Pendidikan anak bukanlah menciptakan pelari sprinter yang cepat sampai melainkan menciptakan pelari marathon yang tangguh menata stamina dan emosi. Demi masa depan sesungguhnya. Garis finish Akhirat.
Nol tahun adalah hitungan sepertakterhingga milisecond sesudah anak dinyatakan lahir ke alam dunia. Banyak ahli psikologi dan kedokteran yang menyatakan bahwa siapa yang mampu mengingat masa awal kelahiran dapat dikategorikan sebagai seorang jenius. Namun sayangnya perkembangan kebanyakan orang jenius ini sering mempunyai perilaku yang tidak standard pada dua periode awal pertumbuhannya. Yaitu masa golden age dan sesudahnya, seputar 0 - 7 tahun dan 7- 14 tahun. Awal hidupnya penuh pertanyaan dan persesuaian dengan alam sebelumnya. Jadinya ya memang aneh. Sehingga pada masa pertumbuhannya meraka lebih banyak diasingkan orang sekitar. Banyak sekali tokoh brilian dunia yang perkembangan dan prilakunya tidak selayaknya umur teman sebaya. Ketika semua sudah pandai membaca, mereka malah belum bisa ngomong dengan fasih. Ketika semua sudah terampil rapi mengerjakan tugas, mereka malah acak-acakan dengan finishing buruk pada pekerjaannya. Tentunya hal ini sangat mengkhawatirkan orang tua.
Tetapi mari berusaha untuk tidak khawatir terhadap hal demikian agar anak benar-benar menemukan orisinalitas kejeniusannya. Sebenarnya saya sendiri juga harap-harap cemas dan selalu berusaha me-nol-kan rasa khawatir itu baik secara keimanan dan keilmuan. Sebab anak saya juga masih hampir berumur enam tahun dan tidak tahu bagaimana perkembangan selanjutnya.
Pada kelainan authisme dan hyperaktif, anak mempunyai dunia lain yang tidak sama dengan teman sebaya. Dunia lain ? unik ? menantang ? atau mengkhawatirkan ?. Jangan-jangan anak ini adalah calon jenius baru....? Semua tergantung keikhlasan konsep berfikir kita. Konsep utama psychotherapy dalam kasus ini adalah perhatian kasih sayang. Mirip seperti perlakuan orang tua para tokoh jenius. Semua benar-benar akan menjadi jenius karena lingkup kasih sayang orang tua yang bertaburan.
Secara ketauhidan konsep kasih sayang itu sendiri adalah sifat utama Allah. Jadi pada dasarnya pendidikan awal golden age tujuh tahun pertama adalah mengiringinya dengan sifat kasih sayang. Rahman rahiem. Sifat ini sejalan dengan pendidikan yang diajarkan Nabi bahwa tujuh tahun pertama adalah kemerdekaan penuh anak. Biarin mau ber apa saja karena periode ini adalah wilayah pengembangan kognitif, afektif dan psikomotorik anak. Kita hanya sekedar merangsang, memberi ruang lingkup seluas-luasnya, tidak boleh mendikte apapun. Nabi sendiri bahkan memberi contoh ekstrim pada tataran ibadah dengan membiarkan cucunya menaiki punggung beliau pada waktu sholat. Tanpa memarahi.
Dengan pembiaran seperti ini apa berarti kita samasekali tidak peduli dalam mendidik anak ? Tidak, justru inilah kepedulian orang tua yang terberat. Pembiaran adalah proses kepedulian pendidikan terberat bagi orang tua. Mengapa membiarkan lebih berat daripada mempedulikan ? karena rata-rata semua orang tua sudah kebelet mencita-citakan anak untuk jadi ini itu setinggi langit. Sehingga anak yang belum mampu mempelajari tahapan kehidupan awal secara utuh ,sudah di-plot dan di-sistem sesuai keinginan orang tua. Padahal akhirnya ia hanya menjadi bagian Society of nothing to do. Alias komunitas yang mampu beraktifitas dan berfikir tinggi tapi tak berbentuk menjadi sebuah bangunan jati diri yang pasti. Terperangkap oleh kemampuan diri sendiri. Harus kita akui, bukankah rata-rata orang di Indonesia lebih bangga menjadi bagian konsep hidup bangsa lain daripada memunculkan keIndonesiaannya sendiri ? Padahal potensi kita sangat mampu untuk lebih dari yang lain. Mengapa ? karena kita tak tahu jati diri sendiri yang telah diberikan Allah SWT baik melalui keunikan sumber daya alam, keunikan sumber daya manusia dan kenyentrikan sumber daya berfikirnya dalam menyiasati tekanan hidup. Selalu kepingin seperti orang lain. Kurang bersyukur terhadap pohon kejadian diri sendiri.
Lalu pilih yang manakah antara pemaksaan pendidikan usia dini yang sebenarnya dilatarbelakangi keminderan atas ketertinggalan dengan negara maju atau pendidikan seperti anjuran Rasululullah yaitu tahap pendidikan kelipatan tujuh tahun? Berat ya kalau dalam otak ini terjadi persinggungan antara tuntutan dunia modern dan keimanan. Menyitir kisah Al Quran, mari merenung sejenak, bisakah kita berfikir jauh sekali ke depan bila anak kita mengalami kejadian seperti kejadian nabi Musa yang keliru memakan api sewaktu kecil sehingga bicaranya jadi cedal. Kecelakaan itu sebenarnya adalah grand desain Allah dalam proses panjang menuju tangga kenabian. Peristiwa yang terlihat tolol itu membuat Musa luput dari nominator unggulan untuk dibunuh Firaun. Kecelakaan itul juga yang mengajarkan kepada kita semua melalui konsep doanya bahwa seharusnya seorang yang ingin memperjuangkan kebenaran seperti sosok Musa urutannya haruslah dadanya lapang dulu, kemudian berkeringat alias berkarya, baru jadi tukang dakwah...Rabbi syrahli shadrii wa yassirlii amrii wahlul uqdatan min lisaanii yafqohuu qouli..... Dada lapang lebih diutamakan daripada keringat, keringat lebih diutamakan daripada lidah. Sebab tanpa dada yang lapang, keringat yang bercucuran dan mulut yang bercocoran hanya menjadi hijab halus menuju kebenaran sejati. Allah. Mulut cedal dalam penyampaian nggak jadi masalah, yang penting dada lapang, keringat jelas. Itulah pengajaran sistematis kepahaman dari Musa As. Kepahaman hierarki piramida bukit Tursina.
Mungkin kalau kita yang jadi orang tua Musa pasti sudah berfikir pendek dan menghakimi " bodoh benar sih anakku...kok malah makan api... jadi cacat nih....ilang gantengnya deh...gimana masa depan aktualisasi keilmuannya nanti kalau omong aja sudah gagap bin cedal...? Bagaimana bila...bagaimana kalau...bagaimana seandainya adalah runutan rasa khawatir yang dominan melandasi proses pendidikan anak. Kemudian ketika ada gelombang besar yang menawarkan konsep pendidikan dini dan instan datang menggejala, kita pun ho oh saja meng amein i dan merogoh kocek sebesar apapun. Demi anak !... atau mungkin sekedar demi menghilangkan rasa khawatir orang tua ? entahlah...
Umur 0 -7 tahun sebenarnya adalah sebuah persesuaian antara dua alam yaitu alam baru ( dunia ) dengan alam sebelumnya. Ketika proses persesuaian ini kita hentikan pencariannya dengan berbagai jejalan kehendak orang tua, biasanya seorang anak akan kehilangan daya reflek. Ia hanya akan menjadi anak yang cerdas robotik. Cerdas injeksi. Penurut semu. Walaupun referensinya keilmuannya banyak namun paradigma berfikirnya hanya berpola linear. Daya berfikir elips, non linear atau yang kita sebut daya improvisasi zig zag para jenius sulit terjadi dalam penyikapan hidupnya. Orisinalitas kejeniusan itu akhirnya perlahan memudar. Tak ada daya cipta.
Saat ini banyak sekali fenomena itu terjadi. Bertaburan anak kecil mampu memerankan keahlian orang tua entah seperti profesi manajer, orator, pialang saham online, da'i cilik, dan sejenisnya. Tetapi dibalik itu semua ketika ia menghadapi realitas sesungguhnya, yaitu dunia bermain, ia malah terlihat lemah dan bertemperamen labil. Sangat pendiam atau sangat agresif serius. Kehilangan harta termahal, imajinasi. Mereka kehilangan keceriaan yang seharusnya sangat berguna untuk merangsang aktifitas syaraf wajah dimana pada wilayah keceriaan ini, syaraf wajah mampu mengoptimalkan seluruh fungsi indera kepala beserta jeroannya.Otak. Sisi lainnya bila anak kurang ceria, otomatis rangsangan pengembangan organ paru -paru dan jantung juga tidak bisa maksimal. Sungguh sayang bila sunatullah keceriaan ini kita bonsai dengan atas nama pendidikan dan kemajuan.
Seringkali juga dalam pendidikan agama, kita menjejalkan proses yang seharusnya baru diberikan bila ia menginjak usia tujuh tahun ketiga, umur 14 tahun, baliq. Tak terhitung kita melarang anak balita atau batuta ( bawah tujuh tahun ) dengan ungkapan " hayo ...gak boleh nakal... dosa lho...nanti masuk neraka...". Ungkapan itu pasti sering terjadi dan repotnya itu sudah jadi pembenaran umum. Pertanyaan dasar, apakah anak sekecil itu sudah terkena hukum dosa atau pahala, surga dan neraka ? Padahal dalam Islam sudah jelas bahwa mereka adalah fitrah suci bersih. Tidak membawa dosa turunan ataupun karma seperti keyakinan agama lain.
Realitas pahit lainnya yang harus kita terima adalah pengasingan anak usia balita dari masjid. Keegoisan orang tua berkhusyuk ria malah menyingkirkan anak -anak dari lingkungan masjid. Kita lupa bahwa merekalah generasi potensial arus besar kemajuan Islam. Bukan para mahasiswa atau gerakan-gerakan Islam yang lagi menjamur. Di tangan merekalah sisi obyektif dan darah segar perubahan akan terjadi.
Biasanya alasan utama pencekalan balita masuk masjid adalah masalah najis. Titik. Tidak ada solusi sama sekali. Lalu gimana dong ? ssst...tenang, saya juga bingung dan lagi mencari solusi.....
Sekedar berandai-andai bersolusi, Bila saja orang yang suka bolak-balik berumroh mulai belajar membuka wawasan kedepan tentang pentingnya makna regenerasi. Pasti ia akan membelokkan dana umroh itu untuk kepentingan regenerasi calon pembaharu Islam, balita. Caranya ? cara dan pelaksanaannya sih mudah dan sama sekali jauh dari kerumitan....tapi apa ada niat ke situ ? Memang susah ya ibadah mentransfer dana untuk membantu kemajuan orang lain walaupun sudah sangat jelas bahwa hal itu lebih utama. Padahal sampai diriwayatkan ada orang yang mabrur haji tetapi kakinya tidak pernah menginjak Makkah. Oi...ternyata uangnya untuk menolong tetangganya yang lagi kesusahan.
Untuk itu mulai saat ini mari belajar untuk tidak memonopoli angan-angan surga demi merengkuh suasana surga itu sendiri.
Asumsi dasar, sedikit ngawur, dengan memakai perhitungan model mandor, Kalau di suatu wilayah ada sebuah masjid yang lumayan besar, pasti di sekitar situ ada beberapa orang yang sudah pernah berhaji atau bolak-balik umroh. Kita ambil sedikitnya dua orang. Bila biaya umroh saat ini 15 juta, maka akan tersedia fresh money 30 juta. Lumayan ada pembelokan alokasi dana dari umroh ke regenarasi sebanyak 30 juta. Lalu untuk apa ?
Buat saja ruang khusus untuk anak di bawah 7 tahun atau kita sebut "masjid anak" yang letaknya bersebelahan dengan masjid utama. Dengan kata lain seperti penitipan anak. Masak sih masjid kita kalah sama Mall ? Ibu-ibu saja berani menitipkan anak di arena bermain bila sudah kebelet berbelanja. Kan biasanya orang tua tak mau kekhusyukan belanjanya terganggu oleh kerewelan anak.
Bangunan seluas 3 x 6 meter sudah lebih dari cukup. Saya pernah sekedar menghitung, dan dana sebesar itu cukup. Tinggal ada lahan apa tidak. Tapi biasanya masjid besar pasti ada lahan kosong sebesar itu. Bangunannya kita desain dengan tehnik sound proofing agar segaduh apapun, suara itu tak akan terdengar di luar. Kemudian kita fasilitasi dengan CCTV , monitor televisi atau kaca tebal kedap suara agar anak mengetahui suasana sesungguhnya di dalam masjid. Tujuannya mencontoh secara tidak sadar bagaimana sih seharusnya bersikap di dalam masjid. Di dalam ruang itu juga kita hiasi dengan huruf hijaiyah, lagu-lagu bermakna Islam, vcd, mainan yang merangsang pertumbuhan psikomotorik dan buku- buku cerita bergambar yang sarat dengan makna keislaman. Jangan lupa AC 1/2 pk sebab aktifitas anak yang luar biasa membuat suhu ruangan cepat gerah. Di pintu depan, beri tulisan peringatan yang santun " Untuk orang tua jangan lupa ya membekali anak dengan popok, pempers, camilan dan susu ".
