrong place.

Contoh keseharian, suatu pemahaman agama yang tidak sesuai selera referensi diri, kita selesaikan dengan cara kekerasan amaliah fisik. Padahal pemahaman adalah unsur X, tetapi kita memberi treatment dengan unsur Y. Contoh kedua, masalah kemiskinan kita sikapi dengan gencarnya seminar alias unsur Y kita selesaikan dengan konsep X. Contoh ketiga juga tak kalah seru. Masalah perjalanan esoterik seseorang ( faktor Z ), kita sikapi dengan konsep-konsep filosofi faktor X. Hidup yang selalu nggak nyambung. Paling banter kita hanya mendapat nilai B. Pernyataan betul, alasan betul tapi tidak berhubungan. Tidak pernah merasakan kenyamanan batin. Walaupun sebenarnya sih antara X, Y dan Z ada juga ordinat titik temu.

Memang pada awal penyikapan yang keliru ini, kita merasa sudah berbuat sesuatu. Beres. Inilah kebenaran !. Begitu PeDe nya klaim diri kita ini. Namun lama kelamaan biasanya kita hanya menemui kelelahan bentuk diri. Sangat ada namun hambar. Sangat diakui namun kehilangan ketenangan batin. Pesimis atau agresif. Ruang kosong itu bentuknya sudah sangat jauh dari proporsional sehingga tidak nyaman ditempati. Kita memperpanjang kehidupan hanya satu sisi. Sehingga hidup kita persis seperti berjalan di terowongan puanjaaaang, sempit, gelap dan seakan- akan nggak sampai-sampai pada tujuan. Sisi apakah itu ? X, Y atau Z ? Hanya kita sendiri yang tahu. Tiap orang berbeda.

Dengan parameter mengamati dada, kita akan mudah mengetahui ketidaksepadanan bangunan dalam diri sendiri. Ketika dada ini mulai sesak, kita langsung bisa mendiagnosa penyebabnya. Oh...ternyata aku ini terlalu banyak menghabiskan waktu untuk bekerja, bekerja dan terus bekerja . Berarti aku harus mulai menambah pengetahuan dan menambah kadar kemenyerahan diri atas segala cobaan hidup. Oohh...aku ini tiap hari hanya berfikir, berfikir dan berfikir. Sampai nafas ini jadi pendek-pendek. Berarti aku harus segera mulai melaksanakan kata-kata yang terangkum dalam otakku. Aku harus mulai menuju Sang Penggerak otak agar loncatan elektrisnya mampu meneduhi sekitar. Oohh...aku ini kerjaannya cuman bingung acara tapa brata sehingga makin bertapa makin liar pikiran dan dada ini. Aku tidak mau jadi nabi palsu. Aku harus berguru lagi mencari ilmu. Sebab berguru adalah bagian laku amal kerendahan hati dan penghapusan atas perasaan merasa benar yang begitu menyala tapi tak terasa.

Tentu saja rumus dan contoh di atas sekedar bagian kecil dari RQ. Kita bisa mengembangkan rumus triaxis dengan berbagai pendekatan yang lain. Misalnya kita bisa memaknai lambang segitiga patrapnya ustadz Abu Sangkan atau lambang - lambang yang kurang lebih sama yang banyak tersebar di tanah air dan berumur sangat tua itu dengan pemaknaan X adalah fisik, Y adalah jiwa beserta turunannya ( NLP otak, hukum LOA dan beberapa aspek bawah sadar lainnya ) dan Z adalah ruh. Tiga unsur kita padukan selaras sesuai kehendak bersih titik tengah sumber hidup, Al hayyu. Bisa juga kita memaknai seperti film Avatar yang lagi digemari anak-anak. X adalah unsur bumi atau tanah, Y adalah unsur api, dan Z adalah unsur air. Tujuannya mewujudkan diri menjadi pengendali udara alias melebur dengan ruang kosong.

Konsep ini pun juga ada dalam diri Rasulullah. Awal perjalanan adalah pengendali bumi ( pedagang ), kemudian menuju pengendali api ( perekat suku-suku yang bertikai di Makkah ), dilanjutkan dengan kemampuan mengendalikan aliran air kehidupannya dengan mensifati air yang selalu bergerak ke bawah. Rendah hati praktek menemani orang-orang bawah yang tertindas dan terhimpit. Finishing bangunan perjalanannya adalah bermiraj menemukan titik pusat yang bersih, Maha Suci, Allah. Tepat simetris di tengah, tidak condong ke kiri atau kanan. Lurus. Sirathal mustaqim. Padhang jingglang.

Bila rumusan-rumusan ini membingungkan, maka ada cara yang paling mudah untuk mewujudkannya. Bercermin, kemudian tersenyum atau menertawakan diri sendiri. Semudah itukah ? Kata siapa mudah...Selama ini kita bercermin hanya untuk merapikan diri agar enak dipandang orang lain. Luar diri. Bukan untuk enak dipandang kedalam diri sendiri. Pernahkah kita merutinkan diri barang lima menit sehari bercermin sambil berkata dan mencari jawaban " apa yang salah dalam diriku ?

Kalau tidak menemukan, tertawalah. Kalau takut dianggap tidak beres ya tersenyum dulu sambil tengok kanan kiri jangan sampai ada orang tahu dan menyangka yang tidak-tidak. Dengan tertawa dan melihat eksyen diri dihadapan cermin, dada jadi mengembang. Otomatis otot juga rileks, aliran dada ke otak lancar karena syaraf bekerja semestinya. Kalau sudah dalam kondisi ini, jawaban kesulitan hidup mengalir deras, semangat menyala kembali.

Memang benar adanya, orang jaman dulu mengistilahkan cermin dengan kaca rasa. Pantulan bayangan itu akan menunjukkan refleksi diri. Kita akan akan cepat merasakan potensi positif ataupun ketidakberesan diri. Kita akan menemukan potret diri dengan perwakilan dominan karakter jawaban A, B, C dan D dalam rumusan RQ. Kalau potret diri itu menunjukkan jawaban D alias banyak kerut ketegangan di wajah, maka cepat-cepatlah mulai keras terhadap diri sendiri. Melawan hawa nafsu yang begitu samar yang seakan-akan duduk manis berjubah kebenaran.

Sangat berat metode menertawai diri sendiri via cermin ini. Hayo...kalau nggak percaya coba saja rutin barang seminggu. Pasti kita takut dianggap menclek, miring, nggak full alias bocor halus. tapi terima saja. Memang begitu keadaan saat ini. Orang yang mau mengoreksi dri sendiri dianggap kurang waras. Orang yang gencar mengoreksi orang lain dianggap pahlawan.Perang kecil di medan laga lebih mulia daripada perang besar melawan hawa nafsu. Ghendheng rek !

Memang tangga menuju keberkahan adalah keras terhadap diri sendiri, lembut kepada orang lain. Rasulullah pun demikian adanya. Coba siapa yang sanggup menyamai tirakat beliau yang begitu keras atau menyamai kelembutannya ? Bertirakat di Gua Hiro yang sempit dan panas berpuluh-puluh malam, menahan lapar dengan mengganjal perutnya dengan batu demi kenyangnya umat, terusir berjalan ratusan kilometer dari Makah ke Madinah, dan mendoakan orang yang menganiaya adalah salah satu contoh kecil dari sesungguhnya rangkaian kehidupan beliau.

Adapun fungsi ayat Al Fath : 29 " Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka...".

adalah untuk ditujukan ke dalam diri sendiri dulu. Baru kalau persoalan dalam diri beres, bolehlah dengan hati-hati kita tujukan ke orang lain. Keras kepada kaum kafir maksudnya keras terhadap ketidakberesan unsur-unsur ( kaum ) kufur kemengeyelan dan kejahilan dalam diri sendiri. Lembut kepada sesama muslm berarti merawat dengan lembut, menjaga dan istiqomah atas segala sisi-sisi positif ( mukmin ) dalam diri yang diberikan Allah kepada kita, untuk dipupuk dan ditumbuh kembangkan sebagai bentuk pertanggungjawaban keislaman . Tak lain agar Islam menjadi kekuatan yang benar-benar riil dalam keseharian. Menjadi sebuah keteladanan nyata. Bukan hanya cerita masa lalu atau sebatas angan-angan akan, akan dan akan.

Sebagai penutup....

Kesimpulan RQ, jawaban A adalah jawaban berhawa surga. Isinya penuh ketenangan, senyuman, salam dan kebahagiaan. D adalah jawaban terjelek yang isinya mrengut, mudah tersulut, tidak terima, marah-marah. Panaaas...panaaas .... Neraka.

Seandainya kita tak punya jawaban atas masalah yang bersifat religiusitas, usahakan saja selalu tersenyum agar secara bawah sadar kita terangkat menuju derajat jenius dalam beragama. Tidak ikut terkena hawa neraka. Terkadang sih, yang repot dan kerap terjadi, kita ingin berbagi surga kebahagiaan dan kebenaran kepada orang lain, tapi dengan jalan marah-marah. Berarti jawaban RQ nya A, B, C atau D ? ketidaksepadan jawabannya akibat over X, Y atau Z ? Bingung kan ? samma....

Mari selalu tersenyum dan tertawa. Biar tetep keren dan terlihat jenius. Minimal, kata Nabi menebar senyum itu berpahala. Sesederhana itu saja. Tak lebih.

Wassalam. semoga selalu tersenyum dan tertawa

Dody Ide

Tidak ada komentar:

Posting Komentar