Tulisan ini sekedar menarik pengajaran dari sebuah proses professionalisme pekerjaan audio menuju pemahaman hidup.
Pada dasarnya finishing dari proses kreasi pengarsipan buah karya atau lagu ciptaan, enak tidaknya di dengar, ditentukan oleh proses mixing dan mastering.
Garis besarnya mixing adalah mencampur setiap suara yang masuk ke dalam media rekam menjadi sebuah output suara yang serasi secara menyeluruh. Prinsip mudahnya seperti orang memotret objek acara pernikahan. Dimana para tamu yang foto bareng dengan mempelai ditata sebagus mungkin agar semua wajah dan posisi terlihat enak di lihat. Kalau dalam audio berarti enak dan terdengar jelas semua dengan rapi.
Sedang proses mastering adalah, setelah penataan posisi tadi, kondisi lighting, zooming dan kedetilan warna secara tonal balance diberi ciri atau filter coloring agar mempunyai kesan yang seragam. Kemudian, senyum ! Jepret ! tinggal cetak berapapun pasti hasilnya sama. Menyenangkan.
Ini sekedar gambaran paling sederhana yang bisa diraba orang awam.
Lalu apa hubungannya dengan pemahaman hidup ?
Dalam konsep mixing mastering ( Mixmas ), selalu terkandung dua unsur dasar yaitu art dan tehnologi. Art adalah perwakilan otak kanan. Tehnologi adalah perwakilan otak kiri. Di dalam lingkup keduanya ada yang dinamakan soul. Ia sebagai penentu berkesan mendalam tidaknya proses art an tehnologi tadi. Soul adalah sebuah jiwa yang lepas memberi penilaian kelapangan hidup.
Kesimpulan awal, art and science yang berhasil haruslah mampu menguak kelapangan dada. Baik secara horizontal maupun vertikal.
Wilayah art adalah wilayah seni menata keindahan, komposisi timbre, wilayah jangkauan nada, kehendak dynamic sebuah bunyi, peng"indah"an karakter dan suasana. Untuk mencapai hal ini di perlukan perangkat pencapaian yang dinamakan hardware. Dalam perangkat keras ini yang bermain haruslah otak kiri. Sebab di dalamnya penuh parameter - parameter yang harus dikenali secara eksak dan tak boleh ditawar. Kata orang bule, seorang engineer harus sadar akan standard audio.
Namun pada prakteknya semua ilmu baik ilmu art maupun tehnologi sering salah perhitungan dengan kehendak bebas jiwa seniman. Semisal dalam wilayah art, harmoni yang diakui pada awal musik modern adalah harmoni pokok dengan dasar keilmuan art klasik yang pakem. Namun pada perkembangannya tumbuhlah jazz bahkan kontemporer yang terkadang tak dapat ( enak ) didengar. Baik tak enak didengar secara kualitas bunyi oleh para sesepuh sejarah atau bahkan benar - benar tak bersuara alias hening seperti yang pernah dimainkan pianis Jaya Suprana.
Yang ada tinggallah sebuah rangkaian filosofi. Kalau sudah tahap ini, apanya yang mau di rekam ? karena tak ada bunyi sama sekali. Yang ada hanyalah suasana !
Begitu juga di wilayah tehnologinya. Saat ini dengan kecanggihan iptek, dynamic range suatu outbord audio digital sudah bisa mencapai 135 dB dan sampling rate 192 kHz, bahkan sebentar lagi lebih. Namun kenyataannya banyak musisi berselera tehnologi kuno dengan tetap menggunakan tabung yang berdynamic rendah > 90 dB.
Musisi rock pun tetap mengedepankan kesalahan perhitungan tehnologi sebagai senjata andalan musiknya. Apa itu ? efek distorsi atau overdrive pendamping gitar. Efek ini secara perhitungan tehnis adalah akibat cacat harmonic. Seandainya yang berkerja hanyalah seorang ilmuwan, produk ini sudah dibuang ke tong sampah pada tahun 70 an. Kenapa ? seorang ilmuwan akan malu bila desainnya menyimpang dari kaidah ilmiah yang ada dalam literatur.
Dan memang kenyataannya dalam wilayah seni, banyak tokoh besar legenda musik yangi tak begitu peduli pakem art dan science tapi karyanya begitu monumental. Tak lain karena mereka lebih mementingkan pemenuhan panggilan jiwa dalam berkarya.
Bethoven pun sebenarnya landasan utama juga demikian. Panglima utama bukanlah art-nya, melainkan kehendak kejengahan jiwanya menghadapi sistem hidup kerajaan yang feodal. Terbukti ketika beethoven mengalami ketulian, ia malah bisa mengungkapkan perasaan seusungguhnya. Sampai akhirnya dalam dekade kehidupannya yang naas itulah ia menelorkan karya yang paling monumental. Baru setelah itu para kritikus dan analisis mengutak - atik karyanya dengan berbagai argumen pro kontra.
Dari buah tangan merekalah para artist and scientist bisa berkembang mengeksplorasi otak kiri dan kanan. Dari tangan merekalah banyak orang terinspirasi semangat hidupnya.
Semangat melapangkan dada yang telah lepas dari seni dan iptek. Karena yang dibutuhkan hanyalah sebuah niat akan kepasrahan hidup untuk selalu menjaga kelapangan dada.
Karena art and science hanyalah jalan dan kendaraan. Hanyalah media pengantar. Lalu penjiwaan apa yang diantarkan ? sumpeg, riang, uang, protes, leha -leha dunia, nama besar, lawan jenis, tujuan politik, atau kelapangan dada menuju Tuhan ?
Setiap orang punya hak memilih tujuan akhirnya....
Kalau saya pribadi di jalur seni sekedar menjadikannya pembantu untuk melapangkan dada... Bila suatu saat ternyata bikin sumpeg ya goodbye lah...wong saya bukan seniman.
Saya hanyalah pejalan yang sedang belajar menghargai seorang seniman daripada sekedar menghargai seni.
Saya sekedar mencoba memberi nilai lebih tinggi sosok ilmuwan dari pada dispilin ilmunya.
Saya sekedar belajar menghargai yang membikin hidup di balik semua itu…
Karena saya masih menempuh keyakinan bahwa manusia itu nilainya lebih tinggi daripada sekedar profesinya. Bagi saya bergaul dengan seorang professor atau tukang becak sama saja. Sama - sama unik. Tak ada tinggi rendah. Profesi dan status sosial sesungguhnya hanyalah bagian kecil dari seluruh sistem utuh manusia yang terlalu dibesar-besarkan.
Saya sering guyon sama seseorang yang terlalu mengidolakan tokoh. Saya cuman berkata, “ Bos, input boleh beda. Sampeyan boleh menginput pengetahuan dan pengalaman apa saja sampai negeri adidaya ataupun timur tengah. Entah itu iptek, sejarah tokoh, kuliner, pakaian, ataupun spiritual. Tapi kalau output akhirnya cuma sama – sama berat di urusan WC ngapain ?
Maksud pesan guyonannya sih manusia pada dasarnya cuman punya dua pilihan hidup akhir. Pertama, mengkhawatiri isi perutnya dengan berbagai pembelaan yang dibungkus keahlian dan pengalamannya. Kedua, manusia yang mengkawatiri hari akhir yang dijanjikan sehingga ia tak begitu peduli isi perutnya. Type ini ditempuh oleh para Nabi dan kekasih Tuhan.
Jadi,yang membedakan semua itu hanyalah derajat ketakwaan. Tak peduli siapa dia beserta perolehannya di hadapan manusia.
Dan itu bukan hak saya menilai. Melainkan urusan Tuhan dengan kejujuran pribadi - pribadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar