( Sebuah kiasan tahap pembebasan diri pejalan Tauhid atas manisnya godaan kemasyhuran )
Judul ini adalah sebuah asosiasi dan pecahan berbagai nama dari asal satu zat atau satu benda saja. Layaknya sebuah proses ketauhidan yang mempunyai istilah ahad, ahadiyah, wahidiyah, wahdaniyah, semua hanyalah bermula sebagai sebuah pengkotakan untuk memudahkan positioning diri. Yaitu dimanakah sesungguhnya letak perhentian kita.
Sesuai hukum waktu siang malam beserta cuacanya, padi mulai dapat diolah dan berguna bila ia mampu melewatinya dengan sebuah ketegaran daya tahan. Uniknya ketegaran sang padi bukanlah ketegaran jago silat yang selalu pasang kuda -kuda dengan kepala sedikit terangkat ke atas beberapa centimeter. Kematangan padi mudah dilihat dengan ketundukan posisi dan kemudahan memetiknya. Kemudian pada tahap metamorfosa selanjutnya mau tak mau padi juga wajib meninggalkan kulit walaupun si kulit begitu menggoda dengan warna keemasannya. Tak lain agar diketahui kualitas isi sesungguhnya. Apakah bulir padi itu keropos, bulat bersinar, atau buram.
Bila telah terkelupas kulitnya, otomatis padi berubah nama menjadi beras. Godaan semakin besar. Ketika padi menampakkan diri menjadi beras yang bersih bersinar, banyak sekali orang berebut untuk memilikinya. Bahkan para tengkulak alias pembesar mengkooptasi kepemilikannya. Sehingga jauhlah manfaat beras atas hajat hidup orang banyak. Melalui proses marketing ekonomi modern, beras yang sebenarnya berkualitas sama saja, dikemas dengan berbagai macam merk berbeda dengan harga berbeda pula sesuai pemetaan daya beli konsumen. Adakalanya sang beras terseret halus ke-GR-an terhadap rumusan rating popularitas semacam ini. Tapi begitulah adanya.... memang hukum pasar itu begitu menyihir kita sehingga tak terasa daya berfikir ini jadi sedikit aneh.
Sejurus setelah para konsumen mengantri beras dan berandai -andai memetik manfaatnya, tibalah saatnya kualitas beras itu dibenturkan dengan kenyataan proses realitas manfaat ke depan. Memang hak penuh konsumen mencocokkan manfaat yang masih di dalam buah pikiran untuk diteruskan menjadi manfaat pada tataran hidup keseharian. Beras itu kemudian dipupusi ( di cuci ) dalam kubangan air, diremas- remas, diputar - putar, diaduk - aduk untuk membuang debu kerikil dan kutu yang masih terselip. Pastilah tidak enak diobok - obok seperti itu.Tetapi apa daya beras tetap harus bersedia eksis terhadap berbagai gesekan dalam air agar mampu menjadi makanan yang benar- benar bermanfaat dalam wilayah keseharian.
Tahap selanjutnya adalah tahap paling tidak mengenakkan pada diri beras. Untuk menjadi manfaat, untuk merubah diri menjadi nasi, ia wajib memasuki kawah chandradimuka yang begitu panas. Panci soblukan penanakan. Ia harus berhadap- hadapan selama beberapa waktu dengan kekuatan kezaliman api, kekuatan lidah api, kekuatan gonjang -ganjing yang mendidih dari api neraka yang bahannya berasal dari batu dan manusia . Batu adalah perlambang kerasnya hati, manusia atau dalam bahasa Jawa disebut manungso ( manunggaling rumongso ) adalah perasaan berdaya yang begitu lekat. Ia pun harus mau merasakan dan berteman dengan kepengapan, keterbatasan gerak, dan kegelapan yang menyelimuti. Agar ketika tutup dandang ( panci untuk menanak nasi ) dibuka pada waktu yang telah ditentukan, tampaklah cahaya sejati yang terang tak terbantahkan. Minadzdzulumati ilannuur....
Dan berhaklah beras disebut dirinya nasi. Bila saja sang beras melarikan diri dari panasnya api, pastilah beras cuman menjadi nasi akas alias nasi sortiran yang setengah matang. Nasi yang hanya bikin perut mulas. Seolah kenyang mengkonsumsinya namun tiba -tiba semua pada antri ke toilet dengan perasaan gaduh dan saling tidak sabar.
Memang tak mudah perkara beras yang ingin menjadi nasi.
Seperti dalam wilayah – wilayah religius, semua tanpa terkecuali berada pada wilayah penampian beras dan penggodokan agar kelak ketika masanya telah tiba, segala persilaturahmian sambung rasa ini akan mudah dipersembahkan menjadi makanan yang enak dan sehat. Tentu saja hal ini pasti akan terjadi bila kita tetap memakai filosofi keindahan bungkusan kotak-kotak hijau menguning yang saling berpilin, atau biasa disebut ketupat. Semua tetap pada wilayah kekotakannnya namun mampu bekerja sama melingkupi membungkus sebuah isi nilai Islam dengan tata cara keindahan akhlak yang selalu terjaga .
Warna hijau kekuningan adalah warna sebuah kematangan. Hijau adalah perlambang hidup, kuning adalah perlambang kejayaan. Dan sesungguhnya sebuah kejayaan Islami adalah sebuah kejayaan yang mampu menghargai segala sesuatu yang hidup. Atau tepatnya yang dihidupi. Yang tentunya semua berasal dari Yang Maha Hidup. Innalillaahi wa inna ilaihi raa jiuun. Semua berasal dari Allah dan ada kesadaran untuk mengembalikan hak hidup dan menghidupi kepada Allah semata.
Inilah sebuah lebaran sesungguhnya yang dinantikan semua umat muslim. Lebaran yang berarti lebar dan luas. ikhlas dan merdeka. Yang berarti telah terbebas dari keterjajahan konsumerisme kilau kemapanan kemasyhuran dunia, merdeka dari istilah kata-kata yang kelihatan keren dan rumit namun niatan ujungnya hanya itu -itu saja, merdeka dari penjajahan konsep pikiran serta terbolak - baliknya qalb, merdeka dari tebang pilih menasehati orang kaya miskin berdasat fee, merdeka dari penilaian pandai bodoh, merdeka dari kemerdekaan menghindari konflik alias merdeka dari kata merdeka itu sendiri.
Itu semua tak lain agar berakhir dengan kemerdekan bermesraan bersanding dengan Allah. Sesuatu yang sesungguhnya sangat pribadi dan tak mungkin dapat dicampuri ataupun digugat orang lain. Sebab sesungguhnya Allah akan marah atau mengistidraj bila kita berani mengusik rahasia kekhusyukan antara hamba dengan Sang Khalik. Bagaimana tidak ? wong kita saja kalau punya rahasia yang sangat pribadi lalu ada orang lain menyebarkan kepada umum pasti kita akan marah. Negara pun demikian adanya. Pasti penyebar rahasia itu dihukum berat. Apalagi ini rahasia Allah.
Nukilan ayat " Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.( Adz Dzaariyaat 51 : 56 ) bila digandengkan dengan ayat "Sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar ( Al Ankabut 29 : 45 ) , adalah sebuah kejelasan proses metamorfosa dari tahap benih, padi, beras, nasi dan akhirnya menguap menjadi energi hidup yang kemudian membumi lagi menjadi benih kembali. Dan semoga kita semua di anugerahi nyali untuk menuntaskan semua proses ini agar tidak tidak terhenti setengah- setengah yang akhirnya beras bukan nasi pun bukan, tak jelas namanya, tak jelas manfaatnya....samar alias jin, yang bikin majnun, karena tak sadar kalau masih terhenti pada ajna ( dahi ) alias persangkaan - persangkaan diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar