Sabtu, 31 Mei 2008

Terjerembab Kata



Beberapa waktu lalu ketika sedang asyik-asyiknya bikin sebuah aransemen lagu di studio pribadi yang acak-acakan itu, datang seorang teman lama. " Lagi ngapain mas ? Lagi bikin lagu ruhani ya ? Entah seperti biasa bila sehari tanpa guyon hidup terasa garing. Maka jawaban yang keluar dari mulut saya berbalik nerocos menjadi pertanyaan baru : " Emangnya ada lagu Jasmani ? Jangan - jangan nanti sampeyan menyuruh saya agar instrumen dan perangkat rekamnya bersyahadat dulu sebelum mengerjakan musik ruhani.

Terus apa saya juga harus pakai baju muslim ? Sebab kalau pakai kaos oblong kowor-kowor kayak gini nanti sampeyan anggap pakai baju musyrik. Kita ini kok senang bikin istilah yang tidak pada tempatnya. Kalau diterus-teruskan bisa-bisa saya ini nggak sempat berkarya.....Teman saya hanya cengengesan. Mboh kah....katanya.

Dengan teman yang satu ini selalu saja ada rasan-rasan yang sifatnya menertawakan diri sendiri.

Seperti biasa, bila kedatangan tamu, segala pekerjaan otomatis berhenti. Dan seperti biasa juga, saya harus siap jadi keranjang sampah menampung segala keluh kesah.

Terkadang diam-diam saya mbatin sama Gusti Allah dengan sedikit protes " Ya Allah ada apa sih dengan mereka yang segalanya sudah lebih dari saya. Baik dari sisi pendiikan, ekonomi, pengakuan masyarakat, kelengkapan keluarga dan sejenisnya. Seharusnya saya dong yang sambat-sinambat kepada mereka ! Apa karena saya ini pengamen sehingga mereka menganggap ke rumah saya sama dengan pergi ke tempat hiburan untuk membuang keluh kesah. Tapi ya wis nggak apa-apa kalau takdir saya memang sebagai lelaki penghibur. Manut....

Untungnya eh untungnya...Kok Allah itu sangat sayang. Sehingga semua keluh kesah teman-teman yang datang kok ya terjawab dengan mudah. Allah Maha Menuntun. Padahal yang namanya mulut ini terasa njawab sekenanya. Parameternya kesuksesannya sih mudah tetapi memang jauh dari kacamata ilmiah ataupun klenik. Pertama biasanya matanya berkedap-kedip kayak orang habis kena gendam, kemudian mulai senyam-senyum, lalu bicara jadi semangat. Kemudian diakhiri dengan guyon memel seperti bercandanya anak kecil. Wajah yang kusut jadi ceria.

Ah...Apa ada di dunia ini yang bisa menandingi kebahagiaan dan keceriaan bagai anak kecil yang fitri itu ?

Tetapi terkadang ada juga yang datang dengan problematika seperti surat Al Baqoroh. Ibaratnya kalau saya menjawab sapi, dia kembali membalik pertanyaan lagi : yang gemuk apa yang kurus ?
Saya jawab, "yang kurus mas....
Tapi yang tua apa muda ?
Yang muda mas...
Tapi yang hitam apa putih ?
Yang putih mas....
Tapi yang betina atau jantan ?
Yang betina mas...
Tapi yang cerewet apa yang patuh ?
Kalau sampeyan itu orangnya cerewet, pasti nanti ketemu yang cerewet. Entah itu kecerewetan di sekitar atau kecerewetan-kecerewetan dalam diri sendiri.Semua hanya refleksi diri sendiri. Sampeyan itu hanya butuh istirahat. Diam.
Tapi diam tidur apa diam bicara ?
Tapi...tapi....dst...Uhh...saya yang ilmunya cekak ini ganti bingung....

Kalau pertanyaan itu berlanjut nggak selesai-selesai, akhirnya saya stop, " terserah yang penting sapinya harus ada dulu !. Saya yakin sampeyan nggak punya sapi sebanyak itu. Saya hanya menyimpulkan bahwa si teman ini sedang terlilit pikirannya sendiri. Ia harus memulai action dari ujung benang terawal dari sebuah kekusutan diri.

Penyelesaian termudah dan temporer ya saya panggilkan tukang bakso atau pangsit mie. Kalau udah kenyang biasanya aliran darah yang deras di kepala pindah ke perut. Jadi ngantuk lalu ndhlosor, tidur. Hilanglah masalah seiring hilangnya kesadaran. Kemudian terjadilah defragmentasi alami dalam tidurnya.
Kalau tetap saja agresif kuat melek, terpaksa saya harus mengeluarkan jurus terakhir. Ludrukan !. Sebuah seni menertawakan keterhimpitan hidup. Sejarah mencatat, seni ini telah terbukti mampu menggerakkan orang Jawa Timur mengusir penjajah. Dan sayapun berusaha membebaskan seseorang dari keterkungkungan penjajahan kata-kata. Mengikhlaskan kata menggapai makna. Melawan manipulasi kata yang kelihatan serius dan bijaksana tapi bertujuan narcis, dilawan dengan cara menyulap kata yang lucu menjadi sebuah makna pencerahan.

Seperti contoh plesetan kata ludrukan tapi memang pernah terjadi. Seorang teman yang begitu perhatian menasehati saya : Dod, daripada kamu ngendhog tunggu popok terus di Malang, mbok kamu pergi ke Jakarta merantau mengembangkan karir. Dengan kemampuan seperti ini, di sana pasti sangat banyak orang yang mau menerima kamu. Pasti kamu cepat sukses dan kaya.
Saya jawab sekenanya: " Lho daripada saya capek -capek ke Jakarta, mbok Jakarta aja suruh ke sini.....
"Pancet ae...dasar kamu ! maunya minta dikelilingi dan ditamui orang... kayak Ka'bah aja...
Lho , kalau kamu mau ngganti posisiku yang katamu kayak Ka'bah, ya malah enak saya. Asalkan kamu kuat hitamnya.

Ah...siapa kuat dianggap hitam. Semua orang ingin dianggap putih suci....
Ya enak jadi yang hitam dong. Wangwung. Persis kayak Ka'bah yang dikelilingi orang thawaf. Berdiam hening di tengah agar di kelilingi yang putih suci berseri. Enak lho...diam di Ka'batullah nggak capek muter-muter.

Dan tak lama beberapa waktu setelah guyonan itu, ehhh... ndhak tau gimana ceritanya, saya benar-benar dapat order dari Jakarta beberapa kali. Guyonan itu ternyata sangat didengar Allah. Mau gimana lagi, lha wong Allah itu maha Pendengar kok.

Dialog itu hanya metode guyon untuk saling bertafakur menyiratkan bahwa seseorang tidak boleh iri hati terhadap perolehan orang lain. Karena belum tentu bila saja nasib itu bisa ditukar, maka seseorang yang menginginkan nasib temannya benar-benar mampu memikul layaknya sang teman yang telah terbiasa memikul nasibnya sendiri.

Yah... guyonan sekedar mengukur kemampuan diri.Kata-kata yang terucap dalam dialog itu hanyalah medium penyampai makna. Kata-kata itu sama sekali tidak dapat dijadikan pegangan harfiah dan diseriusi.

***
Pembebasan kata melalui humor sebenarnya adalah masalah yang sangat serius. Humor ini bertujuan meluruskan makna kata yang diselewengkan. Mengentas kata yang terjerembab dari makna. Meng"hanief"kan yang munafik dengan metode kegembiraan.

Anggapan tentang pelurusan munafik di sini bukanlah definisi yang seram-seram dan menuduh seperti yang sudah-sudah. Melainkan memfitrahkan orang sesuai kadar kemampuan diri. Meluruskan konsep angan-angan kemudian membenturkan dengan realitas keseharian melalui metode outframe. Humor.

Tertawa adalah pijat refleksi syaraf. Dalam ilmu psikologi, bila di kepala seseorang telah mengalami kejenuhan puncak karena otaknya full, kalau seorang itu tidak segera berkehendak untuk mengaplikasikan, secara alamiah otaknya akan menguraikan pikiran-pikiran itu dengan tertawa. Masalah utamanya, proses tertawa ini disadari atau tidak oleh pelaku pemikir. Bila disadari, akan menjadi pencerahan sekitar sedangkan bila tidak disadari akan berakibat menjadi keresahan sosial sekitar.

Pelepasan model tertawa ini tak lain karena tiap orang punya kebutuhan dasar akan kerileksan dan ketenangan. Salah satu zat dalam otak yang menghasilkan kerileksan itu bernama Melatonin dan endorphin. Dan zat itu bisa dirangsang atau diproduksi dengan tertawa. Yang jadi blunder, siapa yang menyuruh tertawa ? padahal isi otaknya hanya berisi hal serius melulu ?

Tentu saja Allah Yang Maha Penyanyang. Allah memberi jalan itu agar seseorang itu tetap hidup dan menjadi ibrah bagi sekelilingnya. Baik mereka yang tertawa dengan kesadaran penuh ataupun orang yang tertawa secara tidak sadar. Jadi orang yang tertawa itu sebenarnya sangat serius.Dan orang yang serius melulu itu sebenarnya telah kehilangan zat ketawa. Dzat ketenangan batin.

Dulu waktu masih ABG ada seorang teman yang sukanya cerita apa saja yang dilihat. Sampai-sampai kalau dia datang, teman yang lain sudah siap ngrasani " awas koran datang ...awas RRI " Ketika si teman ini mulai cerita ngalor ngidul seperti siaran radio, yang lainnya mulai berkomentar cekikikan tertawa dengan bahasa tarzan : Ooo....wuiih...usss...wot tot tot...."ighya...hmmm.....pret...mphff...ckk...ckk..ckk....mocok ce lek....

Kalau sudah begitu si teman ini mulai diam sendiri. Rupanya komentar bahasa tarzan yang disertai tawa canda itu lebih ampuh meredam radionya daripada menanggapinya dengan serius. Perasaannya pun tersentuh.Ia tahu diri dan jadi tenang kembali. Sebab kalau ditanggapi biasanya tambah kenceng siaran nggedhabrus nya. Bahkan bisa menjurus perkelahian sesama teman.

Bahasa yang tak beraturan ini beralih fungsi menjadi pesan makna yang dalam daripada bahasa serius. Seakan teman lainnya sudah sepakat menerjemahkan bahasa tarzan itu dalam bahasa batin " emangnya kamu aja yang tahu kejadian itu... Ngomong yang ada di realitas kita aja. Jangan muluk-muluk. bergembira bersama aja dah. Itu sudah lebih dari segalanya...

Ahh...makna itu rupanya telah mensirnakan tata bahasa.

Ingatan cerita-cerita ini seakan menggurui saya tentang beragama : Udahlah, emangnya kamu aja yang tahu....banyak yang lebih pakar, cuman mereka silent majority dan tawadhu. Jangan sampai hidupmu terjerembab dan terlilit oleh kata mewah yang kau ucap sendiri. Cukuplah berbagi kebahagiaan dan pengalaman apa adanya saja. Kalau ada yang tak sepaham jangan diladeni. Apapun alasan ayatnya. Itu hak mereka menyangkal. Toh itu hanya karena mereka tidak mengalami seperti yang kamu alami.

Bila engkau melihat perbedaan, tersenyum saja. Ibaratnya biru dengan blue akan bisa jadi perang bagi yang sama-sama belum melihat realitas warna itu. Water dan air akan dianggap realitas berbeda. Tetapi bagi yang sudah melihat, merasakan dan menggunakan realitasnya, ia hanya ketawa-ketiwi melihat perbedaan-perbedaan yang berseliweran. Simpel saja, satu musuh sudah terlalu banyak, seribu saudara masih kurang. Hibur setiap orang. Temani kesedihannya.
***
Kita ini sering bersitegang hanya karena beda istilah. Kemudian penjabarannya pun kita ulur-ulur begitu panjang sesuai definisi yang menyenangkan diri sendiri. Kalau dalam rumusan Religious Quotient kita sebut jawaban nilai B. Pernyataan benar alasan benar tetapi tidak berhubungan. Dan kalau kita jujur, hal ini tidak dapat dikatakan dialog atau diskusi melainkan duo monolog. Jauh dari nilai tabayun..Sekilas tapi tak sama. Tidak ada kemauan mencari titik temu. Ilmu yang kelihatannya hebat dan berdefinisi jutaan kata, akhirnya hanya mengerucut pada kata : Pokoknya begini ! Pokoknya tidak begitu !

Kita semua pasti sering melakukan beginian. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.

Seandainya kita menerapkan ayat Lakum dienukum waliyadiin ke dalam diri sendiri, maka selesailah sudah segala otot-ototan itu. Konsep Al Kaafirun adalah konsep kemengalahan yang bertujuan memantapkan konsep Islam itu sendiri. Sebuah makna salam disampaikan lewat ayat Lakum dienukum waliyadiin. Oke....kalau engkau punya agama atau sesuatu yang sangat engkau yakini pemahaman kebenarnnya, jalani saja. Ndhak perlu beradu pemahaman yang jelas berlainan. Mari berfastabiqul khairat saja. Uji tesis dengan pembuktian lapangan realitas manfaat. Itu lebih amaliyah, objektif dan terhormat.

Ayat ini begitu mengingatkan kita untuk tidak berpanjang lebar terhadap sesuatu yang tak se ide.



Wassalam. semoga bermanfaat

Rabu, 28 Mei 2008

Fana ?


Sekedar menyadur diskusi saya yang pernah dimuat di beberapa milis tentang perdebatan kefanaan diri di hadapan Tuhan :

Filsafat Yunani yang terkenal, Cogito Ergo Sum ( Descartes ). saya berfikir

maka saya ada...

Jadi kalau ingin fana, ya tinggal balik saja filsafat itu... saya tidak berfikir maka

saya tidak ada...Hayo siapa berani ?

Hal ini persis seperti seratus tahun yang lalu dan seratus tahun

yang akan datang dimana "kita yang hidup sekarang ini" tidak mengadakan Tuhan ataupun diri sendiri. Singkatnya belum ada kesadaran kedirian kita.

Nah kan..Tuhan nggak ada...kita nggak ada...ada juga nggak ada... nggak ada

itu juga nggak ada...walaupun sampai detik ini kita yakin bahwa kita dan

Tuhan ada.

Dan menurut saya, kalau pernah ada orang ngomong bahwa dia pernah

mengalami ketiadaan..berarti belum tiada beneran wong masih bisa cerita

keadaan "ketiadaan ".

Menurut saya dalam terminologi Islam kita perlu

berguru kepada nabi Ibrahim yang mendapat perintah menyembelih kepala

Ismail sebab bagi saya tafsiran hakiki menyembelih kepala adalah kita harus

menonaktifkan respon dari anggota kepala_hidung, mata, telinga, otak dan

mulut.

Sedangkan Ismail sebagai anak mewakili arti kecintaan kita terhadap

buah produktifitas dan kreatifitas diri yang berbuah "saya ada" ..."saya

eksis....” Jadi inilah sumber ajaran pemfanaan diri dalam Islam

Nah yang harus kita sadari kalau kita udah berani ngomong keadaan fana seperti

orang2 suci misalnya kata2..Ana Al haq, sekalian aja dikomplitin..Ana Al haq

ente Al Haq juga..cos we are Al haq or ...nothing...

Soalnya yang sering terjadi kalau udah dialog masalah spritual ujung2nya

sering bukan peningkatan spiritual...tapi secara nggak sadar jadi marketing

pabrik kecap. Kecap saya nomor satu.

Mana ada kecap nomer dua?

Yah…tak tersadar kita malah mengasah kesombongan terhalus…

Memang ini sesuatu yang lucu dan sulit dirubah. Tapi memang begitu realitasnya bukan?

Minggu, 25 Mei 2008

Doa Jama'ah Keseleo




Ya Tuhan, akal kami keseleo
Kalau beredar isu ada orang jadi nabi
Kami pun marah tak karuan
Sedangkan
Kalau ada orang menuhankan diri
Bahwa
Ia mampu menentukan kesuksesan hidupnya seratus persen
kami diam-diam penasaran mengaguminya
Sungguh !

Ya Tuhan, daya fikir kami disconect
Seakan begitu yakin titik kiblat kami adalah Ka'bah
Namun entah kenapa
Sebelum wudhu dan seusai salam
Kiblat kami juling ke peradaban jahiliyah modern
Terselip canggih dalam kata "tapi" dan tanda koma
Adiktif !

Ya Tuhan, pemahaman kami begitu rabun
Apakah ayat fisika sudah begitu terbalik
Membuat hukum baru yang menyatakan
bahwa
Kecepatan gerak materi melebihi kecepatan cahaya
Sehingga
Kalau ada anak manusia bermujahadah
Mengejar Cahaya Hidup di atas cahaya
Kami merasa lebih canggih dari itu
Sebab memang kenyataannya
Setiap jengkal langkah waktu kami
Lebih merasa melesat maju dan berguna
Bila
Mengejar benda lamban mati tak berpendar nur seupil pun
Gelap !

Ya Tuhan, rayuan syirik itu begitu kami sayang-sayang
Memang terlalu bodoh membawa gembolan kain hitam
Sebagai jimat kewibawaan dan penglaris
Tapi
Kami masih tak bisa melepas jimat modern
Berwifiq merk ngetop
Tertempel rapi
Di kerah baju
Di balik kolor
Di jam tangan
Di jilbab
Di kosmetik
Di sepatu
Di kendaraan
Di peralatan kerja
Di perlengkapan rumah tangga
Bahkan
Di pemikiran kontemporer lambang peradaban
Kami begitu ngesot dan tunduk tersungkur pada tulisan jimat-jimat itu
Sesat !

Ya Tuhan, kami bukan sedang berpuisi
Kata-kata kami jauh dari keindahan ilmu sastra
Kami hanya sedang melapor apa adanya atas keterbalikan fungsi
Kami ingin akal kembali menjadi pembantu yang baik
Bukan menjadi si tuhan bingung
Bukan pula si bingung Tuhan
Terang !

Ya Tuhan, pijatlah bagian diri kami yang keseleo ini
Sungguh !


Dody Ide

Malang, Malam Jumat Legi, 3 Januari 2008

Senin, 19 Mei 2008

Sendiri



Aku tetap di Sini
Walau kau telah menjadi sesuatu

Tak bergeming tapi menggerakkan
Adalah Kehendak Satu

Kau kibarkan bendera
namun Aku lah peniup angin

Gagah dan layu panjimu
Aku lah Sang Penghembus

Kemana engkau mengamati
Bila Aku Tiada

Di mana perhentianmu
Bila Aku tak ke mana

Engkau dan Aku itu apa

Tidak ada apa - apa
Itulah sejati hakmu

Aku tetap di Sini


Malang, Malam Jum'at 8 November 2007

Sabtu, 17 Mei 2008

BERTENTANGANKAH HAKIKAT DENGAN SYARIAT ?



Kalau ada dua ekor domba yang satu MENGHADAP ke TIMUR yang satu
MENGHADAP ke BARAT dan keduanya berada dalam sebuah lorong sempit full press
body hanya cukup lewat satu domba sedangkan keduanya ingin keluar dari
lorong itu dengan ADIL, SANTAI DAN NYAMAN, bagaimana caranya ? Jangan
teruskan tulisan ini ...berhentilah membaca barang satu menit...pikirkan
bagaimana jalan keluarnya... STOP MEMBACA...SATU MENIT MULAI DARI
SEKARANG ...!

AHA...semenit usai...bagaimana jawabannya ?...pasti ada yang
menjawab ya gantian ngalah dong, satunya keluar dulu...ya berbagi dong
sesak-sesakan dikit yang penting sama-sama dapat jalan...ya ditandukin
bareng dong biar lorong itu jebol terus dua domba itu terbebas dari
lorong gelap...yang lebih ekstrim... ya adu domba dong.. siapa kalah akan
didorong keluar.....betul semua jawaban itu...tapi telah melupakan kata
kunci ADIL, SANTAI DAN NYAMAN. Semua penuh pergumulan yang menyesakkan
dada...

Lalu bagaimana dong ? ya...tinggal lewat aja, gitu aja kok repot,
biasa aja gitu lho...nggak perlu tubrukan...Lho! nggak bisa gitu dong
bagaimanapun jalan keluarnya pasti ada dampak karena kedua domba itu saling
BERHADAPAN dan berada dalam satu lorong yang sempit !...

Nah ini dia...pertanyaannya adalah posisi domba itu meghadap ke timur
dan menghadap ke barat, bukan berhadap-hadapan...tetapi frame berfikir
kita sering terjebak jawaban saling berhadapan sehingga harus menjawab
dengan kengototan hati dan fikiran. Lalu bagaimana nasib domba itu tadi
?...sekali lagi ya tinggal lewat aja...wong satunya menghadap ke timur
satunya menghadap barat dengan posisi saling membelakangi, pantat
ketemu pantat bukan BERHADAPAN kepala vs kepala...he...he...he...menghadap
bukan berarti berhadap-hadapan.

Itu sih pertanyaan menjengkelkan bagi yang nggak terima jawaban
ini.....Lha emangnya kenapa .wong Allah saja tiba-tiba juga menciptakan kita
di dunia ini dengan kultur keyakinan barat dan timur tanpa kita bisa
memilih dimana kita dilahirkan, siapa orang tua kita. Persis seperti
domba itu tadi yang tiba-tiba berada di lorong sempit nan gelap. Tapi Allah
juga menjelaskan kemana saja wajah kita menghadap akan bertemu Allah,
karena semua milik Allah tak peduli timur barat. Maka yang tetap
berdzikir mengarahkan kesadaran pada Allah akan memperoleh ketenangan hidup.
Bagi yang tidak bertemu ya jelas stress seperti domba tadi karena
kerjaannya berhadap-hadapan adu kepala, adu domba. Walaupun yang disampaikan
adalah argumen paling logis, kenyataan paling faktual, post modern
quantum thinking, nahwu sharaf balaghah mantiq paling sempurna bahkan
ayat-ayat tersuci sekalipun....namanya adu kepala ya bisa pecah
berdarah-darah, nggak enaklah pokoknya....

Seperti yang dikhawatirkan Jibril bahwa jika diadakan manusia di bumi
nanti akan berdarah -darah tapi dibantah Allah, Aku luwih eruh rek !
Aku lebih tahu...Tetapi kalau kenyataannya manusia hidup di satu bumi ini
berdarah-darah apakah berarti Jibril mengungguli Allah dengan ilmu
"weruh sadurunge winarah" ? Berarti dengan realitas yang ada Allah kalah
argumen dan tesis dong dengan Jibril ? Bisa-bisa kita terjebak menuhankan
Jibril karena kesaktiannya...Persis seperti kita yang lagi terjebak
mempercayai ayat yang dikeluarkan Samuel Huntington bahwa akhirnya pada
puncak peradaban terjadi class of civilizations , perbenturan kebudayaan
antara barat dan timur yang diwakili masyarakat Islam plus Cina dengan
berbagai aliran keyakinannya versus barat dengan atribut dasar pijakan
berfikir logika para filsuf Yunani beserta perolehan kemajuan
tehnologinya.

