Senin, 12 Mei 2008
Generasi Bilal
Ahad...Ahad...Ahad...Rintihan itu begitu melegenda. Batu hitam menindih orang hitam. Apakah ini hanya sebuah cerita yang telah usai ? Apakah ini hanya terjadi pada belasan abad yang lalu ? Hanya Bilal kah yang mengalami ? Oi...ternyata semua itu tetap terjadi pada kehidupan modern. Tentu dengan sistem dan mekanisme yang lebih halus nan membuai. Ahh... di balik cerita selalu saja ada makna tersembunyi yang tak lekang oleh jaman.
Sang Rasul tidak sekedar memberi ibrah dan rumus pertolongan hanya untuk jamannya. Ummati...ummati....rintihan akhir hayat beliau itu selalu menggema dan berlaku on air sampai akhir jaman. Sayup-sayup suaranya hanya bisa tertangkap oleh mereka-mereka yang mau melembutkan kapasitas pendengarannya dihadapan Yang Terlembut. Al Lathief.
***
Setiap manusia yang masih bernafas pasti pernah punya masalah dengan perut. Seperti mag, sembelit, mencret, cacingan ataupun usus buntu. Entah itu terbuntu oleh bajaj atau becak. Masuk akal atau tidak itu urusan belakangan. Sebab kenyataannya teluh bisa berbuat demikian.
Namun yang tidak disadari bagi orang modern, penyakit paling berbahaya bagi perut adalah ketertindihan oleh batu. Sekali menindih akan berakibat fatal persis seperti kejadian Bilal. Ia tidak akan leluasa bergerak. Seluruh mekanisme kehidupannya tak bisa lepas dari konsep batu. Terkapar panas terbakar di kegersangan.
Tiap hari mulai pagi sampai petang, bahkan lembur, para pekerja hanya disibukkan mengurusi batu yang menindih perut dan dadanya. Batu itu siap menerkam menindih siapa saja yang masih tertambat oleh kesenangan perut dan dada.
Batu adalah perlambang sesuatu yang keras tak bercahaya. Sebuah kekerasan tanpa cahaya itu telah menjajah menindih perut-perut orang yang lupa akan Tuhannya. Wujud batu itu adalah sistem yang kaku. Sistem yang hanya menghargai orang hanya dari sisi kebendaan materi beserta segala rumusannya. Baik rumusan dagang maupun rumusan logika kontemporernya.
Batu itu hanya menghargai seseorang dari sisi SDM industri dan kepemilikan benda. Siapa yang tak memiliki keduanya, maka kehidupannya akan terancam, sangat terancam. Perutnya sebagai perlambang kemakmuran hidup akan dilindas ganas oleh si batu. Yah... memang dunia modern hanya bertumpu pada kemampuan seseorang mengelola benda materi dengan berbagai bidang kelimuan dan segala strategi penjualannya.
Nalarnya tak pernah menjangkau bahwa berbagi itu lebih tinggi derajatnya daripada menjual. Lingkaran setannya, ketinggian derajat seseorang sudah terlanjur diukur hanya sebatas standard perolehan dan penguasaan atas jualannya. Padahal memperoleh dan menguasai adalah konsep samar dari tangan di bawah. Filosofi tangan di atas yang mencerminkan kekayaan memberi, melapangkan dan mencerahkan sangat sulit dicerna akal. Persis seperti sulitnya menyingkirkan batu dari perut.
Keindahan akhlak dan memberi akan terburai oleh beratnya batu-batu itu. Keduanya tak lagi dianggap sebagai sebuah konsep madani yang menjanjikan kemakmuran. Tak ada jaminan hidup sejahtera bagi yang berakhlak mulia dan mau memberi. Para penyetia rumusan ini hanya bisa bersembunyi di kesunyian sambil merintih sedih.