Untuk pengembangan selanjutnya para tenaga TI bisa membuat video game online lintas negara muslim yang sarat makna pembelajaran nilai Islam. Sambil nunggu orang tua ibadah mereka asyik dengan imajinasi game - game bersetting Islam. Entah itu game yang bersifat RPG ( Role Playing Game ), FPS ( First person Shooter ) atau SIM (Simulation ). Khusus untuk game The SIM sebenarnya banyak sekali bidang garapannya. Misalnya simulasi tentang rukun Islam, simulasi membentuk kota madani, simulasi konsep strategi perang badar, simulasi dakwah lintas budaya.
Dan seterusnya...tehnisnya silahkan lanjutkan sendiri khayalan ini. Intinya agar orang tua dan anak balita sama-sama bisa ke masjid. Sama- sama nyaman. Orang tua khusyu nyaman dengan ibadahnya. Anak-anak khusyuk nyaman dengan proses Iqra' nya. Win - win solution
Kelak bila para balita beranjak dewasa otomatis akan tertanam memori bahwa masjid itu sangat menyenangkan. Secara sunatullah orang yang mencintai sesuatu pasti akan membela mati-matian terhadap apa yang dicintai. Tanpa disuruh, tanpa dipaksa, tanpa didoktrin, tanpa diancam, tanpa diiming-imingi mereka akan sukarela dengan senang hati mencurahkan segala yang ia miliki untuk memakmurkan masjid. Dengan penuh keceriaan. Tanpa kening berkerut. Ikhlas
Dalam jangka panjang akan tampak betapa murahnya kita berinvestasi untuk mewujudkan generasi Islam yang unggul melalui metode ini. Tak perlu banyak memarahi dengan embel-embel neraka yang hanya menguras produktifitas. Tak perlu mengiming-imingi anak dengan imbalan yang hanya bersifat memboroskan Tak perlu pusing mencari sekolah yang berlabel Islam yang kian lama biayanya makin mencekik. Tak perlu capek mengawasi dan mencurigai aktifitas anak di luar rumah. Tak perlu cerewet menasehati. Karena mereka semua sudah sadar banget bahwa " Masjidku adalah rumahku, rumahku adalah surgaku, surgaku berada di masjidku ". Trilogi cinta segitiga. Apapun masalahnya, mereka akan selalu lari ke masjid mencari solusi. karena di dalamnya telah tersedia fasilitas lengkap, mulai bermain, belajar, sampai berkontemplasi mi'raj menuju Tuhannya.
Mengingat secara pribadi belum ada kapasitas untuk merealisasikan hal ini, Semoga segera ada yang memulai agar tidak lagi ada generasi seperti saya yang hanya mau beribadah hanya karena paksaan. Entah paksaan siksa ataupun paksaan nikmat. Terus terang waktu kecil dulu saya sudah jadi santri bayaran. Kalau di kurs kan nilai uang sekarang, untuk sekali ngaji satu surat atau satu 'ain, saya di bayar kakek sekitar tiga sampai sepuluh ribuan. kalau khataman ya...rejeki nomplok. Kurang lebih kalau nilainya saat ini ya satu bulan gaji. Lha kalau tiap bulan khatam ? Mungkin kalau begitu terus sampai dewasa, saya pasti pilih jadi Qari saja daripada rumit bingung berwiraswasta. Tapi ya itu tadi, jadinya ngaji cuman buat cari uang.
Last, pesan saya pribadi...jangan berharap apapun pada anak kita yang masih di bawah tujuh tahun. Bikin stress.....Sebab memang mereka belum berkewajiban hukum. Baik hukum negara maupun hukum agama. kalau kita memaksa-maksa mereka, pasti kalau mereka tidak patuh, kita ingin menghukumnya. Kalau kita sudah main hukum ya hati-hati bila tiba-tiba hukum itu berbalik menghukum kita karena si orang tua didakwa melakukan kekerasan pada anak. Pun naas akhirnya ketika anak sudah dewasa, cara hidupnya tak bisa lepas dari sifat terpaksa, memaksa serta suka menghakimi dan menghukum orang lain. Tak punya jiwa kasih sayang seperti sifat utama Muhammad SAW yang rahmatan lili alamien. Sehingga typologi kejeniusan rasulullah yang terpolarisasi pada akhlak tak pernah terbentuk dalam dunia beragama generasi berikutnya.
Apakah kita termasuk generasi semacam ini ? mari bertafakur ke dalam diri.
Wassalam, semoga bermanfaat
Dody Ide
Tidak ada komentar:
Posting Komentar