Kita tidak lagi beriman kepada ayat Al Quran bahwa Allah
menciptakan segala sesuatu berpasangan agar saling mengenal dalam
artian saling berinteraksi, memahami, menyelami, tukar informasi
menggali ilmu, mengayomi, tabayyun klarifikasi dst... Bahkan ada sebagian
muslim menganggap hadits perbedaan adalah rahmat adalah hadits dhaif
karena kadung kebelet berhadap-hadapan.

Akhirnya apa yang kita dapat ? jangankan berhadap-hadapan dengan
orang yang kita cap "kafir", dengan sesama muslim saja persoalan
berhadapan-hadapan tak kunjung usai berabad-abad. Dan bangsa Indonesia sebagai
penduduk muslim terbanyak di dunia adalah pemegang penuh kendali apakah
kita akan selalu berbenturan berhadap-hadapan mengimani tesis Samuel
Huntington atau mulai membuka diri berkenalan, menggali ilmu, saling
sumbangsih kelapangan dada seperti diperintahkan Allah agar menjadi One
Earth, Our Earth, tempat yang nyaman dihuni, nggak sebatas negara madani
tetapi bumi yang madani...rukun agawe santoso kata orang jadoel.

Sejarah bangsa kita membuktikan bahwa sejak ratusan tahun lalu mulai
jaman raja-raja, Belanda, Jepang,orde baru sampai pasca reformasi
masyarakatnya selalu mengalami kekalahan dan kesialan hanya karena satu hal
yaitu mudah diadu domba dan disanjung. Intinya diciptakan iklim merasa
paling benar sendiri sampai tercipta pertikaian mulai dari yang otak
sampai peperangan fisik. Logika setannya ketika orang sedang bertikai
tentu tidak sempat mencangkul sawah, maka si "setan adu-adu " penjajah ini
merayu mesra...sini sawahmu aku yang ngurus, biar kalau menghasilkan
dananya dapat dibuat amunisi bertikai demi kelangsungan ini itu. Kita pun
ho oh karena telah terdoktrin bahwa ini demi perjuangan,filosofi hidup dan harga
diri...Dan karena namanya orang emosi bertikai lupa kalau punya kewajiban
ngurus sawah.

Maka tiba-tiba hak milik sawah itu dengan dibantu
seperangkat hukum modern telah berpindah tangan secara bertahap pada si setan
adu-adu. Di akhir kelelahan perang, kedua pihak yang bertikai
hanya bisa garuk-garuk kepala ngaplo tidak mampu melawan karena
amunisi habis untuk bertikai dengan saudara sendiri sedangkan cadangan
logisitik telah diambil penjajah.

Tentu saja merubah mental berhadap-hadapan pemicu adu domba ini tidak
mudah karena gen DNA budaya kita yang seperti itu telah ratusan tahun
meresap ke seluruh nadi.

Dalam kajian agama yang tak kalah sengit adalah masalah eksoterik dan
esoterik, syariat vs hakikat. Diam-diam saya sering terkena penyakit
komplikasi psikologis antara tertawa geli sambil mengelus dada ketika
berbincang dengan beberapa kenalan. Ketika berbicara dengan para pencari
hakikat sejati saya sedikit menyinggung soal syariat ehh...tiba-tiba
semua berubah mulai bahasa tubuh, gerak mata, gerak tangan, kecepatan
suara dan tinggi nada, desah nafasnya yang menyiratkan tidak terima bila
syariat lebih penting dari hakikat.

Begitu pula sebaliknya ketika berbicara maqasit syariah didepan teman-teman yang nyel total syariat salaf. Saya bisa-bisa disebut penyebar virus TBC ( Tahayul, Bid'ah n
Churafat-senjata ampuh menumpas lain aliran ). Kata orang lagian ngapain sih suka
bergerak dari ekstrim kiri melocat ke ekstrim kanan bolak-balik. Nggak
punya pendirian ya ?...muka dua ya...? padahal maksud saya sih
sederhana, ingin mempraktekkan ucapan rasul bahwa sebaik-baik umat yang
berada di tengah. Metode saya pribadi ya menggerakkan bandul dari kiri
ke kanan sampai bandul itu diam ajeg di tengah, lurus selurus sirathal
mustaqim. Tengah adalah pertemuan kiri dan kanan, barat dan timur, atas
dan bawah, manunggaling kawulo lan... sampeyan.

Seandainya kita memandang pelaku syariat dengan pejalan hakikat
memakai frame jawaban atas pertanyaan dua domba tadi, mungkin dalam sekejab
pemeluk Islam akan mampu mewujudkan rahmatan lil alamin, minimal dunia
yang madani. Biarkan, ikhlaskan dulu yang ke barat ya silahkan ke
barat, yang ke timur ya monggo ke timur karena semua mempunyai kelebihan
masing-masing. Toh pada titik perjalanan lurus, mereka yang berjalan ke
barat akan bertemu timur begitu pula sebaliknya karena bumi ini bundar.
Dalam pertemuan ini akan terjadi ledakan dahsyat rasa keilahian yang
tinggi.

Pertemuan ini menjadi sinergi hebat karena keduanya telah
melakukan perjalanan maksimal. Pertemuan ini tidak lagi menjadi ajang adu
domba-adu kepala akibat dari merasa saling berhadapan sehingga yang satu
merasa dihalangi yang lain dan berakibat sama-sama macet, sama-sama tidak
pernah melangkah tapi penuh intrik. Pertemuan ini menjadi rasa
kekangenan luar biasa karena sama-sama lama tak jumpa mak cik....elok
nian...

Dan pelaku hakikat dengan syariat cukup kita ibaratkan suami istri
yang lagi bengkerengan bertengkar menjalani hidup sesuai isi kepala
masing-masing namun dalam kejenuhan puncak mulai timbul rasa kangen lagi
yang memuncak pula...apa jadinya ? =\-*_)&^$@^% ( sensor )..tiba-tiba
lahirlah seorang bayi...Anak yang timbul dari perasaan tawadhu, saling
merendahkan hati, saling menghargai, memaafkan, mengasihi, mengayomi dan
selalu menjaga keutuhan keluarga karena sadar bahwa perceraian di benci
Allah. Lha kita lihat kalau orang sudah benci perangainya itu gimana ?
jangankan bertegur sapa melirikpun tak sudi apalagi membantu. Bayangkan
bila Allah membenci keterceraiberaian umat Islam akibat kekeraskepalaan
masing-masing pihak yang hoby berhadap-hadapan

Inilah warisan ketawadhuan perkawinan antara pelaku syariat dan
pejalan hakikat yang ditunggu-tunggu. Generasi insan kamil, anak yang
sholeh.

Ayo dong mom..dad..jangan beltengkal telus...ntal aku jadi yacim
piacu....lukun cayang-cayangan telus aja....pokoknya bial cip
deh...cip....cip....begitu halapan genelasi muclim belikutnya kepada kita-kita yang
macih cuka libut-libut ini....

Wassalam,

dody Ide

Kamis, 15 Mei 2008

JANGAN KAGET, ISTRIKU ADA EMPAT





Sependengaran saya dan katanya para pecinta wanita, orang boleh beristri empat maka saya pun terjebak ikut ikutan. Ibu-ibu dan mbak-mbak jangan keburu berprasangka yang aneh-aneh karena saya dengan niatan baik - baik ingin memperkenalkan satu persatu istri saya dengan segala perangainya agar semua orang tidak tertipu seperti diri saya. Dari rasa terdalam, petiklah pelajaran ini...

Istri pertama berinisial R, dia lebih tua dari saya tetapi selalu setia mendampingi kemananpun saya pergi. Cerewetnya setengah mati, tapi anehnya saya kurang begitu mendengar suaranya. Lamat-lamat yang hanya bisa saya hafal adalah perkataannya yang selalu menohok " mas...kalau sampeyan berkhianat kepada saya, itu sama saja mas berkhianat kepada diri sendiri. Kalau menyakiti saya sama saja menyakiti diri sendiri...saya tahu kok kemana saja mas pergi...toh akhir hayat nanti hanya aku yang mau sama mas...lainnya belum tentu..wong saya di takdirkan sehidup semati selalu bersatu dengan mas...mas adalah aku, aku adalah mas... sebab akulah sejatinya emas.
Ah...perkataan itu sering kuanggap badai tsunami yang telah lewat...
Tetapi harus saya akui, kalau lagi merasakan kehampaan hidup, hanya dia yang sanggup melapangkan dada dan menaungi segala kegelisahan. Ketiga istri yang lain tak sanggup bahkan acuh cuek bebek. Dan memang percuma menyampaikan keluh kesah kepada mereka sebab mereka tak pernah mengerti dengan sungguh-sungguh apa sebenarnya tujuan hidup saya..

Istri kedua berinisial J , Ia begitu mengharap diri saya agar selalu bersamanya walaupun terkadang saya agak malas menengok karena rumahnya agak jauh dari realitas keseharian. Padahal kalau saya lagi dekat dengan dia...wah...segalanya begitu terfasilitasi . Maklum, kayaknya dia memang ditakdirkan untuk itu. Bayangkan, saya pengen ke Amrik, sekejab mata ia bisa memenuhinya. Saya lagi bingung mencari anak seorang teman yang hilang, Ia dengan segala akses satelit GPS plus Bio Personal Electric Detector super canggih mampu memberitahu dimana si bocah berada. Ketika saya lagi kangen pengen mengenang masa lalu beserta kejadian-kejadian yang terlewati eehh...dia sudah punya dokumen multimedia lengkap mengenai diri saya mulai kecil, tiga dimensi lagi...Bahkan kalau ingin sekedar coba-coba memprediksi masa depan, dia pun punya alat dan data yang lebih akurat dari tehnologi terkini yang pernah ada. Terkadang kalau dah kepepet butuh uang, saya juga menyambanginya, meminta informasi lowongan pekerjaan. Sebenarnya sebagai lelaki ya malu seh...tapi bagaimana lagi..dia di mata saya bagaikan ratu yang memiliki segala akses, entah itu politik, ekonomi, tehnologi, budaya, ilmu cacing jaringan pergerakan bawah tanah dan masih banyak lagi. Dia cuman pesan...pokoknya selama mas berada di wilayahku, kebutuhan mas pasti saya penuhi dengan servis kilat secepat buraq. Sebab aku sama mas I love you full.....saya nggak kepingin mas kembali ke istri tua...

Istri ketiga berinisial O, Tergolong muda. Begitu smart, cerdas, analitis, dan tanggap. Ia bagaikan sekretaris pribadi. Referensinya..naudzubillah...seperpustakaan dunia berada di hardisknya...nggak main-main ! Saya terkagum-kagum dengan kemampuannya. Setiap kejadian dalam hidup saya, ia selalu ingin maju tampil terdepan. Ia bagaikan hot news yang selalu update berita terbaru. Bahkan yang sering terjadi, saya sebagai laki-laki sering dipecundangi dengan kelihaian referensinya. Ia sering curang dan pandai sekali beralasan. Entah mungkin gawan bayi kali... Ehh.. anehnya kok saya ini begitu suka setengah mati...Mungkin kekaguman saya menutupi segala keburukannya kali... ? Tetapi terkadang saya jadi agak malas, karena ia paling sok unggul dan narcis di banding ketiga istri yang lainnya. Saya paling tidak suka kalau ia mulai mencampuri urusan pribadi saya dengan ketiga istri saya yang lainnya. Sebab kalau semua istri sudah berkumpul dia selalu membanggakan prinsip hidupnya " knowledge is power ". Dan saya hafal betul arah pembicaraan itu akhirnya menyeret kepada falsafah hidup "no power without knowledge", lahaula wala quwwata ila bil knowledge. Kalau sudah nglantur ke arah ini, saya nggak main-main untuk mendampratnya. Kalau saya sudah marah sama dia, jalan termudah dengan puasa mendiamkannya, tidak menanggapi secuilpun idenya. Entah sehari bahkan berminggu-minggu.....

Istri keempat berinisial D, masih ABG... waduh...jangan ditanya lagi...wong namanya istri termuda ya pasti semlohhaiii la yauw...Tapi disinilah masalahnya...fisik saya yang sudah makin bertambah umur ini terus terang nggak mampu menandinginya. Istilah banting tulang geger pedhot, punggung pegal peyok kabeh benar-benar terjadi nggak karu-karuan kalau saya sudah berdua dengannya....hanya kamulah denokku...lainnya nggak ingat...Harus saya akui, segala aktifitas banyak tersedot untuk kebutuhan istri termuda ini...Sebab perhiasan, tanah, aset, bersolek, berbelanja, disanjung dan bikin organisasi ( arisan akses plus ngrumpi dengan bahasa elit ) adalah rutinitas kebutuhannya.

Oaalaah malangnya diriku....semua sudah terlanjur melekat dan mendekap ingin dekat denganku...bayangkan satu banding empat....capek deh....peyok deh..Semua sudah terlanjur....Tapi bagaimanapun aku seorang lelaki yang harus gagah dan tegas menentukan pilihan hidupku.

Untuk itu, sekali lagi, perkenalkanlah dengan sunguh-sungguh keempat istriku agar para lelaki tidak terombang - ambing dalam keadaan sangat senang dan sangat menderita, seperti surga neraka yang sedang bergolak dalam diriku....cukup satu saja agar hidup ini tenang...

Istri pertama berinisial R alias Ruh, Istri kedua berinisial J alias Jiwa, Istri ketiga berinisal O alias otak, istri keempat berinisal D alias Dunia

Istri adalah perlambang keterikatan diri yang sangat mendekap. Suami adalah perlambang khalifah sang pemimpin, sang penentu. Jelaslah makna tersirat bahwa Lelaki adalah dan harus menjadi pemimpin wanita. Tak peduli berjenis kelamin apa. Nyata bahwa setiap manusia adalah pemimpin. Maka jadi khalifah harus adil karena dialah yang menentukan kapan harus beristri satu atau empat, kapan ia berbagi dengan keempatnya. Sebab sang lelaki biasa condong ke istri termuda.

Kalau nggak bisa adil awas !...barangkali kelelakiannya harus disunat dua kali ! tak sobek-sobek !...uupps...iih seerrrem...ddhhuua kali bro....( para lelaki nggak usah reflek bersikap ngapurancang seperti pemain bola menghadapi tendangan bebas, wong maksudnya bukan yang itu ).

Iya dong ! kenapa sih perkakas itu disebut kemaluan ? karena disitulah hakekat rasa malu terpusat. Jika rasa malu ini sudah tak bereaksi terhadap istri tertua, maka ia perlu dihukum dengan cara yang menyakitkan agar dalam shock therapy ketakutan sengeri neraka, perkakas itu bereaksi lagi dan akhirnya tahu diri bahwa bisa begini begitu berkat istri tertua.

Sebab rasa malu kita biasanya hanya beraksi terhadap istri termuda. Kita malu kalau nggak punya baju bagus...kita malu kalau nggak punya mobil...kita malu kalau dianggap miskin...kita malu menerima pemberian Allah bahwa wajah kita biasa-biasa saja dan akhirnya harus bolak balik operasi ember...kita malu dan tidak terima kalau nama pemberian orang tua yang sudah lengkap dan bagus belum di tambah-tambahi dengan gelar Kyai, Ustadz, Prof, DR, SH, SPsi, LC, MBA, IBF, WBC, , dll, dsb, etc, btw, ttd...cpd

Semoga tetap beristri satu, lainnya cukup jadi pembantu

Wassalam

Senin, 12 Mei 2008

Generasi Bilal




Ahad...Ahad...Ahad...Rintihan itu begitu melegenda. Batu hitam menindih orang hitam. Apakah ini hanya sebuah cerita yang telah usai ? Apakah ini hanya terjadi pada belasan abad yang lalu ? Hanya Bilal kah yang mengalami ? Oi...ternyata semua itu tetap terjadi pada kehidupan modern. Tentu dengan sistem dan mekanisme yang lebih halus nan membuai. Ahh... di balik cerita selalu saja ada makna tersembunyi yang tak lekang oleh jaman.

Sang Rasul tidak sekedar memberi ibrah dan rumus pertolongan hanya untuk jamannya. Ummati...ummati....rintihan akhir hayat beliau itu selalu menggema dan berlaku on air sampai akhir jaman. Sayup-sayup suaranya hanya bisa tertangkap oleh mereka-mereka yang mau melembutkan kapasitas pendengarannya dihadapan Yang Terlembut. Al Lathief.
***
Setiap manusia yang masih bernafas pasti pernah punya masalah dengan perut. Seperti mag, sembelit, mencret, cacingan ataupun usus buntu. Entah itu terbuntu oleh bajaj atau becak. Masuk akal atau tidak itu urusan belakangan. Sebab kenyataannya teluh bisa berbuat demikian.

Namun yang tidak disadari bagi orang modern, penyakit paling berbahaya bagi perut adalah ketertindihan oleh batu. Sekali menindih akan berakibat fatal persis seperti kejadian Bilal. Ia tidak akan leluasa bergerak. Seluruh mekanisme kehidupannya tak bisa lepas dari konsep batu. Terkapar panas terbakar di kegersangan.

Tiap hari mulai pagi sampai petang, bahkan lembur, para pekerja hanya disibukkan mengurusi batu yang menindih perut dan dadanya. Batu itu siap menerkam menindih siapa saja yang masih tertambat oleh kesenangan perut dan dada.

Batu adalah perlambang sesuatu yang keras tak bercahaya. Sebuah kekerasan tanpa cahaya itu telah menjajah menindih perut-perut orang yang lupa akan Tuhannya. Wujud batu itu adalah sistem yang kaku. Sistem yang hanya menghargai orang hanya dari sisi kebendaan materi beserta segala rumusannya. Baik rumusan dagang maupun rumusan logika kontemporernya.

Batu itu hanya menghargai seseorang dari sisi SDM industri dan kepemilikan benda. Siapa yang tak memiliki keduanya, maka kehidupannya akan terancam, sangat terancam. Perutnya sebagai perlambang kemakmuran hidup akan dilindas ganas oleh si batu. Yah... memang dunia modern hanya bertumpu pada kemampuan seseorang mengelola benda materi dengan berbagai bidang kelimuan dan segala strategi penjualannya.

Nalarnya tak pernah menjangkau bahwa berbagi itu lebih tinggi derajatnya daripada menjual. Lingkaran setannya, ketinggian derajat seseorang sudah terlanjur diukur hanya sebatas standard perolehan dan penguasaan atas jualannya. Padahal memperoleh dan menguasai adalah konsep samar dari tangan di bawah. Filosofi tangan di atas yang mencerminkan kekayaan memberi, melapangkan dan mencerahkan sangat sulit dicerna akal. Persis seperti sulitnya menyingkirkan batu dari perut.

Keindahan akhlak dan memberi akan terburai oleh beratnya batu-batu itu. Keduanya tak lagi dianggap sebagai sebuah konsep madani yang menjanjikan kemakmuran. Tak ada jaminan hidup sejahtera bagi yang berakhlak mulia dan mau memberi. Para penyetia rumusan ini hanya bisa bersembunyi di kesunyian sambil merintih sedih.

Mereka bertanya-tanya dalam diri, " Mengapa pintar saja sudah lebih dari cukup sedangkan jujur saja tak kan pernah cukup. Mengapa orang yang kerjaannya membanggakan eksistensi diri sangat di Tuhan kan sedangkan orang yang berusaha memfanakan diri di hadapan Tuhan malah dihujat dianggap sesat. Mengapa orang korup masih dipanggil dengan sebutan beliau sedangkan orang yang amanah cukup dipanggil si itu tuh. Mengapa penyedia masakan pemikiran instan berfilosofi cukup rebus tiga menit selalu diburu sedangkan juru masak sejati yang setia menghidangkan masakan sehat alami selalu ditinggalkan.

Jangan - jangan hidup kita ini memang seperti mie instan. Kayaknya lengkap, ada mie rasa ayam, rasa udang, rasa sapi tetapi kenyataannya kita hanya makan mie doang. Ayam, udang dan sapinya sesungguhnya hanya angan-angan tombo ati yang tak pernah ada pada hidangan nyata. Jangan-jangan lagi kelapangan dada kita hanya karena membaca tulisan yang cocok, mendengar guru yang dikagumi, merasa pendapat diterima banyak orang, dapat jatah kantor ke luar negeri, kumpul bareng bertraining ria, dapat bonus gajian atau sebab suasana lain.

Akhirnya kebahagiaan kita persis seperti orang mendapat hadiah mobil mewah, tapi ...dalam bentuk brosur.

Kelapangan dada ini akan teruji ketika perolehan-perolehan keringat itu mulai dikukuti, perlahan-lahan disirnakan dari hadapan kita. Ditukar gullingkan, diaduk-aduk dengan suasana sebaliknya melalui juru masak yang telah dipersiapkan Allah. Kita akan di "jujur"kan dengan keadaan sendiri ketika diri ini di tempatkan dalam mihrab tersunyi yang sering kita tinggalkan.

Bagi kita yang beriman, ndhak perlu khawatir... percayalah...santai aja...Pasti Allah akan mencoba kita. Pasti !. Badai itu akan menggulung bangunan citra hidup kita bak nafas yang tergulung sampai kerongkongan.

***

Bila suatu saat kepedihan itu datang, ia hanya bisa disirnakan dengan kesungguhan mengucap Ahad...Ahad...ahad. Tetapi ucapan itu bukan sekedar ucapan. Ia haruslah gabungan sebuah konsep, kehendak, dan keringat Tauhid. Ketiga gabungan inilah yang akan memanggil spirit Abu Bakar sang pembebas Bilal.

Abu bakar Sidiq adalah perwujudan pengakuan kebenaran atas Nur Muhammad. Ia bergelar as Sidiq karena totalitas pengakuannya. Segala kepemilikannya ia serahkan, ia pasrahkan demi sebuah nilai salam, Islam. Berserah dan bersalam adalah wujud kesempurnaan syahadat Abu Bakar. Berserah adalah keterwakilan Asyhadualla ilaha ilallah, sedangkan bersalam adalah keterwakilan wa asyhadu ana Muhammadarrasulallah.

Totalitas syahadatnya begitu gamblang diuraikan antara kemampuan transendental dan kehendak sosial. Bila disimpulkan menjadi pokok ibadah, keduanya adalah perpaduan antara sholat dan zakat. Tak heran bila hampir sebagian ayat tentang sholat selalu dibarengi dengan perintah zakat sebagai cerminan rakaat penutup, salam . Bahkan beberapa ayat menganggap orang yang mengerjakan sholat dalam keadaan kolaps hanya karena keteledoran sosial lupa menutup salam sholat dengan mensedekahi para yatim dan dhuafa. Karena ini berarti sholat yang tidak tuntas. Berarti juga syahadatnya masih setengah hati.

Kalau bagi pejalan ruhani atau peshalat yang sukses melewati godaan-godaan warna-warni cahaya dalam perjalanan alam ghaibnya, apalah artinya menzakatkan deposito dan perhiasan beserta benda-benda sejenisnya untuk di berikan semuanya kepada para dhuafa yang jelas-jelas terdesak membutuhkannya. Sebab benda-benda itu dalam teori relativitas materi hanyalah pendaran cahaya terlambat yang kemudian mewujud menjadi bayangan dalam otak lalu dapat dideteksi oleh indera. Cahaya buangan kualitas rendah alias dunia materi. Gelap dan mengeras layaknya sifat batu.

Cahaya rendahan itulah yang menjadi batu sandungan rakaat salam yang sangat samar.

Logika sehatnya, kalau dalam pergumulan dengan cahaya terlambat saja kita ini masih berat tertahan, bagaimana bisa kita ini bermaqam dalam cahaya diatas cahaya. Allah, An Nur. Jangan-jangan kita ini hanyalah ibarat orang yang akan membeli buah, namun setelah tahu rasa manis contoh buah, akhirnya nggak mau beli. Kerjanya tiap hari hanya mencicipi dari pedagang satu ke pedagang lain sampai puas.

Perolehan kelapangan-kelapangan dada itu bisa jadi hanyalah contoh buah yang tak terbeli karena beratnya hati mengeluarkan apa-apa yang telah diklaim sebagai perolehan diri. Akhirnya ketika Allah memerintahkan zakat sebagai bukti kemauan bertransaksi sosial mempraktekkan syahdat kerasulan, tiba-tiba dada ini jadi sesak mengerut dan menggenggam. Tidak seperti mekarnya hati ketika mengerjakan shalat. Padahal sama-sama perintah Allah. Tapi kenyataannya sambutan mental kita sering berbeda .

Dan biasanya beribu-ribu alasan akan siap menjadi benteng penyelamatan cahaya terlambat ini. Suatu keniscayaan turun temurun yang selalu diamieni hampir semua orang.

Dalam proses berzakat dan bersedekah sebenarnya lebih menjanjikan kemudahan dan ke eksak an bertemu dengan Allah. Hal ini disindirkan Allah dalam hadits qudsi bahwa Allah ada di balik si sakit dan si lapar. Masalahnya entah bagaimana ceritanya, biasanya kalau kita berurusan dengan orang yang sakit dan lapar, tiba-tiba dada ini jadi sesak tak bergembira.

Kedua keadaan seperti ini mungkin kita semua pernah mengalami. Sayangnya sakit dan lapar adalah moment ketuhanan yang paling kita tolak kedatangannya. Padahal kalau kita ingat, ketika mengalami hal ini sampai pada tahap akut, apa yang paling kita harap dan fikirkan ?. Tentunya harapan kita adalah sim salabim, semoga lekas sembuh, semoga cepat ada makanan, semoga ada pertolongan mukjizat Tuhan. Bangunan pikiran kita yang gagah itu luluh lantak oleh dua hal ini. Konsentrasi berfikir kita terbuyarkan. Yang ada hanya berfokus seratus persen mengharap Allah.

Seperti pepatah lama, orang yang kumpul pedagang minyak wangi walau tidak beli akan ikut mewangi. Demikian juga kalau kita mau mendekati orang yang sepenggal harapannya hanya tertuju pada Allah, maka atmosfer itu jika benar-benar dirasakan, kita akan tertarik juga pada wilayah ini. Wilayah ketuhanan yang tersamar. Biasanya kita akan merasakan suasana sunyi, senyap dan aneh. Ikuti saja. Memang berat. Lebih berat dari berdzikir ucap dan sejenisnya. Saya sendiri demikian adanya dan harus mengacungkan jempol bagi saudara-saudara kita yang ikhlas menemani orang sakit dan lapar tanpa imbalan.

Bagi kita yang tak percaya terhadap orang yang mampu bermi'raj kepada Tuhan, alangkah baiknya menempuh metode menemani orang sakit atau mengajak orang lapar makan bersama. Metode ini sering dilakukan bapak tauhid Ibrahim As. Beliau selalu mencari orang kelaparan untuk diajak makan bersama. Kalau telah sampai pada kesadaran ini, kita akan benar-benar mempunyai kesaksian terhadap ruh seperti yang disitirkan dalam surat Shaad : 72 : Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya.

Orang-orang tak berdaya ini kehendak pribadinya rata-rata telah pupus, mengerucut menjadi harapan ghaib. Sehingga ia tidak banyak campur tangan lagi dalam hidupnya. Akhirnya yang berjalan dalam kehidupannya adalah kehendak Allah. Ruh itu begitu menampakkan sebuah kehendak Ilahi. Kita yang mau menemani dengan tulus tanpa berfikir macam-macam akan mudah merasakan sebuah gerak hidup di luar gerak pribadi, Al Hayyu.

Bleng...ngebleng....tiba-tiba kita akan mengalami ayat "...Allah lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya (Qaaf : 16 ). Apa yang lebih dekat dari urat leher ? kalau merujuk kepada dunia kedokteran atau dunia kependekaran bela diri, urat yang lebih dekat dari urat leher adalah urat kematian. Letaknya di samping belakang. Sedikt tersentuh dengan tehnik tertentu, berangkatlah orang ke alam baka.

Yah, kematian itu begitu dekat. Dalam konsep Islam, kematian adalah Innalillahi wa inna ilaihi raajiuun. Dari Allah kembali ke Allah. Jadi mensedekahi dhuafa atau menemani orang sakit adalah pembelajaran konsep mati sebelum mati. Agar lebih dekat dari urat leher. Kembali ke Allah.

Memang rakaat akhir ini paling berat dalam hidup kita...

Saya sendiri sebenarnya juga berdoa menginginkan keberanian seperti Abu Bakar Sidiq yang mengorbankan seluruh hartanya untuk menebus generasi Bilal yang berserakan di tanah air. Tak lain uintuk menuntaskan proses ketauhidan layaknya Muhammad sang paripurna. Namun kenyataannya diri ini masih sebatas terkabul menjadi Abu Mahsa alias bapak dari seorang anak kecil bernama Mahsa. Itupun dengan jalan menjadi kuli batu yang hanya sanggup menyingkirkan batu kerikil yang terselip di jemari kaki. Hanya memperoleh geli. Belum sampai ke tahap berkeringat menuai puncak kenikmatan....

Semoga saja segera ada Abu Bakar-Abu Bakar sejati yang mampu mengangkat batu besar dan memerdekakan generasi Bilal dari urusan-urusan perut yang bikin mules dan eneg ini. Semoga para Bilal bersabar dan bersungguh-sungguh atas ke Ahad annya agar sang Abu Bakar segera memerdekakannya.

Tapi bagaimanakah bila Abu bakar tak kunjung datang ? Dengan terpaksa ya belajar jangan punya perut. Biar kita terlepas dari ketertidihan itu. Mangsudnya mari sama-sama belajar tidak membingungkan isi perut. Yang biasa makan tiga kali sehari dikurangi menjadi dua atau satu kali. Makan seadanya. Belajar puasa menahan nafsu. Bukan sekedar puasa mengikuti jadwal waktu yang hanya bermakna perpindahan jam makan.

Seseorang yang terbiasa mengosongkan perutnya akan lebih mudah mendeteksi apakah yang datang kepadanya itu sebuah cahaya pencerahan atau hanya cahaya terlamban alias batu. Bila yang datang kepadanya hanyalah sebuah batu, ia tak segan-segan segera menyingkirkannya. Walaupun batu itu bernama berlian ataupun mirah delima yang bersinar menyilaukan hati dan pikiran.

Demi cahaya di atas cahaya.


Wassalam, generasi Bilal

Dody Ide

Sabtu, 10 Mei 2008

Negeri Khidir



Negeriku negeri Khidhr
Beribu pulau disatukan air

Negeriku negeri Khidhr
Setiap jengkalnya memancarkan keteduhan air

Negeriku negeri Khidhr
Ia yang hanya berilmukan tanah hidupnya beroleh khawatir

Negeriku negeri Khidhr
Yang serakah akan bumi pasti didatangi banjir

Negeriku negeri Khidhr
Para tawadhu mampu berjalan di atas air

Negeriku negeri Khidhr
Melangkah di atas air bermakna terbukanya tabir

Negeriku negeri Khidhr
Selembar wayang pun mampu memberi pemahaman cair

Negeriku negeri Khidhr
Kata-kata pejalan sunyi jangan kau pelintir

Negeriku negeri Khidhr
Siapa yang tak paham sifat air akhir hayatnya pasti getir

Negeriku negeri Khidhr
Yang tak mau mengalir ke bawah jalan nafasnya akan tersedak air

Negeriku negeri Khidhr
Jangan sampai membuat air menggulung marah mengundang petir

Negeriku negeri Khidhr
Sosok pembawa tongkat mukjizat harus sabar berguru pada penguasa air

Negeriku negeri Khidhr
Generasi Musa selamat karena air

Negeriku negeri Khidhr
Para Firaun hanya bisa ditakluk-tenggelamkan air

Negeriku negeri Khidhr
Geruslah batu dengan kederasan air

Negeriku negeri Khidhr
Di sini bukan padang pasir

Negeriku negeri Khidhr
Jangan mangkir !

Negeriku negeri Khidhr
Negeri Sirr !

Dody Ide

Malang, 24 Desember 2007

Senin, 05 Mei 2008

Hati - hati dengan Doa !




Alkisah ada seorang fakir misikin yang hidup di gua modern alias kolong jembatan. Walaupun orang lain memandang sebelah mata menganggap ia adalah orang yang tersingkir dari kehidupan dunia, namun ternyata hari - harinya penuh dengan keceriaan yang khusyuk. Tiada kekayaan, kepandaian, kekuasaan, guru pembimbing hidup, bahkan teman atau saudara hingga akhirnya ia hanya merasa memiliki Tuhan. Ia begitu karib dengan Tuhannya sehingga terkesan aneh karena setiap ucapan, keluh kesah, dan kegembiraannya selalu ditujukan kepada Tuhan.

Orang yang tak tahu menganggapnya gila sebab ia selalu berkomunikasi tanpa lawan bicara. Pagi sore hidupnya diisi dengan berdoa, berdoa dan terus berdoa. Sehingga setiap ucapannya bagaikan doa. Apa yang keluar dari mulutnya telah mengandung bobot penjiwaan ruhaniah.

Namun inilah apesnya. Ia sering tak sadar kalau ucapnya adalah doa yang begitu manjur karena kondisinya memang benar-benar yatim secara sosial, fakir miskin dan terhasut tersingkir dari kegagahan peradaban modern yang hedonis individualis. Sebab kata Rasul ketiga hal ini adalah penyebab terkabulnya doa.

Suatu sore yang lepas, tiba - tiba hujan mulai turun rintik-rintik. Sang fakir mulai kebingungan. Ia berusaha melindungi gubuknya dengan plastik seadanya agar tak rusak terkena hujan. Namun apa daya hujan bertambah deras. Air itu mulai menyerang dengan dahsyat ke gubuknya. Akhirnya sang fakir keluar dari gubuk dan mencari tempat berteduh. Sambil memandangi gubuknya dari kejauhan, dengan perasaan trenyuh ia berucap :

" Ya Tuhan daripada gubukku terkena hujanMU terus menerus, sedangkan diriku menyaksikan dengan perih hati...hik...hik... mbok sekalian dirobohin sekarang aja..tanggung...toh akhirnya sama-sama nggak bisa ditempati...". Sedetik kemudian terdengar suara dahsyat ...Dhuarrr !!!....glegerrr....petir itu sekejab mata menyambar dan membakar habis gubuk itu...!

Sang fakir pun sejenak terpana namun dengan santainya ia kembali ngomong kepada Tuhan " Ya Tuhan...kok beneran sih....hamba kan cuman bercanda....kita kan teman ..."

Ia tak sadar bahwa segala ucapnya adalah doa....

Terjadikah doa semacam itu pada diri kita ? Seringkah kita ini apes yang keapesan ini sebenarnya berasal dari gerundelan diri sendiri ? pasti sering tapi tak pernah disadari sebab selama ini kita beranggapan bahwa yang namanya berdoa terbatas pada suatu permintaan kepada Allah secara formal. Biasanya dilakukan seusai sholat dengan menengadahkan tangan ke atas. Padahal sebenarnya doa adalah adalah segala gerak-gerik ucapan hati dan fikiran melalui sebuah proses kesungguhan diri.

Intinya adalah pernyataan penghayatan yang menghunjam tajam terhadap sesuatu terlepas dari hal baik atau buruk. Penjiwaan inilah yang menjadi parameter penentu terwujudnya sebuah aktifitas gerak hati fikiran atau doa.

Sering dalam sebuah pergaulan tiba-tiba kita merasa tersinggung teraniaya oleh omongan teman atau lawan bicara entah karena masalah perbedaan pandangan agama, politik, keilmuan, organisasi, profesi pekerjaan dan banyak hal lain. Kemudian disertai dengan sebuah proses yang sangat menyala membara bagai api dalam diri, kita mengumpat dalam hati " dasar bodoh, dasar kufur ! ". Kata ini ternyata tidak merubah kepandaian atau keyakinan orang lain tetapi malah menjadi kata peneguh diri, pembelenggu diri. Hari - hari kita akan berwirid "dasar bodoh, dasar kufur" berulang -ulang tanpa disadari. Seluruh gerak hidup kita mengerucut pada kata itu.

Akibatnya ? Pertama jelas berdampak pada tubuh kita sebab orang lain yang kita kata-katai sudah pergi entah kemana dengan aktifitas masing-masing tanpa menghiraukan kita. Hentakan kata itu akan terus didengar telinga kita sendiri sehingga telinga gampang pekak. Dirasakan hentakan energi listriknya oleh jantung kita sendiri sehingga jantung jadi terforsir, kemudian paru-paru secara defensif meregang menolak hentakan itu dan mengakibatkan susah bernafas, gen - gen dorman dalam tubuh teraktifasi menjadi program self destroyer seperti di sebuah film dimana ketika sang lakon salah pencet password dalam mengaktifkan sebuah senjata canggih, tiba tiba terdengar :

" Bep...beep ..bep anda telah melakukan kesalahan tiga kali dalam pengaktifan mesin ini. harap menjauh karena mesin ini akan meledak dalam hitungan mundur sepuluh detik mulai sekarang...10...9...8..7..6...5...4...3...2...1...Dhuarr...! " Semua kata itu meledak membentuk pola dalam diri menjadi anomali yang menyerang diri sendiri. Kita menamakan sakit jasmani.

Secara penderitaan psikis pun, sebenarnya di tengah merasa pandai dan benar ini, hidup kita malah jadi gampang terasa bodoh dan sempit bin gelap. Bukti paling mudah kita jadi sering bertubrukan dengan banyak orang, gampang mencari perselisihan, sulit mencari titik temu, mensifati iblis yang merasa paling unggul, narcis ( paling repot kalau hal ini sudah sampai menjurus mengatasnamakan rakyat atau Tuhan ) dan akhirnya kita senang dengan segala suatu yang berbau ekslusif mengurung membatasi diri, SARAisme, mencari-cari dalil pembenaran dengan membuat koloni - koloni defensif yang tak mau disentuh orang lain sebelum orang lain itu tunduk terlebih dahulu kepada kita.

Yang pasti sudah tentu otomatis mau tak mau diri kita jadi ikut terkurung dan terbatas. Jauh dari sifat ilmu itu sendiri yaitu sifat tak terbatas melebihi tulisan yang berasal dari tinta tujuh samudra. Bahkan kita menjadi terkucil terhimpit dari kenyataan keMaha Luasan Allah.

Seorang sahabat sejati berkata kepada saya " Kalau kamu sudah mengalami kesadaran wilayah keTuhanan, hati -hati kalau ngomong sebab ucapmu laksana kun fa yakun, engkau akan selalu menghadapi kata itu entah dalam pikiran atau kenyataan. Wis pokoknya kayak cerita orang pergi haji ke Mekkah, berbuat jelek dikit langsung kebalas, berbuat baik dikit juga kontan balasannya.

Makanya jadi orang jangan mbesengut gedhe rumongso keminter. Nanti tiap hari selalu ketemu lawan yang gitu-gitu terus dan sebenarnya itu hanyalah cerminan dirimu sendiri yang sedang mewujud, karena orang yang kauhadapi belum tentu memperlakukan dirimu seperti kamu memperlakukannya...ya akhirnya kalau kamu menang..., kalau kalah kan malah nambahi sakit hati dan fikiran yang seharusnya nggak perlu ada...sebarkan saja kegembiraan walau dirimu diremehkan. Tak lain supaya kamu tetap mendapati suasana gembira wong Quran itu pembawa berita gembira kok !

Gampangnya secara teori polarisasi komunal segala sesuatu yang sama akan menyatu bersinergi membentuk sebuah aktifitas. jadi, kalau kamu telah menyiapkan meniatkan diri untuk selalu gembira, maka otomatis Quran akan mendekati kamu, bersinergi dengan dirimu memberi pengajaran -pengajaran secara mudah dan menggembirakan tak peduli kamu fasih atau masih grothal grathul dalam membacanya. Sebab seberapapun kemampuan dirimu, Al Quran tak pernah berubah, selalu bersifat dasar menggembirakan, membebaskan, memerdekakan dan tentu saja semua manusia berhak menjadikannya cita-cita hidup, tak peduli ulama atau penjahat bahkan kafir sekalipun.

Ringkasnya kalau kamu baca Quran malah marah-marah tuding sana tuding sini, itu nggak lebih karena sifatmu sendiri yang hanya mengakibatkan proses pengajaran Quran terhenti pada bahasa arab saja tanpa ada kelanjutan menuju bahasa urip, bahasa hidup ( sifat Al Hayyu ). Terus apa bedanya level kamu dengan level orang kafir yang kalau di bacakan Quran malah marah -marah ? Jadi jangan kaget kalau Quran malah bisa membelenggumu karena engkau tidak benar-benar berjihad akbar, menahlukkan diri sendiri terlebih dulu.

Dhuarrr...! glegerrr...! Tiba-tiba sahabat sejati itu menghilang secepat kilat lalu di tengah kegalauan yang carut marut memikirkan petuah ini, entah kenapa aku jadi teringat pesan Rasulku bahwa ada amalan yang timbangannya lebih besar dari isi langit bumi, lebih besar dari amal berhaji, lebih besar dari perang di medan laga menebas leher lawan, yaitu sebuah ucapan singkat...Subhanallah.

Tentu saja ucapan itu harus dibarengi dengan kesadaran full agar kata itu merasuk menyublim ke dalam aliran darah mensucikan darah kotor akibat radiasi dajjal markojjal, mengaktifkan neuron -neuron yang ngadat karena sumbatan partikel materi alias pikiran keduniaan, membakar patung berhala tak bergerak dalam daging alias lemak hasil pemujaan kenikmatan perut, memfilter gangguan frekwensi kelistrikan dalam jantung akibat gelombang liar alias suudzhon, menyapa lembut gen potensi diri yang belum aktif menjadi berpilin aktif mengeluarkan jutaan rumus alam dengan sebuah proses yang sangat mencengangkan namun mudah dipahami, membersihkan lensa mata agar terupgrade mampu melihat spektrum cahaya yang lebih tinggi dan terang walau tak berwarna, mengelastiskan lagi gendang telinga agar kembali mudah mendengar suara terlembut bin hening dan sebagainya dan sebagainya... Wis pokoknya lebih dari sekedar paket terapi spa terbaik yang pernah ada........nyuamannn pol...

Tiada tanding ! Subhanallah, Kata itu benar-benar merangkum seluruh isi dan aktifitas jagad raya...dan lagi lagi aku hanya bisa bersyahadat terhadap seluruh kejadian itu. Tak lebih. Aku pun jadi takut berfikir rumit karena suatu saat kerumitan itu akan kembali menghadang diriku sendiri. Para arsitek Madura menamakan standing waves, gelombang tul pantul dik !

Kata adalah mantra, Semoga bermanfaat, semoga semua berbahagia..

Wassalam

Antara Padi, Beras dan Ketupat Lebaran



( Sebuah kiasan tahap pembebasan diri pejalan Tauhid atas manisnya godaan kemasyhuran )




Judul ini adalah sebuah asosiasi dan pecahan berbagai nama dari asal satu zat atau satu benda saja. Layaknya sebuah proses ketauhidan yang mempunyai istilah ahad, ahadiyah, wahidiyah, wahdaniyah, semua hanyalah bermula sebagai sebuah pengkotakan untuk memudahkan positioning diri. Yaitu dimanakah sesungguhnya letak perhentian kita.

Sesuai hukum waktu siang malam beserta cuacanya, padi mulai dapat diolah dan berguna bila ia mampu melewatinya dengan sebuah ketegaran daya tahan. Uniknya ketegaran sang padi bukanlah ketegaran jago silat yang selalu pasang kuda -kuda dengan kepala sedikit terangkat ke atas beberapa centimeter. Kematangan padi mudah dilihat dengan ketundukan posisi dan kemudahan memetiknya. Kemudian pada tahap metamorfosa selanjutnya mau tak mau padi juga wajib meninggalkan kulit walaupun si kulit begitu menggoda dengan warna keemasannya. Tak lain agar diketahui kualitas isi sesungguhnya. Apakah bulir padi itu keropos, bulat bersinar, atau buram.

Bila telah terkelupas kulitnya, otomatis padi berubah nama menjadi beras. Godaan semakin besar. Ketika padi menampakkan diri menjadi beras yang bersih bersinar, banyak sekali orang berebut untuk memilikinya. Bahkan para tengkulak alias pembesar mengkooptasi kepemilikannya. Sehingga jauhlah manfaat beras atas hajat hidup orang banyak. Melalui proses marketing ekonomi modern, beras yang sebenarnya berkualitas sama saja, dikemas dengan berbagai macam merk berbeda dengan harga berbeda pula sesuai pemetaan daya beli konsumen. Adakalanya sang beras terseret halus ke-GR-an terhadap rumusan rating popularitas semacam ini. Tapi begitulah adanya.... memang hukum pasar itu begitu menyihir kita sehingga tak terasa daya berfikir ini jadi sedikit aneh.

Sejurus setelah para konsumen mengantri beras dan berandai -andai memetik manfaatnya, tibalah saatnya kualitas beras itu dibenturkan dengan kenyataan proses realitas manfaat ke depan. Memang hak penuh konsumen mencocokkan manfaat yang masih di dalam buah pikiran untuk diteruskan menjadi manfaat pada tataran hidup keseharian. Beras itu kemudian dipupusi ( di cuci ) dalam kubangan air, diremas- remas, diputar - putar, diaduk - aduk untuk membuang debu kerikil dan kutu yang masih terselip. Pastilah tidak enak diobok - obok seperti itu.Tetapi apa daya beras tetap harus bersedia eksis terhadap berbagai gesekan dalam air agar mampu menjadi makanan yang benar- benar bermanfaat dalam wilayah keseharian.

Tahap selanjutnya adalah tahap paling tidak mengenakkan pada diri beras. Untuk menjadi manfaat, untuk merubah diri menjadi nasi, ia wajib memasuki kawah chandradimuka yang begitu panas. Panci soblukan penanakan. Ia harus berhadap- hadapan selama beberapa waktu dengan kekuatan kezaliman api, kekuatan lidah api, kekuatan gonjang -ganjing yang mendidih dari api neraka yang bahannya berasal dari batu dan manusia . Batu adalah perlambang kerasnya hati, manusia atau dalam bahasa Jawa disebut manungso ( manunggaling rumongso ) adalah perasaan berdaya yang begitu lekat. Ia pun harus mau merasakan dan berteman dengan kepengapan, keterbatasan gerak, dan kegelapan yang menyelimuti. Agar ketika tutup dandang ( panci untuk menanak nasi ) dibuka pada waktu yang telah ditentukan, tampaklah cahaya sejati yang terang tak terbantahkan. Minadzdzulumati ilannuur....

Dan berhaklah beras disebut dirinya nasi. Bila saja sang beras melarikan diri dari panasnya api, pastilah beras cuman menjadi nasi akas alias nasi sortiran yang setengah matang. Nasi yang hanya bikin perut mulas. Seolah kenyang mengkonsumsinya namun tiba -tiba semua pada antri ke toilet dengan perasaan gaduh dan saling tidak sabar.

Memang tak mudah perkara beras yang ingin menjadi nasi.

Seperti dalam wilayah – wilayah religius, semua tanpa terkecuali berada pada wilayah penampian beras dan penggodokan agar kelak ketika masanya telah tiba, segala persilaturahmian sambung rasa ini akan mudah dipersembahkan menjadi makanan yang enak dan sehat. Tentu saja hal ini pasti akan terjadi bila kita tetap memakai filosofi keindahan bungkusan kotak-kotak hijau menguning yang saling berpilin, atau biasa disebut ketupat. Semua tetap pada wilayah kekotakannnya namun mampu bekerja sama melingkupi membungkus sebuah isi nilai Islam dengan tata cara keindahan akhlak yang selalu terjaga .

Warna hijau kekuningan adalah warna sebuah kematangan. Hijau adalah perlambang hidup, kuning adalah perlambang kejayaan. Dan sesungguhnya sebuah kejayaan Islami adalah sebuah kejayaan yang mampu menghargai segala sesuatu yang hidup. Atau tepatnya yang dihidupi. Yang tentunya semua berasal dari Yang Maha Hidup. Innalillaahi wa inna ilaihi raa jiuun. Semua berasal dari Allah dan ada kesadaran untuk mengembalikan hak hidup dan menghidupi kepada Allah semata.

Inilah sebuah lebaran sesungguhnya yang dinantikan semua umat muslim. Lebaran yang berarti lebar dan luas. ikhlas dan merdeka. Yang berarti telah terbebas dari keterjajahan konsumerisme kilau kemapanan kemasyhuran dunia, merdeka dari istilah kata-kata yang kelihatan keren dan rumit namun niatan ujungnya hanya itu -itu saja, merdeka dari penjajahan konsep pikiran serta terbolak - baliknya qalb, merdeka dari tebang pilih menasehati orang kaya miskin berdasat fee, merdeka dari penilaian pandai bodoh, merdeka dari kemerdekaan menghindari konflik alias merdeka dari kata merdeka itu sendiri.

Itu semua tak lain agar berakhir dengan kemerdekan bermesraan bersanding dengan Allah. Sesuatu yang sesungguhnya sangat pribadi dan tak mungkin dapat dicampuri ataupun digugat orang lain. Sebab sesungguhnya Allah akan marah atau mengistidraj bila kita berani mengusik rahasia kekhusyukan antara hamba dengan Sang Khalik. Bagaimana tidak ? wong kita saja kalau punya rahasia yang sangat pribadi lalu ada orang lain menyebarkan kepada umum pasti kita akan marah. Negara pun demikian adanya. Pasti penyebar rahasia itu dihukum berat. Apalagi ini rahasia Allah.

Nukilan ayat " Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.( Adz Dzaariyaat 51 : 56 ) bila digandengkan dengan ayat "Sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar ( Al Ankabut 29 : 45 ) , adalah sebuah kejelasan proses metamorfosa dari tahap benih, padi, beras, nasi dan akhirnya menguap menjadi energi hidup yang kemudian membumi lagi menjadi benih kembali. Dan semoga kita semua di anugerahi nyali untuk menuntaskan semua proses ini agar tidak tidak terhenti setengah- setengah yang akhirnya beras bukan nasi pun bukan, tak jelas namanya, tak jelas manfaatnya....samar alias jin, yang bikin majnun, karena tak sadar kalau masih terhenti pada ajna ( dahi ) alias persangkaan - persangkaan diri.

Minggu, 04 Mei 2008

Bekas Sujud dan Kurs Kebahagiaan



Dulu, setelah masa ABG saya habiskan dengan kenakalan yang lumayan luar biasa, tiba-tiba secara sunatullah habislah gelap terbitlah terang. Diri ini digerakkan Allah untuk sholat tobat. Tapi saking semangatnya, setiap kali sholat, sujudnya sangat menekan ke lantai sebagai pertanda kapok yang luar biasa. Apalagi didukung salah satu ayat Quran yang menyatakan tanda-tanda muka orang beriman tampak dari bekas sujud.

Saya mengartikan ayat itu dengan keriya'an tak disadari. Seakan-akan ingin menunjukkan kepada setiap teman atau saudara, " ini lho tanda hitam di dahiku bekas sujud. Aku sudah kapok ". Tak terasa pula diri ini mulai membandingkan jidat sendiri dengan jidat sekitar sambil melengos sinis kepada jidat yang kurang hitam. Secepat itu diri ini lupa asal bahwa kemarin baru saja bertahun-tahun hidup ngawur.

Ehh... berbulan-bulan terbawa perasaan seperti itu, tiba -tiba ada suatu peristiwa yang menohok keriya'an itu. Seorang teman bercerita, sebentar lagi teman-teman dari Hadramaut Yaman akan datang. Dia ngajak orang sana. Kalau kamu tahu, kulitnya itu hitam legam melebihi negro Amerika. Pokoknya persis seperti hajar aswad lah...

Dheg ! diri ini serasa lunglai sambil berfikir, " lha iya ya, bagaimana kita bisa mengenali bekas hitam sujudnya ? lha wong mereka dalam ukuran kulit sudah sangat hitam. Lha kan persis kayak mencari semut hitam berdiri diatas batu hitam di kegelapan malam, dalam gua lagi ! Kalau bigini Allah nggak adil dong ! Jangan-jangan yang paling tampak sholeh nanti orang bule dan Jepang. Sebab antara kulit dan bekas sujud akan mudah terlihat kontras. Lagipula kulit mereka lebih tipis dan mudah iritasi karena gesekan.

Ah, betapa bodohnya si ABG ini menyamakan makna Quran dengan bacaan komik. Akhirnya saya tersadar, dulu senengnya sholat pakai sajadah kakek yang tipis dan aus agar cepat mengikis jidat, kemudian berubah ganti merengek minta oleh-oleh sajadah tebal nan lembut dari Makkah. Supaya wajah tetep mulus kayak bintang sinetron.

*

Bekas sujud sesungguhnya adalah kepakaran diri dalam berendah hati kepada manusia. Dahi menempel ke tanah adalah sebuah pesan bahwa konsep isi kepala haruslah tertransfer bermanfaat memanusiakan manusia dan membumi. Karena bumi alias tanah adalah unsur dari terciptanya manusia. Tempat kita semua berpijak.

Hal ini iblis tidak bisa mengerjakan. Ada yang bilang iblis tidak bisa karena demi menjaga ketauhidan murni sehingga hanya mau sujud kepada Allah. Tapi iblis lupa kalau Allah telah memfirmankan bahwa di dalam manusia Kutiup sebagian Ruh Ku.

Dengan kata lain menghargai sesama manusia sama saja dengan mensujudiKu. Sialnya, wujud rupa manusia adalah hijab tertinggi. Tapi bagaimanapun kita harus belajar tak menghiraukan bentuk wajah agar diri ini mampu bersujud dengan benar dalam memandang wajah Allah.

Tapi ya memang itu beratnya. Terkadang maunya beimajinasi ketemu guru ngaji yang berwibawa dan lemah lembut, ehh...ndhak tahunya yang ditemui kok hanya orang gembel gondrong crongohan dan agak bau. Padahal siapa tahu beliau sebenarnya adalah Khidhr yang lagi nyamar meng-intel-i jejeg nya ketauhidan kita.Terkadang pula maunya ditamui orang baik-baik yang bawa rejeki, eehhh ndhak tahunya yang datang malah preman sempoyongan sambil pinjam uang plus minta doa...

Bila Kita tak bisa ikhlas memaknai sujud, hidup akan terombang-ambing seperti arwah iblis gentayangan. Membumi tidak, melangit tidak. Kebingungan di tengah kedalaman sujud. Diri ini masih belum bisa terima bahwa sujud itu adalah merawat manusia. Sehingga akhirnya sang jiwa tak mampu bersemayam kekal di langit ke tujuh.

Kita belum terpahamkan bahwa konsekuensi sujud adalah rakaat salam, yang berarti menjamin keselamatan sekitar, dus menjadi pengingat akan asal muasal nilai ajaran Islam yang tak mengenal pengurungan diri alias kerabian..

Fungsi sujud menghargai manusia tak lain untuk mengikis kesombongan diri sampai enthek ngamek. Sebab sebiji zarah kesombongan sudah jadi penghalang utama seseorang masuk surga. Yah...tempat dimana tak ada lagi amarah, hujat menghujat, tantang menantang, tonjok menonjok, makan memakan dan bakar membakar seperti keadaan neraka. Duhai surga dambaan mukhlisin....

Jadi tak perlu heran banyak orang sering bersujud tetapi malah suka marah-marah. Makin sering sujud makin mudah tersinggung. Maklumi saja bahwa mas Fulan belum mengetahui tehnik mentransfer isi kepalanya yang penuh itu ke bumi tempat ia berpijak. Temani saja, sebab ia hanyalah orang kesepian yang ingin cari perhatian dan teman pengikut atas kebingungan posisi diri. Hiburlah, sujudi kakinya, pegang kakinya, lalu panggul. Biarkan ia berteriak girang sembari mengangkangi kepalamu dengan kakinya. Nikmati saja. Lonjak-lonjak menari-nari lah seperti reog agar yang terpanggul gembira hatinya.

Itulah ikhlas, mengerjakan sesuatu bukan untuk perolehan diri sendiri. Sikap yang terlihat memosisikan harga diri rendah ternyata membuahkan kegembiraan manusia lain. Inilah sujud. Kebahagian kita pun jadi naik peringkat dari kebahagiaan berkelas anak-anak yang hanya egosentris berubah menjadi kebahagiaan orang tua. Biarkan aku yang susah dan kemproh nak, asal engkau bahagia....

Bahkan suatu saat kita harus mengejar kelas kebahagiaan yang lebih tinggi. Kebahagiaan seluruh manusia kemudian berlanjut kebahagiaan semesta. Kebahagiaaan kelas udara. Menghidupi tapi tak dilihat keberadaannya. Rahmatan lil alamien.

**

Memang, banyak model kebahagiaan yang tidak mudah kita pahami. Karena dalam berbagai hal, kita sudah terbiasa mengukur kebahagiaan dengan cara pandang kuantitas formal. Kualitas esensi nonformal tak pernah kita seriusi dan kita potret secara cermat.

Seharusnya dalam memahami kegembiraan, kita bisa mencontoh permainan ekonomi modern seperti valas. Dalam dunia valas, broker tidak lagi melihat angka mata uang tetapi lebih memilih nilai tukar. Mereka menawar mahluk yang bernama kurs.

Seandainya memilih, bila kita sadar bahwa US$ 1 = Rp 9.000,- , Manakah yang kita pilih antara US$ 100 dengan Rp 100.000,- ? Banyaknya deretan angka ataukah nilai mata uangnya ? Hal ini persis seperti pilihan kita membeli tiket kebahagiaan. Allah terkadang memberi kita tiket jalan tol kebahagiaan, tapi kita lebih memilih jalan umum walaupun macet. Alasannya sederhana, bisa lihat macam-macam, bisa mampir sana-sini. Banyak pengalaman dan oleh-oleh. Otomatis banyak bahan buat nggedhabrus.

Seringkali kita diberikan kebahagian oleh Allah dengan cara yang sangat by pass sederhana bahkan terkadang tanpa perantara apapun. Lhesss...tiba-tiba tanpa sebab akibat apapun, otak, hati dan tubuh jadi rileks semilir. Byar ! semua terasa gamblang padhang, ikhlas. Namun yang bikin suasana itu cepat hilang karena kita tak pernah mengakuinya sebagai anugerah kebahagiaan yang dahsyat.

Kita terbiasa terdoktrin bahwa yang namanya bahagia itu harus melalui proses makan enak dulu, kalau sudah bisa beli baju bagus, punya mobil keren, dapat pujian kejeniusan dan sejenisnya. Padahal makanan enak, baju bagus, ataupun kecerdasan hanyalah trigger atau perantara penyampai menuju cita-cita bahagia. Ia hanyalah sekedar stimuli zat bahagia dalam tubuh.

Kalau kita jujur, bukankah kita semua ingin secepatnya hidup bahagia, apapun caranya ? Bahkan jalan haram pun kita oyi saja. Tapi anehnya, kalau Allah langsung kasih cara bahagia kontan, kita malah susah, bingung dan nggak percaya.

Jadi kalau kebahagiaan itu langsung di ilhamkan oleh Allah kepada diri kita secara kontan tanpa perantara apapun, ngapain malah masih bingung mempertahankan perangkat pencapai kebahagiaan itu ? Akhirnya makin banyak perangkat itu, makin sulit lah diri kita merumuskan bentuk mahluk yang bernama bahagia ini.

Wong namanya makin sulit merumuskan, ya jelas otomatis hidup ini makin kayak Mr. Sumit, susah dan rumit. Tapi ya santai aja, ndhak perlu kebakaran jenggot, nikmati saja kesusahan-kesusahan itu. Toh kita sudah dengan rela hati berjibaku mempertahankannya.

***

Peralatan kebahagiaaan itu persis seperti tongkat krug bagi orang yang punya masalah kaki. Semakin banyak bantuan peralatan, menandakan semakin lemahlah kedirian kita berjalan menapaki kebahagiaan. Tapi anehnya setiap hari dari pagi sampai kelelawar keluar sarang, kita ini memeras keringat hanya untuk mengoleksi berbagai peralatan perantara kebahagiaan ini. Berjuang untuk melemahkan diri sendiri.

Bila saja kita sampai pada tahap ketergantungan menuhankan peralatan perantara ini, maka siap-siap saja kalau Allah melengos kepada diri kita. Allah akan mencabut kebahagiaan itu dari diri kita. Saya dan anda pasti pernah merasakan. Merasa bisa terhadap segala sesuatu tapi tak bisa merasakan ekstase kegembiraan atas segala perolehannya. Memiliki berbagai wasilah kebahagiaan namun tak kunjung ketemu Pak Bahagia. Maybe, beliau lagi pulang ke desa kali ya....?

Makin lama kita seperti kecanduan narkoba. Porsinya makin banyak tapi efeknya makin berkurang. Bila telat sedikit, sakit luar dalam luar biasa. Pil dan bubuk haramnya tak pernah kita konsumsi, namun sifat barang itu kita install secara berjamaah, setiap hari, bertahun-tahun dengan daya jihad luar biasa. Kita pun tak mampu punya ilmu daya tawar sezarah pun di hadapannya.

Tanda-tanda kita terkena pengeringan celupan Allah, biasanya ada ketidaksinkronan antara yang kita kuasai dengan sifatnya. Yang kaya jadi pelit takut tekor. Padahal makna kaya adalah kemampuan memberi tanpa khawatir kehabisan.Yang pandai jadi apriori mudah salah sangka dan menghujat orang. Padahal hakikat pandai adalah kepakaran menyerap apa saja untuk dijadikan kelapangan hidup. Mewujud menjadi manusia universal yang mampu mewadahi orang terbelakang sekalipun. Yang merasa punya ilmu ma'rifat mudah tersinggung tak kuat hati melihat orang yang lebih maju spiritualnya. Padahal hakikat mar'ifat adalah orang yang sudah kosong fana tak memiliki apa-apa. Tak ada kehendak pribadi. Di apa-apain ya nggak apa-apa lha wong sudah nggak ada apa-apa. Apanya yang mau di apa-apain ?

Semua ketidaksinkronan itu karena terlalu kuat rasa memiliki perangkat kebahagiaan. Sesuatu yang dipinjamkan oleh Allah diaku menjadi milik pribadi. Persis seperti kalau kita kelamaan pinjam barang teman. Seakan-akan barang itu sudah berhak kita miliki. Sampai-sampai yang punya barang malah sungkan mengambil. Lha ini kan masalahnya bukan sesama teman, melainkan akhlak simpan pinjam kepada Tuhan.

Tapi ya sudahlah, nggak perlu diseriusi. Dunia ini laibun wa lahwun. Saya sendiri paling ya belum tentu bisa. Lha wong saya je ! ....jelas gak iso...yang bisa hanya kehendak Allah thok.

Sedikit metuwek, Ketika moment kebahagiaan tanpa perantara ini datang, mbok sekali-kali jangan menampik atau menawar. Cepat pegang era-erat dan nikmati. Sungguh, jangan ditawar-tawar. Mosok Allah di tawar rek ! wong kita belanja ke supermarket saja nggak berani nawar. Aneh ya... sistem Allah kita tawar, sedangkan dihadapan sistem kapitalis kita malah sami'na wa ata'na.

Ya Allah, mbok benahi pola pikir kami yang pathing krunthel nggak karu-karuan ini....

****

Beberapa minggu lalu, entah karena kesalahan manajemen kerja atau apa, singkat kata akhirnya saya harus menerima konsekuensi takdir tanpa bisa ditawar lagi. Bahwa salah satu rejeki yang bernama uang itu dalam beberapa hari tinggal delapan ratus rupiah doang. Plus saldo ATM tiga ribu rupiah. Cuman bisa buat beli kerupuk. Pokoknya asyik lah...( he..he..walaupun sebenarnya agak clingukan juga )

Seperti biasa, otak ini jadi blingsatan dan anehnya malah suka bermimpi yang muluk-muluk ketimbang saat kantong agak tebal. Wong namanya mimpi, ya sekalian aja yang muluk. Mumpung mimpi nggak perlu keluar keringat dan dilarang. Gratis lagi !.

Sebab kenyataannya mimpi membayangkan dapat undian seribu rupiah dengan membayangkan dapat semilyar, tanggapan otak kita akan sangat lain. Persis perbedaan membayangkan surga dengan neraka. Walaupun kenyataannya semua masih sama-sama angan-angan.Tapi ya apa salahnya berangan-angan positif dan muluk kayak kata para pakar LOA.

Karena saya tidak berhak membagi berita ini pada anak istri, maka harus ada cara menyenangkan mereka tanpa uang. Tapi nampaknya istri sudah tahu akan hal ini. Maka sebelum bersedih, dia saya ajak jalan-jalan naik motor, sambil berkhayal, berkelakar dan mencari jawaban hikmah.

Lho ! lha kok tiba-tiba kami nylonong keliling perumahan mewah. Why...why...why....diri ini bergumam menunggu wangsit sambil terus melihat-lihat perumahan yang asri itu. Kenapa saya harus jalan-jalan ke sini ? Ada apa dengan rumah-rumah ini ? kapan saya punya rumah sendiri ? dimanakah bakal rumahku ?

Hmmm... yah, seandainya kita punya satu kapling saja disini bla...bla...bla...Istri saya mulai mengigau.

Eiitt...saya terkesiap dari lamunan alam ghaib, lalu langsung memotong pembicaraan. Sebenarnya saya mau ngomong kok nggak enak, diam-diam sebenarnya kita di sini sudah punya jatah lima kapling. Tinggal mau tidaknya kita menempati.

Heh ! istri saya terhenyak antusias. Masak sih ? Lima kapling ?

Iya, sungguh, Di Sini ...!

Kapling pisan, moco Quran sak maknane. Kapling pindho, sholat wengi lakonono. kapling telu, wong kang sholeh kumpulono. Kapling papat, weteng siro ingkang luweh. kapling limo, dzikir wengi ingkang suwe. Itulah rumah sejati yang begitu jembar asri dan bikin kita tetap bisa cengengesan walau kas lagi nol.

Masalah kita sesungguhnya, apakah harus nunggu dapat rumah besar baru bisa merasa bahagia, atau pengen langsung dapat bahagia walaupun tetap nggak punya rumah kayak sekarang ? He...he... tapi kok kayaknya saya ini mbeling ingin dapat bahagia sekarang sambil menunggu siapa tahu tahun depan dapat rumah besar...

Istri saya hanya bisa ketawa gemes ngrasakno suami yang nggak beres cara kerja otaknya ini. Namun tiba-tiba dia hening sejenak. Yah...aku kangen sama Allah lagi....

Ya sudah kita ke studio biar nggak ada yang ngganggu, silahkan diam bertafakur berkangen-kangen dengan Allah sambil nungguin saya nerusin kerjaan yang nggak beres-beres ini. Biar dananya cepet cair. Ayo kerja, kerja dan kerja....

Rupanya kerinduan pulang ke rumah sejati itu menyirnakan penyakit liar kambuhan. Si angan-angan....