Mereka bertanya-tanya dalam diri, " Mengapa pintar saja sudah lebih dari cukup sedangkan jujur saja tak kan pernah cukup. Mengapa orang yang kerjaannya membanggakan eksistensi diri sangat di Tuhan kan sedangkan orang yang berusaha memfanakan diri di hadapan Tuhan malah dihujat dianggap sesat. Mengapa orang korup masih dipanggil dengan sebutan beliau sedangkan orang yang amanah cukup dipanggil si itu tuh. Mengapa penyedia masakan pemikiran instan berfilosofi cukup rebus tiga menit selalu diburu sedangkan juru masak sejati yang setia menghidangkan masakan sehat alami selalu ditinggalkan.
Jangan - jangan hidup kita ini memang seperti mie instan. Kayaknya lengkap, ada mie rasa ayam, rasa udang, rasa sapi tetapi kenyataannya kita hanya makan mie doang. Ayam, udang dan sapinya sesungguhnya hanya angan-angan tombo ati yang tak pernah ada pada hidangan nyata. Jangan-jangan lagi kelapangan dada kita hanya karena membaca tulisan yang cocok, mendengar guru yang dikagumi, merasa pendapat diterima banyak orang, dapat jatah kantor ke luar negeri, kumpul bareng bertraining ria, dapat bonus gajian atau sebab suasana lain.
Akhirnya kebahagiaan kita persis seperti orang mendapat hadiah mobil mewah, tapi ...dalam bentuk brosur.
Kelapangan dada ini akan teruji ketika perolehan-perolehan keringat itu mulai dikukuti, perlahan-lahan disirnakan dari hadapan kita. Ditukar gullingkan, diaduk-aduk dengan suasana sebaliknya melalui juru masak yang telah dipersiapkan Allah. Kita akan di "jujur"kan dengan keadaan sendiri ketika diri ini di tempatkan dalam mihrab tersunyi yang sering kita tinggalkan.
Bagi kita yang beriman, ndhak perlu khawatir... percayalah...santai aja...Pasti Allah akan mencoba kita. Pasti !. Badai itu akan menggulung bangunan citra hidup kita bak nafas yang tergulung sampai kerongkongan.
***
Bila suatu saat kepedihan itu datang, ia hanya bisa disirnakan dengan kesungguhan mengucap Ahad...Ahad...ahad. Tetapi ucapan itu bukan sekedar ucapan. Ia haruslah gabungan sebuah konsep, kehendak, dan keringat Tauhid. Ketiga gabungan inilah yang akan memanggil spirit Abu Bakar sang pembebas Bilal.
Abu bakar Sidiq adalah perwujudan pengakuan kebenaran atas Nur Muhammad. Ia bergelar as Sidiq karena totalitas pengakuannya. Segala kepemilikannya ia serahkan, ia pasrahkan demi sebuah nilai salam, Islam. Berserah dan bersalam adalah wujud kesempurnaan syahadat Abu Bakar. Berserah adalah keterwakilan Asyhadualla ilaha ilallah, sedangkan bersalam adalah keterwakilan wa asyhadu ana Muhammadarrasulallah.
Totalitas syahadatnya begitu gamblang diuraikan antara kemampuan transendental dan kehendak sosial. Bila disimpulkan menjadi pokok ibadah, keduanya adalah perpaduan antara sholat dan zakat. Tak heran bila hampir sebagian ayat tentang sholat selalu dibarengi dengan perintah zakat sebagai cerminan rakaat penutup, salam . Bahkan beberapa ayat menganggap orang yang mengerjakan sholat dalam keadaan kolaps hanya karena keteledoran sosial lupa menutup salam sholat dengan mensedekahi para yatim dan dhuafa. Karena ini berarti sholat yang tidak tuntas. Berarti juga syahadatnya masih setengah hati.
Kalau bagi pejalan ruhani atau peshalat yang sukses melewati godaan-godaan warna-warni cahaya dalam perjalanan alam ghaibnya, apalah artinya menzakatkan deposito dan perhiasan beserta benda-benda sejenisnya untuk di berikan semuanya kepada para dhuafa yang jelas-jelas terdesak membutuhkannya. Sebab benda-benda itu dalam teori relativitas materi hanyalah pendaran cahaya terlambat yang kemudian mewujud menjadi bayangan dalam otak lalu dapat dideteksi oleh indera. Cahaya buangan kualitas rendah alias dunia materi. Gelap dan mengeras layaknya sifat batu.
Cahaya rendahan itulah yang menjadi batu sandungan rakaat salam yang sangat samar.
Logika sehatnya, kalau dalam pergumulan dengan cahaya terlambat saja kita ini masih berat tertahan, bagaimana bisa kita ini bermaqam dalam cahaya diatas cahaya. Allah, An Nur. Jangan-jangan kita ini hanyalah ibarat orang yang akan membeli buah, namun setelah tahu rasa manis contoh buah, akhirnya nggak mau beli. Kerjanya tiap hari hanya mencicipi dari pedagang satu ke pedagang lain sampai puas.
Perolehan kelapangan-kelapangan dada itu bisa jadi hanyalah contoh buah yang tak terbeli karena beratnya hati mengeluarkan apa-apa yang telah diklaim sebagai perolehan diri. Akhirnya ketika Allah memerintahkan zakat sebagai bukti kemauan bertransaksi sosial mempraktekkan syahdat kerasulan, tiba-tiba dada ini jadi sesak mengerut dan menggenggam. Tidak seperti mekarnya hati ketika mengerjakan shalat. Padahal sama-sama perintah Allah. Tapi kenyataannya sambutan mental kita sering berbeda .
Dan biasanya beribu-ribu alasan akan siap menjadi benteng penyelamatan cahaya terlambat ini. Suatu keniscayaan turun temurun yang selalu diamieni hampir semua orang.
Dalam proses berzakat dan bersedekah sebenarnya lebih menjanjikan kemudahan dan ke eksak an bertemu dengan Allah. Hal ini disindirkan Allah dalam hadits qudsi bahwa Allah ada di balik si sakit dan si lapar. Masalahnya entah bagaimana ceritanya, biasanya kalau kita berurusan dengan orang yang sakit dan lapar, tiba-tiba dada ini jadi sesak tak bergembira.
Kedua keadaan seperti ini mungkin kita semua pernah mengalami. Sayangnya sakit dan lapar adalah moment ketuhanan yang paling kita tolak kedatangannya. Padahal kalau kita ingat, ketika mengalami hal ini sampai pada tahap akut, apa yang paling kita harap dan fikirkan ?. Tentunya harapan kita adalah sim salabim, semoga lekas sembuh, semoga cepat ada makanan, semoga ada pertolongan mukjizat Tuhan. Bangunan pikiran kita yang gagah itu luluh lantak oleh dua hal ini. Konsentrasi berfikir kita terbuyarkan. Yang ada hanya berfokus seratus persen mengharap Allah.
Seperti pepatah lama, orang yang kumpul pedagang minyak wangi walau tidak beli akan ikut mewangi. Demikian juga kalau kita mau mendekati orang yang sepenggal harapannya hanya tertuju pada Allah, maka atmosfer itu jika benar-benar dirasakan, kita akan tertarik juga pada wilayah ini. Wilayah ketuhanan yang tersamar. Biasanya kita akan merasakan suasana sunyi, senyap dan aneh. Ikuti saja. Memang berat. Lebih berat dari berdzikir ucap dan sejenisnya. Saya sendiri demikian adanya dan harus mengacungkan jempol bagi saudara-saudara kita yang ikhlas menemani orang sakit dan lapar tanpa imbalan.
Bagi kita yang tak percaya terhadap orang yang mampu bermi'raj kepada Tuhan, alangkah baiknya menempuh metode menemani orang sakit atau mengajak orang lapar makan bersama. Metode ini sering dilakukan bapak tauhid Ibrahim As. Beliau selalu mencari orang kelaparan untuk diajak makan bersama. Kalau telah sampai pada kesadaran ini, kita akan benar-benar mempunyai kesaksian terhadap ruh seperti yang disitirkan dalam surat Shaad : 72 : Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya.
Orang-orang tak berdaya ini kehendak pribadinya rata-rata telah pupus, mengerucut menjadi harapan ghaib. Sehingga ia tidak banyak campur tangan lagi dalam hidupnya. Akhirnya yang berjalan dalam kehidupannya adalah kehendak Allah. Ruh itu begitu menampakkan sebuah kehendak Ilahi. Kita yang mau menemani dengan tulus tanpa berfikir macam-macam akan mudah merasakan sebuah gerak hidup di luar gerak pribadi, Al Hayyu.
Bleng...ngebleng....tiba-tiba kita akan mengalami ayat "...Allah lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya (Qaaf : 16 ). Apa yang lebih dekat dari urat leher ? kalau merujuk kepada dunia kedokteran atau dunia kependekaran bela diri, urat yang lebih dekat dari urat leher adalah urat kematian. Letaknya di samping belakang. Sedikt tersentuh dengan tehnik tertentu, berangkatlah orang ke alam baka.
Yah, kematian itu begitu dekat. Dalam konsep Islam, kematian adalah Innalillahi wa inna ilaihi raajiuun. Dari Allah kembali ke Allah. Jadi mensedekahi dhuafa atau menemani orang sakit adalah pembelajaran konsep mati sebelum mati. Agar lebih dekat dari urat leher. Kembali ke Allah.
Memang rakaat akhir ini paling berat dalam hidup kita...
Saya sendiri sebenarnya juga berdoa menginginkan keberanian seperti Abu Bakar Sidiq yang mengorbankan seluruh hartanya untuk menebus generasi Bilal yang berserakan di tanah air. Tak lain uintuk menuntaskan proses ketauhidan layaknya Muhammad sang paripurna. Namun kenyataannya diri ini masih sebatas terkabul menjadi Abu Mahsa alias bapak dari seorang anak kecil bernama Mahsa. Itupun dengan jalan menjadi kuli batu yang hanya sanggup menyingkirkan batu kerikil yang terselip di jemari kaki. Hanya memperoleh geli. Belum sampai ke tahap berkeringat menuai puncak kenikmatan....
Semoga saja segera ada Abu Bakar-Abu Bakar sejati yang mampu mengangkat batu besar dan memerdekakan generasi Bilal dari urusan-urusan perut yang bikin mules dan eneg ini. Semoga para Bilal bersabar dan bersungguh-sungguh atas ke Ahad annya agar sang Abu Bakar segera memerdekakannya.
Tapi bagaimanakah bila Abu bakar tak kunjung datang ? Dengan terpaksa ya belajar jangan punya perut. Biar kita terlepas dari ketertidihan itu. Mangsudnya mari sama-sama belajar tidak membingungkan isi perut. Yang biasa makan tiga kali sehari dikurangi menjadi dua atau satu kali. Makan seadanya. Belajar puasa menahan nafsu. Bukan sekedar puasa mengikuti jadwal waktu yang hanya bermakna perpindahan jam makan.
Seseorang yang terbiasa mengosongkan perutnya akan lebih mudah mendeteksi apakah yang datang kepadanya itu sebuah cahaya pencerahan atau hanya cahaya terlamban alias batu. Bila yang datang kepadanya hanyalah sebuah batu, ia tak segan-segan segera menyingkirkannya. Walaupun batu itu bernama berlian ataupun mirah delima yang bersinar menyilaukan hati dan pikiran.
Demi cahaya di atas cahaya.
Wassalam, generasi Bilal
Dody Ide
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar