Sabtu, 13 Desember 2008
Awas ! Akan Ada Bingung Berjamaah
Gawat ! sudah ada tokoh yang terang -terangan ngajak golput. Di sisi lain ada tokoh yang terang-terangan juga meminta legalisasi pengharaman golput. Saya pribadi hanya berharap dan berdoa pada Allah :
" Ya Allah, semoga sehari sebelum coblosan aku Kau beri pekerjaan yang banyak demi menafkahi anak istri "
Sehingga di satu hari sebelum coblosan diriku begitu capek karena banyaknya pekerjaan. Otomatis kalau seorang laki-laki capek, pulangnya ya cari hiburan. Dan hiburan yang paling enak dan halalan toyyibah ya mencoblos istri sendiri....
Harapan saya, esok hari ketika pemilu, saya sekeluarga ketiduran pulas sampe sore karena kecapekan. Tentunya orang yang ketiduran tak bisa dikenai hukum wajib pasal apapun. Lha nanti kalau ada tetangga nanya " gak nyoblos, Pak ?"
Saya jawab, " sudah, tadi malem.... "
"Lho ?"
Kalau toh dipaksa nyoblos mengqada' seperti sholat, apa bisa ? wong surat suara sudah dibawa ke kecamatan.
Kalau toh pagi - pagi sudah terlanjur bangun, ya saya harus istikharah meminta petunjuk Tuhan dengan singkat, padat dan jelas...
" Ya Tuhan, Engkau pilih siapa ? kulo tumut kerso...."
Setelah itu saya kembali menyelesaikan tumpukan pekerjaan kemarin yang telah diberikan oleh Tuhanku. Karena ini lebih wajib dari hal apapun
Alasannya sih sederhana,
" Saya bukan orang lemah yang menyerahkan nasib saya kepada tenaga kontrakan lima tahunan. Dan saya juga bukan golput..alias golongan diampuu...ut tukang korup harta masyarakat.
" Saya adalah manusia yang punya kewajiban berkarya. Bukan budak isu dan angan-angan yang dikendalikan oleh segelintir orang."
Lho, berarti kamu tidak mematuhi pemerintah dan kekhalifahan !
Ups, jangan khawatir, pemerintah saya banyak. kemarin saya di perintah istri untuk nguras kolam ikan. Lalu si sulung merintah saya untuk mbetulin mainan yang rusak. Si bungsu tanpa kata sudah memerintah saya mengganti popok yang kena pub. Kakak saya memerintah untuk menjemput anaknya sekolah. Ibu saya memerintahkan untuk beli air galon. Dan banyak lagi pemerintah-pemerintah saya. ...
Dan sebagai warga pemerintahan yang baik, maka semua itu saya laksanakan sebagai bentuk pertanggungjawaban tugas kekhalifahan.
Sebab setiap manusia adalah pemimpin bin khalifah. Kalau saya sendiri belum bisa melaksanakan kepemimpinan pribadi dengan baik, apa bisa saya menentukan kepemimpinan yang lebih tinggi ?
Kalau sampean belum bisa membaca, apa bisa menentukan buku yang baik ? Jadi yang gradual dulu lah...melancarkan membaca, baru memilih buku yang baik. Jangan loncat-loncat kayak jurus kodok. Kaki belakang menendang yang di bawah, kaki depan bersikap mengerucut menyembah yang atas. Jadinya nggak karu-karuan seperti saat ini
Walah-walah...kok nglantur....
Ya memang kalau otak saya lagi berfikir model politik begitu itu. Sukanya menghubung-hubungkan, mencari pembenaran, membentuk opini, alasan dan undang-undang kebijakan yang jauh dari realitas bijak itu sendiri....
Kayak nggak ada kehidupan lain aja.....
wsb
Dody Ide
Selasa, 09 Desember 2008
Berihram di Dalam Negeri
Sewaktu kecil saat sholat berjamaah banyak kejadian lucu. Melihat teman sebelah garuk-garuk karena nggak khusyu, dengan niatan lugu teman satunya mengingatkan : “hei, kalau banyak gerak, nanti sholatmu batal.”
Dengan lugunya pula teman di belakangnya nyeletuk : “Sholat kok ngomong ! batal Lho.”
“ Lha gadah ! kamu juga ngomong ! sama-sama batal dong !”
Di sekelilingnya juga mulai cekikikan mendengar kekonyolan itu. Yang agak senior dengan setengah sinis nggerundhel : “Arek-arek iki rek...rame ae. Nanti mulutnya tak obras baru tau rasa. Sholat kok buat guyonan.”
Mungkin sesepuhnya masjid sambil meneruskan rakaat juga nimbrung dalam hati : “Ah...Seandainya mereka tahu manfaat dan nikmatnya sholat...”
Tak terasa, ternyata semua terlibat kebatalan-kebatalan yang tak disadari. Semua merasa benar. Semua merasa berkewajiban mengingatkan. Semua berhak marah bila agama jadi sesuatu yang tidak serius.
Semua ingin berbagi kebahagiaan spiritual. Namun mata hatinya masih melirik ke kanan kiri. Belum memandang lurus ke depan. Allah Sang Penggerak.
Semua berdebat kendaraan cara. Semua berdebat jalan kebenaran. Semua berdebat pengalaman. Terhenti di hiruk pikuk sampai tak terasa lupa tujuan.
Batal tapi benar. Batal tapi indah. Batal tapi lega. Batal tapi lapang. Tahu tujuan tapi masih berat di ongkos.
Sampai kita dewasa pun ternyata kebatalan-kebatalan itu selalu terjadi dengan bentuk yang lebih halus dan luas. Tentu sesuai dengan rumitnya parameter file otak kita tentang tafsir-tafsir. Mungkin kalau urusan mengerjakan tertib sholat yang lima waktu itu, bolehlah kita bangga merasa lebih khusyu ketimbang sahabat-sahabat kita yang kecil. Tapi bagaimana dengan mendirikan sholat ?
Perintah aqomu sholat, mendirikan sholat, seperti orang mendirikan rumah. Setelah mendirikan, sudah seharusnya seseorang harus bermukim di dalamnya. Menjadi mukimin sholat. Bermaqom di sholat. Kalau mengerjakan itu urusan lima waktu, sedangkan mendirikan dan bermukim harus 24 jam online. Tidak boleh melakukan gerakan-gerakan yang membatalkan.Khusyu 24 jam tanpa melirik sekalipun.
Kekhusyukan terus-menerus mendirikan sholat tanpa lirak-lirik kanan ini sudah seharusnya menjadi kewajiban moral. Tapi siapa sih yang betah tidak lirak-lirik senggal-senggol kanan kiri ?
“Ah...kalau berjilbabnya masih gitu sih belum kaffah. Ah...kalau metode penafsirannya begituan, apa bisa dipertanggungjawabkan. Ah...ngaji di pesantren belum tuntas kok kesusu ngomong. jadi nambahin kacau deh. Ah...kalau metode sholat yang ada di ibukota dan lagi ramai itu sih sebenarnya sudah jadi lauk pauk keseharian. Sayang kita tinggal di pinggiran yang tak tercover peradaban media modern.”
Itu semua sebagian contoh kecil lirikan dan gerakan diluar rakaat mata pikiran dan mata hati kita dalam bermukim sholat.
Kalau fikih syariat tidak sahnya rukun sholat karena najisnya pakaian, maka fikih hakekat batalnya gerakan mukim sholat ini penyebab utamanya adalah masalah model pakaian. Setiap hari kita berganti model baju tak pernah puas. Kemarin kita pakai baju intelektual. Setelah bosan, sekarang ganti kostum politikus. Besok mungkin sudah merancang desain model pengusaha. Kemarin ikut ini sekarang ikut itu. Lusanya karena nggak puas terhadap semuanya lalu pindah jadi spiritualis. Ketika nggak laku, balik lagi jadi pedagang. Menjual spiritualitas.
Kita semua terombang-ambing oleh perputaran trend baju gelar, profesi dan status sosial. Sehingga kita begitu peka mengamati baju-baju orang sekitar. “Oh...kalau itu pakaianku lima tahun yang lalu waktu ABG. Eihh...masih ada juga model begini. Wah...ini bisa jadi trend futuristik. Sip...ini hak patenku.Ini nilai jualnya tinggi. Waduh gimana bajuku ini kok mulai ketinggalan ya...” Mungkin begitu rutinitas gerundelan bathin kita.
Seandainya kita paham bahwa makna dasar baju hanyalah sebatas menutup nilai aurat ruhani yang sangat personal, maka selesailah sudah urusan yang tidak perlu itu. Kita tak lagi bingung jahitan model tafsir siapa, motif model gerakan halaqah siapa, benang spiritual siapa, warna pemahaman siapa dan kancing fatwa siapa. Kita juga tak perlu menyelidik menyingkap bagaimana sebenarnya bentuk body ruhani seseorang di balik baju itu.
Kepentingan kita seharusnya cukup mensibukkan diri menutupi pencapaian-pencapaian spiritual dengan baju putih bersih tanpa rajutan, tanpa warna, tanpa motif dan tanpa model. Netral seperti netralnya baju ihram. Inilah kostum sejati seseorang yang telah mencapai puncak ibadah. Baik ibadah sholat maupun haji ataupun ketiga rukun Islam lainnya.
Bila saja semua pemuka agama Islam telah berbaju ihram dalam keseharian, selesailah sudah pertikaian itu. Baik berihram secara syariat maupun hakikat.
Andai saya punya dana sangat buwessarrr, saya akan ber SMS kepada semua Kyai, Ustadz, Ajengan, Mursyid, Murobbi dan sejenisnya yang berbunyi :
Minggu depan di mohon kumpul di Istiqlal. Wajib memakai baju ihram. diharamkan membawa bendera dan label apapun. Ongkos ditanggung panitia. Mohon konfirmasi balik untuk masalah akomodasi. Wassalam, dari pecinta warosatul anbiya.
Ah...kita akan melihat Istiqlal bagaikan miniatur Makkah. Kita para makmum dan umat juga tidak akan larut dalam penilaian yang tak perlu. Kita tidak bisa lagi menilai : “Tuh yang sorbannya segedhe wakul itu golongan si A. Yang celananya hampir sedengkul itu pasukan B. Kalau yang berbaju koko itu jamaah C.Kayaknya yang kopyah hitam itu favoritku. Wah ini nih gamisnya mantap..”
Cara pandang kita akan dibutakan dengan keindahan. Kemanapun memandang yang ada hanyalah putih bersinar bagaikan kesucian hati mereka. Tak ada lagi klaim merasa bersih dari yang lainnya.
Tinggal selangkah. Jika para beliau telah berjajar rapi dengan pakaian ihram, saya ingin memberanikan diri berdiri mengajukan sebuah uneg-uneg :
"Ya para pewaris nabi...hari ini aku sangat bahagia. Karena tak lagi kulihat sekat-sekat dari golongan Islam mana engkau berasal. Engkau semua begitu bersih sebersih kain ihram. Terlihat jelas olehku perbedaan antara bersih dan kotor. Hitam dan putih. Dan engkaulah yang putih bersih itu. “
“Maka sudah seharusnya engkau semua layak menjadi simbol moral kami. Pimpinlah kami turun ke jalan secara besar-besaran. Meneriakkan segala ketidakberesan negeri ini. Teriakkan anti korupsi secara lantang. Sebab inilah biang keroknya.”
“Adanya tayangan maksiat itu karena aturan yang sebenarnya sudah berpihak pada nilai Islam dikorupsi, dilanggar. Bertebarannya fakir miskin dan anak yatim juga karena korupsi dana kesejahteraan. Kebodohan yang berakibat mudah menuduh dan menghakimi itu juga karena korupsi anggaran pendidikan.”
“ Ketidak khusyukan sholat seorang bapak yang bingung cari nafkah itu juga karena korupsi regulasi yang tak berpihak samasekali kepada pedagang kecil. Semua berasal dari nilai luhur dan kesantunan yang telah dikorupsi demi sebuah eksistensi kain seluas kurang lebih satu kali dua meter alias bendera - bendera golongan.”
“Ayolah kita bikin gerakan moral besar-besaran tanpa kepentingan apapun. Setulus kain ihram. Tanpa motif, tanpa warna dan jahitan. Ayo kita hancurkan berhala-berhala bendera golongan itu ! “
“Saya yakin bila anda semua turun kejalan dengan pakaian ihram, pasti semua orang di pinggir jalan akan ikut. Sebab orang-orang kecil atau makmum biasanya lebih jeli membaca sebuah ketulusan. Pasti ikut ! Pasti ikut !. Lautan manusia ruhani akan terjadi. Mosok kita kalah sama gerakan para biksu suci di Myanmar.”
“Ayo kita berfastabiqul khairat dengan mereka....Buktikan bahwa kita lebih baik. Jadikan seperti gerakan Hijrah Rasulullah yang sedang memimpin kaum terpinggirkan. Badan dan jiwa kami semua ingin hidup lapang seperti tenangnya orang yang sudah bermukim di sholat, seperti jembar dodo nya orang yang sudah mukim wukuf di padang Arafah. Diamnya nafsu karena telah bermukim di padang penyaksian.”
Begitu menggebunya angan-angan saya untuk berdiri tegak menyampaikan aspirasi kepada para bapaknya umat. Tetapi tiba-tiba...
Glodhak ...! saya terjatuh dari tempat tidur. Rupanya mimpi lagi. Namun diam-diam saya tetap kepikiran apakah mimpi semacam ini mungkin terwujud ? Sebab kenyataannya pemimpin kita masih lebih gemar senggol-senggolan seperti sholatnya adik-adik kita. Sebab senggol-sengolan itu asyik.
Akupun ngelindur keloyongan bingung lagi mencari imam.
Wassalam, tetap makmum garda belakang.
Selasa, 25 November 2008
Bila Lelaki Mengandung
Sudah hampir empat bulan ini sang istri mengandung. Seperti biasa, saya harus berperan menjadi lelaki penghibur agar duka berat mengandungnya sirna. Seperti kebanyakan, bila istri mengandung pastilah ada kerewelan-kerewelan yang sebenarnya itu-itu saja.
Tetapi dasar lelaki ya tetep aja maunya menang sendiri. Mungkin begitu gumam sang istri. Saya pun tak ketinggalan bertingkah seperti itu.
" Yah...anakmu yang di kandungan ini pengen kue terang bulan...”
Saya jawab,” Sabar ya belum dapat order, ini biaya masih buat kebutuhan pokok...besoklah mungkin ada rejeki datang.”
" Nggak kuat nih...pengen...nanti anaknya ngileran lho...”
Saya jawab aja, " Kalau bayi nggak ngiler ya nggak lucu rek !...
" Masak anaknya sendiri minta nggak dituruti sih...Ayolah yah, mbok beli yang bikin perut nggak neg.”
" Bunda, makan seadanya dulu. Kalau anak sedari kandungan dikit-dikit sudah dituruti, nanti kalau udah besar kita yang repot. Tentunya yang paling kemakan hati ya ibunya. Sebab dia mulai kecil setiap minta apapun selalu dituruti. Jadi kebiasaan buruk. Manja. Nggak biasa tirakat dan sabar dalam mengejar cita-cita. Egois .Sedikit-sedikit dituruti sedikit-sedikit dituruti, nanti nurutnya dikit lo..”
“ Sebenarnya yang kepingin kue itu kan nafsunya bunda. Jabang bayi masih bersih nggak tahu selera makan. Tuh lihat, kalau bunda marah atau rewel, anaknya langsung protes nendang-nendang. Kan akhirnya ibunya sendiri yang kesakitan. Dia nggak mau kecampuran hal-hal kotor. Apapun alasannya.”
“ Syukuri saja yang ada. Itulah enaknya wanita mengandung... salah dikit langsung ada yang ngingetin. Apalagi yang ngingetin super bersih nggak punya
kepentingan. Meninggal pun di anggap syahid. Karena memang di situ ada penyaksian sejati....”
Wow...saya yang ganti rewel....
" Wah...wah seandainya lelaki merasakan bagaimana beratnya mengandung, baru tahu rasa...” begitu kata sangistri.
He...he… saya cuman melirik sang istri yang agak kecut nggak keturutan. Begitulah kurang lebih sepenggalan kehidupan akhir-akhir ini. Memang enak jadi komentator. Tak pernah ikut merasakan turun lapangan tetapi sudah bisa komentar layaknya superhero.
Sebenarnya sih itu semua mungkin alasan akal-akalan saya karena lagi tongpes. Tapi sesungguhnya tidak sesederhana itu. Kata-kata seandainya laki-laki mengandung itulah yang membuat saya menghibur istri sekaligus menulis hal ini.
Bahwa bila seorang lelaki mengetahui apa makna kejadian mengandung, tentulah ia akan rela senang hati mengganti posisi kodrat melahirkan seorang wanita. Bahkan mungkin lelaki siap mengandung berkali-kali demi pengulangan pelajaran kesaksian yang sangat berharga itu.
Namun hanya wanita lah yang bisa mengetahui proses kejadian manusia mulai dari nol sampai procot lahir. Lelaki hanya tahu dari katanya kata. Paling banter
sekedar mengamati. Lelaki tak pernah merasakan sesungguhnya bagaimana sebuah proses pengadaan manusia dari tiada menuju ada. Lelaki tak pernah ikut
mengalami sebuah kesaksian tertiupnya ruh ke dalam daging. Pengalaman yang tak bisa diganti dengan keterangan apapun.
Tak heran kaum lelaki lah yang paling cerewet berdebat soal Tuhan. Sebab para lelaki tak begitu paham dan sudah terlalu lupa akan kejadian di masa oroknya.
Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya...( Shaad :72 ). Grenjel...Pak anaknya gerak !...Begitu kata ibu-ibu ketika pertama kali kandungannya bergerak.
Saat itu masuklah Ruh ke seonggok daging. Sang ibu menjadi saksi nyata proses itu. Sebuah kebahagiaan dan kerinduan begitu menggelayut dalam sanubari ibu.
Dari perjalanan kerinduan ini, pemahaman ibu secara tak disadari akan terbelah dan terbingungkan sampai akhir hayat. Manakah yang harus ia cintai ? Kemana ia harus merawat, menyanjung puja, menimang-nimang dan mensujudi sebuah kejadian ?
Kepada sang Ruh yang menggerakkan daging ataukah ke sebatas jumleger wujud daging yang tak punya kuasa gerak yang kita sebut anak ?
Bila seorang ibu mampu menempuh jalan ruhani, maka ia tidak lagi terikat dengan konsep materi. Rasa sayangnya meluap-luap memenuhi jagad. Ia begitu paham bahwa ruh itu satu walau dikapling terpisah oleh daging yang bernama ibu dan anak.
Konsentrasinya hanya pada Sang Penggerak. Sang ibu akan menjadi komandan
utama menggiring anak kembali kepada Sang Penggerak, Allah.
Bagi sang ibu sejati, anak adalah wasilah terhebat menuju Tuhan. Karir profesi pribadi pun tak ada apa-apanya bila di banding kemuliaan berkarir menjadi ibu. Sebab bagaimana mungkin karier pribadi yang hanya berisi ambisi perolehan dunia dapat disandingkan sejajar dengan karier bertuhan seorang ibu dalam merawat anaknya ? Sebegitu syirik kah kita saat ini ?
Tak heran kalau Rasulullah Muhammad SAW menyuruh kita untuk berbakti kepada ibu sampai tiga kali lebih besar daripada ke seorang ayah. Surga pun di bawah tapak kakinya.
Tapi bagaimanakah kita memahami dan merealisasikan hadits surga berada di telapak kaki ibu? Apakah saking kepinginnya surga, ketika ibu lagi enak-enak jalan kemudian kakinya kita tarik-tarik untuk sekedar melihat ada tidaknya surga di tapak kakinya ?
Telapak adalah alat melangkah dimana ia akan meninggalkan jejak yang manunggal. Bila sang ibu sukanya sering menjejakkan kaki ke supermarket, tentu sang anak akan ikut sering ke supermarket. Akhirnya anak merasa terbiasa dengan tempat itu. Di situlah ia akan menganggap supermarket sebagai rumah kedua. Ia akan menganggap supermarket sebagai tempat paling menyenangkan, surga. Rumahku surgaku.
Kalau sudah begini, biasanya bapaknya yang berada di neraka. Stress karena anggaran belanja jadi bengkak. Ah, Jejak tapak kaki sang ibu begitu menentukan model surganya anak.
Proses berbakti seorang anak adalah mengamati langkah kaki sang ibu. Lalu bisakah kita disebut berbakti bila kita melihat sang ibu yang sedang kelelahan hidupnya dalam mencari kerinduan Ruh kemudian langkahnya sempoyongan hampir terjebur jurang tapi kita membiarkan ?
Terjeburnya ibu ke tempat yang tak layak akan mempengaruhi seorang anak untuk mengikutinya. Sebab anak adalah perpanjangan ruhani ibu.
***
Entah sudah lebih separuh hidup ini, saya hanya bisa mengamati proses tapak kaki ibu. Hampir tak ada komunikasi. Hanya mengamati dan mengingatkan. Bahkan diantara tiga bersaudara, saya paling kaku terhadap beliau. Sangat tidak bisa memahami bila beliau hanya menuruti isi kepala.
Mungkin kekakuan ini hanyalah rasa sayang yang tak tersampaikan karena suatu yang sangat pribadi.
Rutinitas ibu sejak masa muda adalah menyingkap kebenaran yang tercekal melalui pencarian-pencarian referensial. Entah ribuan buku yang telah terbaca.
Anehnya sebagian ada yang dibeli tapi kemudian dibuang atau dibakar.
Sebagian ada yang di simpan rapi tersembunyi. Terkadang membuat ketikan -ketikan esai tapi dibuang. Tak pernah lagi dikirimkan ke media sebagaimana ketika beliau menjadi aktivis dan pengajar.
Beliau bertandang ke berbagai tempat kebenaran seakan-akan hanya untuk menyampaikan uneg-uneg " Ini kebenaran ataukah kepentingan ? mana yang utama ?...
Hidupnya hanya sebuah ketegasan hitam dan putih dengan pernik kegundahannya yang begitu mengguncangkan jalan takdirnya.
Entah bertirakat atau apa, tiap hari beliau berjalan belasan bahkan puluhan kilometer pulang pergi kerja dan tak lagi memedulikan isi perutnya. Perhiasan mahal pemberian nenek pun tak pernah dipakai bahkan akhirnya dijual.
Hidupnya hanya bertarung dengan diri sendiri demi sebuah kata. Kebenaran !
Dijalaninya kehidupan itu lebih hampir tigapuluh tahun. Beliau memang orang yang berwatak keras walaupun sebenarnya nggak tegaan lihat orang yang
lebih menderita.
Setelah pensiun pun sisa hidupnya hanya di habiskan untuk bercengkrama dengan orang-orang di emperan toko. Tiap hari kerjaannya membelikan koran untuk dibaca pedagang kaki lima. Terkadang kalau pulang, saya melihat beliau membawa tas plastik yang berisi pakaian baru, tapi entah untuk diberikan kepada siapa karena besoknya pakaian itu sudah tak ada di rumah.
Mengamati dan protes adalah laku saya terhadap laku ibu. Mengapa masih ingin memperjuangkan orang lain padahal ibu sendiri kondisinya tak memungkinkan ?
Mengapa masih mencari dan menularkan berbagai referensi kebenaran dari berbagai anggapan orang yang juga belum tentu ?
Mengapa tidak langsung bertanya kepada Yang Maha Penuntun Kebenaran ? Mengapa ibu begitu bertahan dengan kondisi yang menyiksa ini ?
Begitu gerundelan batin saya tiap hari.
Ibu begitu sayang sampai-sampai saya yang sudah beranak pinak ini seakan tidak boleh jauh darinya. Otomatis pekerjaan pun bermarkas di rumah ibu. Naifnya tiap hari hampir tidak ada komunikasi. Karena sepatah dua patah kata sudah bisa membuncahkan hati dan fikiran.
Rasanya hanya ingin diam, diam dan diam. Dan tak terasa, diam malah memunculkan jutaan makna yang tak terperi dalam diri saya.
Kemampuan saya hanya menemani. Sekedar menjadi objek ibu dalam mencari buah hati sejati, Ruh. Tak lebih. Selama hidupnya, beliau hampir tak pernah memberi nasehat. Seakan-akan memberi tafsir bebas kepada saya terhadap cerita kehidupan. Enaknya ya nggak pernah di cereweti, dimarahi dan dilarang-larang. Nggak enaknya diri ini seakan yatim piatu terbiarkan sebelum waktunya.
Tapi akhirnya saya paham. Bagaimanapun Alhamdulillah saya punya ibu seperti ini. Beliau begitu setia pada kondisi itu agar menjadi ibrah bagi anaknya. Beliau
seakan-akan berkata tanpa suara " Nak, jangan kau pilih jalan kebenaran seperti ini. Terlalu melelahkan. Tapi bagaimanapun ibu tak kuasa menampiknya. Dan cukup ibu saja..."
Fuihh...Pengorbanan yang tiada tanding tiada banding.
Ya Allah, semoga engkau beri khusnul qatimah pada setiap ibu. Tak ada yang bisa saya berikan selain doa itu. Sebab dari segi apapun ibu saya jauh lebih hebat.
***
Ikatan batin ibu dengan anak memang luar biasa. Memunculkan kerinduan dan kejengkelan yang sangat hebat. Dua sifat yang luar biasa ini bagaikan mihrab tersunyi pengantar proses mi'raj. Suasananya begitu sangat surgawi atau sebaliknya. Ibu dan anak adalah dua sinergi yang bahu membahu saling melepaskan keterikatan wujud materi demi mencapai makna hidup. Ruh
Mungkinkah setiap istri kita mengalami hal demikian terhadap anak-anak kita ? Para lelaki harus mencari tahu terhadap istrinya sendiri - sendiri. Berguru kepadanya tentang kalang kabutnya mencari si buah hati sejati. Sang Ruh.
Untuk itu, bersiaplah dicereweti. Anggap saja sang istri sebagai pelatih professional dalam menundukkan hawa nafsu demi persaksian dengan Ruh. Toh setiap petarung sejati butuh pelatih dan sparring partner yang handal untuk menggapai kemenangan.
Daripada berguru ke orang lain bayar mahal kan lebih baik uangnya dikasihkan istri sendiri buat tambahan belanja. Enak lho, sudah dicereweti, masih mbayar pula....
Tak heran juga,kenapa setiap proses ijab kabul harus dengan syahadat. Sebab makna pernikahan adalah menempuh kebaruan hidup menjadi mahluk yang bersaksi atas proses ketuhanan. Memulai mencari asal manusia dan merasakan getaran hebat sampai tahap tersungkur di atas perjalanan Ruh.
Sayangnya, dada kita hanya bergetar hebat dag dig dug dan tubuh kita tersungkur K.O hanya sebatas malam pertama saja. Ehhmm...
Ah...bila saja lelaki mengandung..
Ah...bila saja wanita bersyukur terhadap prioritas pengajaran Allah...
Ah...ternyata ibu saya adalah guru tanpa kata...
Mari berkirim Al Fatihah kepada setiap Ibu agar kita lebih mudah mengingat asal kejadian. Ruh
Wassalam, semoga bermanfaat.
Rabu, 05 November 2008
Dzikir Anechoic
Beberapa waktu lalu saya mampir mengikuti forum teman-teman Indonesia lulusan audio engineer Berklee. Bahasan mengenai konsep ruang anechoic begitu menggelitik. Tapi saya lebih tertarik membahas hal itu untuk dikonversikan pada pemahaman ruhani. Karena diskusi itu terhenti ketika ilmu pengetahuan kehabisan parameter dan daya analisis yang akhirnya hanya mandeg pada justifikasi kata tidak percaya, Au ah ...helap...Ghaib.
Daripada ikut menambah perdebatan yang belum tentu membawa manfaat, dan belum tentu juga tulisan ini dianggap ( he..he mengingat saya tak punya basic edukasi yang jelas ), lebih baik dituangkan saja ke milis ini. Sebab saya percaya di milis ini lebih dinamis dengan segala kemungkinan kelapangan dada.
Anechoic secara mudahnya adalah ruang yang di bangun sampai sangat kuedaaap sekali tanpa interfensi pantulan sedikitpun. Baik dari segi waves ( gelombang dan gerakan satuan partikel ), EMI ( Electro Magnetic Interference ) ataupun RFI ( Radio frequency Interference ). Fungsi ruang ini untuk mengukur kondisi suara, daya magnet dan pancaran fekwensi pergerakan suatu benda, algoritma penciptaan digital signal processing ataupun aplikasi akurasi tehnologi militer kelas wahid.
Deru mesin jet, kedipan mata sampai bernafas pun content suaranya akan ketahuan dengan jernih tanpa tercampuri suara dan medan lain. Tentunya dengan memakai peralatan yang super mahal. Bayangkan, sebiji microphone dengan noise curve super rendah harganya bisa setara mobil mewah. Belum lagi alat yang lain.
Ah, tapi saya tak pernah bermimpi memiliki microphone seperti itu. Sebab kita telah diberi Allah sebuah microphone penangkap sinyal yang lebih istimewa dan akurat.
Apa itu ? telinga...! Asalkan kita tahu bahwa telinga tidak hanya sebatas daun telinga dan gendang telinga. Tetapi yang termasuk telinga, mulai dari terkasar sampai terhalus adalah daun, gendang, cochlea, dan syaraf. Kemudian rangkaian syaraf itu menjulur ribuan pikometer menuju pusat otak besar dimana segala pusat informasi DNA tergelar. Para ilmuwan menyebut dengan istilah God spot. Titik Tuhan.
Eit....ada yang kelupaan...ehh tapi memang biasanya sengaja dilupakan oleh seorang audio engineer yaitu sifat mendengar atau sama'. Sifat inilah sesungguhnya yang mampu memperkerjakan fungsi telinga. Contoh fatal gamblang orang yang tak bisa mendengar karena ditinggal sifat sama' yaitu orang mati. Semua perangkat telinga mulai daun sampai syaraf masih utuh, tapi dipanggil dan diratapi orang terkasih pun cuek bebek nggak dengar.
Kalau meramu antara ilmu audio, geologi, fisika, dan biologi yang kemudian di kerucutkan menjadi topik ibadah, suasana terlengang, segar, minim getaran, etheric dan khusyu adalah waktu tahajud atau jam dua belas ke atas. Di waktu ini akan terjadi kemungkinan asumsi teori The quietest place on earth yaitu seputar -9dBA.
Dan Sesungguhnya kalau kita bicara secara objektif, ini bukan masalah tempat alam luaran. Sebab secara telinga kasar, manusia hanya mampu menangkap pada batas tekanan gelombang udara 20 micropascal atawa 0 dB. Setelah itu telinga fisik akan blank. ...Nasi gudeg warna merah. Budeg ah...
Padahal sebetulnya sih, di bawah itu yang terdengar adalah dynamic pergerakan blueprint manusia. Bagi yang biasa tahajud, kalau disadari dan dikehendaki berhenti di keadaan itu, pasti akan terdengar desingan sinyal sine wave alias ngiiii...iiing. Kemudian mulai muncul seperti sinyal pink noise kayak suara gemuruh banjir bandang. Sesungguhnya suara itu adalah suara aliran darah.
Orang yang mendengar wilayah ringing bel dan gemuruh ini, bila secara pemahaman dan peletakan hati tidak siap, ia akan mengalami freak out alias sedikit bocor alus, sinting.Hal ini telah dibuktikan pada percobaan ruang anechoic chamber.
Sering terjadi, dalam kondisi ini banyak orang mengaku menjadi dukun yang suka menebak nasib orang sampai mendeklarasikan diri menjadi Imam Mahdi. Di wilayah ini memang banyak mencetak spiritualis instan atau sufi gadungan yang masih kental butuh pengakuan akan kebisaan diri.
Ketika angan-angan, ego, dan nafsu belum diredakan, orang yang masuk ruang ini dalam keadaan tanpa cahaya, paling hanya bertahan lima belas menitan. Sebab ia akan mendengar bahkan muncul gambaran yang tidak - tidak. Padahal ini adalah wujud ketidak teraturan impuls syaraf tak tertata, yang mewujud menjadi rangkaian gambar dan suara dalam imaji, yang teramplifier berkali-kali seakan-akan meloncat ke realitas. Persis seperti OHP atau LCD projector.
Sketsa blueprint jalan darah ini hanya bisa dibaca dengan baik dan benar oleh orang yang menaruh kedirian pada wilayah kekhusyukan dan kesabaran. Sikap sholat atau dzikrullah. Di wilayah ini akan terjadi pengajaran seperti yang digamblangkan pada Surah Al Alaq ayat 1-5. Yah, segumpal darah itu mengangkut milyaran kalam data tak terkira yang telah dibentangkan dengan nyata oleh Allah.
Masalahnya sih yang dinamakan nyata itu, ternyata tiap orang berbeda-beda. Karena nilai empiris setiap manusia sangat tergantung pada sebuah perjalanan yang pernah ditempuh. Bisa jadi bagi seseorang hal itu begitu nyata, tetapi bagi yang lain dianggap utopia hanya karena belum pernah mencecapnya.
Sikap khusyu dan sabar laksana seeokor kucing yang akan menangkap tikus. SI kucing tak peduli seupil pun kondisi sekitar. Tak perlu menganalisa atau menebak. Sebab analisa dan main tebak-tebakan akan membuat penafsiran dan angan-angan yang malah membuat teledor sebuah pencapaian.
Berapa lama waktu pasti dilewati. Yang dia tuju hanya satu, menunggu keluarnya tikus dari liang. Ya, hanya menunggu dengan kesungguhan. Dan tiba-tiba secepat kilat...Gotcha...! dapat !. Mungkin begitulah gambaran kasar orang yang ingin membaca informasi di darah yang lagi didistribusikan ke seluruh tubuh.
Kondisi khusyu membaca kalam data yang dibawa darah itu seperti mekanisme memperlambat gerakan frame per second sebuah film. Sehingga kita bisa melihat dengan detil bagian - bagian yang banyak terlewati dan kabur ketika film diputar dengan keadaan normal. Layaknya film, dalam kondisi normal kita hanya bisa melihat adegan per detik. Padahal dalam satu detik sudah ada 24-30 adegan gambar berlainan. Malah saat ini tehnologi film sudah mengarah ke 60fps. Bahkan game mencapai ratusan fps. Lha kalau darah kan isinya frame tak terhingga per second....
Maka makin khusyu seseorang, makin banyak hal yang bisa dibaca dengan teliti. Itulah nikmat sebuah pengajaran tiada tanding tiada banding.
Dan suatu saat bila perjalanan ruhani kita mampir melewati wilayah ini, kita akan tahu bahwa sesungguhnya mekanisme berfikir itu otomatis. Sudah berjalan sendiri dari sononya sesuai kapasitas kekhalifahan tiap orang .Tanpa kita perintah seupil pun. Persis seperti denyut nafas yang kayaknya bisa kita tahan atau kita percepat untuk asah ilmu kanuragan. Padahal samasekali tidak. Kecuali tindakan itu hanya memunculkan sifat rumongso yang sulit ditolong. Inilah secuil makna lauhil mahfudz. Wilayah di mana jodoh, rejeki dan mati sudah dapat diintip timingnya. Bukan lagi hal ghaib.
Intinya dibalik kerumitan data yang bisa menciptakan manusia menjadi apapun, titik puncaknya manusia hanya memilih jadi Islam atau kufur. Menjadi sang penyaksi atau sang penyangsi. Jadi Qabil atau habil. Jadi yang terima atau tidak. Mukhlis atau mungkar. Jadi Firaun atau sang pengabdi.Tak peduli seberapa tinggi derajat keilmuan, kekayaan, pengalaman dan kualitas keturunan.
Memang sih kelihatannya sepintas Al Quran memuat banyak konsep afalaa ta'qilun, tatafakkaruun, tubsiruun. Padahal konsep ayat-ayat ini adalah konsep peringatan, sindiran dan pembuktian Allah atas sebuah kemutlakan. Titik tumpunya bukan berfikir atau tafakur seperti tafsir ego kita. Tapi untuk mensyahadati dan mengetahui Siapa yang memberi pertanyaan itu. Setelah itu barulah kita paham bahwa sebenarnya kita ini sunguh-sungguh bisa berfikir atau tidak. Diperjalankan atau jalan sak karepe dewe....
Kemudian sampailah kita pada pembenaran dawuh rasulullah bahwa konten subhanallah itu lebih dari segala isi alam ini. Dan itu ternyata bukan hanya sekedar kalimat, rangkaian huruf, konsep atau filosofi doang. Melainkan benar-benar sebuah realitas terjaga yang berdiri sendiri. Hanya bisa di tembus orang yang mau memukhliskan kedirian.
Kembali lagi urusan konversi audio menjadi bahasan ruhani, sekedar pengistilahan, jadi dzikir anechoic hakekatnya adalah dzikir ruh, Subhanallah. Maha Suci. Dimana wilayah itu tidak ada lagi interferensi pergerakan apapun, tak tercampur faktor apapun. Qiyyamuhu bi nafsi. Tak memantul untuk urusan imbalan dan sejenisnya. Keadaan yang mengarah pada kemengertian bahwa Allah itu benar-benar mutlak, Murni, Maha Esa, dan Ahadnya segala aspek.
Bila kita enggan menapaki wilayah ini, maka dzikir subhanallah yang kita lafalkan sehari-hari jangan-jangan hanya mekanisme pemahaman burung beo. Dimana segala sesuatu hanya sesuai dengan fotokopi hafalan di memorinya.
Memang masalahnya sih kita ini kalau bicara dzikir ruh pasti pesimis. Bagaimana bisa lha wong kita tidak diberi pengetahuan tentang ruh kecuali dikit. Biasanya kita selalu berujar begini.
Lhadalah...kita ini memang aneh ya...kalau Allah sudah jelas memberi gambaran bahwa dunia ini sangat kecil dan sedikit bagai debu, kok ya kita ini bisa kejar dan ngudal -udal sampe muncul peradaban tehno yang sangat mengagumkan. Kita bisa menyebut pola-pola hukum materi dengan ilmu fisik ( a ) karena ada aksi reaksi gerakan partikel dan energi. Dan akhirnya mau mengakui total secara badani (lahiriyah ) atau “otakiyah” ( realitas idea ) karena kedirian kita mampu bersinergi di wilayah itu.
Sedangkan kalau urusan yang sedikit itu bernama ruh, pasti kita menafikan, meremehkan atau malah lari tunggang langgang baik secara akal maupun mental. Cap kita hanya bilang, ah itu hanya sensasi...itu hanya perasaan...era tahayul...phobia, delusif, katarsis, khayalan tingkat tinggi, nggak muiiin...
Jangan kaget, karena kita anti menujunya, suatu saat pasti kita akan berani ngomong kayak orang jahiliyah..ah itu kan kayak Muhammad yang lagi kumat ayan. Tukang ngigau !
Padahal bila sedikit saja diteruskan setelah melewati wawasan terlembut mengenai inti atom ataupun renik eukaryot - prokaryot, kalau kita tersadar, disitulah baru muncul pengetahuan sifatullah. Di wilayah ini akan muncul yang dinamakan “ kecerdasan keimanan “. Yup, mungkin ini sekedar istilah baru yang iseng saya buat. Sekedar membuat garis batas yang tegas ( bagi diri saya sendiri ).
He…he jadi bukan kecerdasan spiritual lagi lho…sebab kata Pak Abu Sangkan kecerdasan spiritual sudah salah kaprah menjadi spiritual digital dan sejenisnya. Tapi ada benarnya juga sih kecerdasan spiritual digital itu. Jongkok persoalannya, kecerdasan spiritual digital itu adalah wilayah puncak af’al lelaku yang berposisi sebagai pelepasan terompah Musa di Bukit Tursina yang suci. Sama sekali bukan akhir perjalanan.
Bila terompah yang bermaknakan kendaraan ilmu pengetahuan, pengalaman, harga diri, kekayaan dan lain-lain tak sanggup diikhlaskan, ya terhentilah segala pencarian menuju pusat Adanya Sesuatu. Dan makna bukit tursina adalah terminal di mana pendakian hati kita mulai sumeleh tunduk mengakui la haula wala quwwataa ila billah dengan segamblang - gamblangnya. Bukan lagi sebatas penjabaran penafsiran ikut-ikutan.
Ah...sesungguhnya perjalanan ke arah ruh yang sedikit saja itu sudah mampu menyimak tabir hakekat kenikmatan dan kemakmuran. Tanpa perlu peralatan ukur semacam anechoic chamber, osiloskop, DSP, ECG, Radar Cross Section Measurement, sonar, FFT, dan sejenisnya. Karena manusia dibekali kelengkapan alat tercanggih yang pernah ada di muka bumi ini. Lha wong namanya saja insan kamil buatan Tuhan he ! Mosok kalah sama alat buatan manusia....
Eit..tapi gimana cara membuktikan dan mencapainya ya...? Ini kan jaman modern bro...! masak kita orang mau dikadali dengan tulisan semacam ini...
cara yang paling gampang adalah cintai Allah semampumu, maka Allah akan meng"iqra'kan dirimu secara bertahap sesuai dengan kadar kamus bahasa kekhalifahan hidupmu. Titik.
Cara paling rumit, bacalah apa saja yang ada di google search enginee ( hhmmm... ), di seluruh perpustakaan universitas dunia, di kitab - kitab kuning yang tersebar di seluruh jazirah Arab Indonesia, di jantung kebudayaan primitif sampai kosmopolit, diperkamen naskah-naskah kuno, di riak-riak para spiritualis yang berada di gunung, hutan, samudera, tempat -tempat suci, di konsep animisme dinamis modern yang mengatakan benda buatan manusia itu punya power dan di mobilitas seluruh mahluk beserta gejala alamnya.
Sampai pada titik waktu yang pasti terjadi, akalmu tak sanggup lagi menjangkaunya hingga engkau tertunduk lesu dan bertanya " Di manakah sesungguhnya perhentian akhir...aku tahluk...aku kapok...aku menyerah...dan aku berserah...aku berislam...
Mungkin mulutmu akan terbungkam rapat tak sanggup berucap lagi. Tapi jiwa ragamu akan bersyahadat dengan dahsyatnya menggedor- gedor seluruh penjuru tubuh,, menarik-narik pejal syarafmu, mengoyak moyak silang sengkarut auramu, dan meremas-kencang-kencang organ tubuhmu hingga keluar rintihan termelas dalam hidupmu ......
Waduh, pusing juga ya sekedar mbahas telinga kok malah mblakrak nggak karu-karuan. Tapi sudahlah, tulisan ini jangan terlalu diseriusi daripada bikin puyeng. He...he saya yang nulis juga puyeng sendiri rek !. Sebab jangankan ngomong menelisik dynamic blueprint lauhil mahfudz dengan perantara telinga, lha wong menghafal rentang karakter frekwensi ambang dengar normal 20 Hz - 20 kHz untuk urusan pekerjaan audio sehari-hari saja masih meleset amburadul.
Mungkin juga sampeyan dan saya sendiri setelah baca tulisan ini banyak yang lupa istilah-istilah dan rumusan njlimet tentang sedikit konsep audio. Atau malah menganggap tulisan ini sampah yang nyasar secara rutin dalam email. Tapi nggak apalah... asalkan yang penting tidak lupa sama yang bikin telinga...Allah
Wassalam, semoga memiliki golden ear.
Dody Ide
Selasa, 28 Oktober 2008
7 Langit 7 Bumi ( akhir 7 )
KEMATIAN
Semua orang bingung kematian. Tua muda sama saja. Tak ketinggalan pula para ahli spiritual dan ilmuwan. Tapi yang jelas semua pasti mengalami kematian.
Wah...mengalami ?
Mengalami yang berasal dari kata dasar alam...berarti mati juga sebuah alam ?
Bagaimana suasananya ?
Berarti nggak mati dong...karena masih bisa merasakan sebuah alam....Lalu dengan perantara apa bisa merasakan sedangkan tubuh sudah mati rasa seperti tersuntik obat bius dosis tinggi sekali yang mempunyai efek waktu tak terbatas…
Sebenarnya dalam kehidupan, sosok manusia yang bisa merasakan dan menangkap segala pergerakan alam ini sang daging ataukah sang penggerak daging ?
Dimanakah kekuatan daging beserta seluruh organ tubuh ketika kematian telah tiba ?
Siapakah sang penggerak ini ?
Di manakah pengakuan diri kita atas sang penggerak ?
Siapa pula aku yang bisa mengaku ini ?
Apakah sang penggerak itu adalah aku dari diri kita masing - masing ?
Ketika mati apakah aku berada pada jasad yang terbujur kaku atau berada pada sang penggerak ?
Kalau aku adalah sang penggerak, sejak kapankah aku ada dan bisa bergerak menggerakkan ?
Lalu kemanakah perginya sang penggerak setelah kematian ?
Apakah melebur, menyatu, menempel atau berjarakkah dengan Tuhan ?
Atau musnah ?
Kalau akhirnya musnah untuk apa diciptakan ?
Lalu siapa yang memetik pelajarannya ?
Kalau melebur menyatu dengan Tuhan , apa bedanya manusia dengan Tuhan ?
Kalau tak ada beda mengapa harus ada sebuah perjalanan ?
Kalau berjarak, berarti ada ruang kosong yang bersifat antara. Ruang apakah yang bisa melingkupi kebesaran Tuhan ?
Tidakkah ini mirp pertanyaan gajah yang besar apanya ? ya kandangnya...kok ternyata masih ada yang lebih besar dari gajah itu sendiri...
Kalau surga itu suatu tempat dan manusia kembali mempunyai badan, tidakkah ini sebuah kebosanan dan kebingungan ?
Sebab badan yang terbuat dari saripati tanah ini memerlukan perawatan dari segala unsur yang terkandung dalam tanah...sedangkan tanah adalah bumi..sedangkan saat itu kita berada di surga...
Kalau badan tidak memerlukan apa - apa karena sistem surga berbeda, lantas kenapa harus ada perangkat badan lagi untuk memenuhi sebuah kenikmatan ?
Sebab yang mencecap segala kenikmatan bukanlah badan...
Sebab ketika orang disebut mati, ada sesuatu yang masih merasakan nikmat dan siksa atau istirahat dengan tenang...
Siapakah yang nikmat ?
siapakah yang tersiksa ?
Siapakah yang merasakan istirahat dengan tenang ?
Siapakah yang tetap mempunyai gerakan hidup dan merasakan ini ?
Sang badankah ?
Kalau iya dimanakah letak kematian ?
Kalau badan hanyalah perantara yang akhirnya hancur , kenapa harus diadakan lagi ?
Apakah ada misi lagi setelah surga kok tetap ada badan?
Bersambungkah perjalanan itu ?
Turun lagi ke dunia kah ?
bukankah tugas di dunia sudah usai ?
Apakah ternyata surga bukan perhentian terakhir ?
Apakah adanya wujud badan hanya agar tetap dapat disebut sebagai manusia ?
Padahal waktu di dunia ketika sang penggerak meninggalkan badan, mereka yang masih hidup tak mau lagi menyebut manusia melainkan menyebutnya mayat.
Mereka pun mengubur dan membakarnya...
Dan ternyata yang tetap dihargai serta dirawat sebagai manusia adalah pemikiran - pemikiran serta jasanya, bukan dagingnya...
Disebutkan dalam berbagai kitab suci bahwa yang kembali kepada Tuhan bukanlah badan yang sehat segar, melainkan bagian dari tiupan ruh atau jiwa yang tenang.
Apakah badan versus jiwa yang tenang atau tiupan ruh ini akan berpisah berjalan sendiri -sendiri ?
Bila sang jiwa tenang atau tiupan ruh kembali kepada Tuhan...
Sedang sang badan melenggang sendiri di surga menikmati fasilitas yang ada...
Lalu dengan apakah badan ini bergerak dan menikmati segala fasilitas surga ?
Apakah surga itu memang hanya diciptakan untuk kenikmatan badani ?
Apakah penghargaan termahal dari manusia adalah badan yang terdiri dari kulit, daging dan organ ?
Terus apa bedanya dengan hewan ? sebab secara garis besar cara kerjanya sama.
Lalu kenapa hewan tidak masuk surga ?
Kalau pembedanya adalah akal, kenapa yang menikmati surga bukan akal ?
Kalaupun akal masuk surga juga ngapain ?
Sebab akal diciptakan untuk berfikir mencari jawaban sedangkan di surga semua telah terjawab dengan gamblang.
Kalau toh surga itu hanya perwakilan suasana, berarti surga itu ya di dunia ini ?
Sebab di dunia pun banyak orang bisa mencapai suasana tenang sampai tingkat ekstase tertinggi hingga lupa keruwetan dunia, padahal mereka masih memiliki badan yang bergerak.
Dan lupanya orang ekstase persis seperti lupanya orang pikun atau amnesia. Mereka sama sekali tak ingat akan kepedihan -kepedihan yang pernah dilalui
Kalau surga hanya sebuah keadaan damai tak terperi tanpa wujud tempat, unsur apa yang bisa merasakannya ?
Kalau jawabannya unsur non materi, bukankah unsur non materi hanyalah kamuflase istilah unsur materi terhalus karena ia masih mempunyai wujud alam ?
Kemudian unsur yang bisa merasakan ini akan terhenti kemana ?
Kekalkah unsur itu seperti kekalnya Keberadaan Tuhan ?
Kalau iya berarti hilang lah ke Maha Kekalan dan ke Maha Tunggalan Nya ..
Tak perlu lagi kah kita menyebut dengan awalan Maha..?. karena tak ada pembeda...masih sama...
Kalau toh akhirnya melebur, berarti tak akan ada lagi rasa damai itu karena Tuhan tak kenal rasa damai sebab Ia tak pernah terkondisikan dengan apapun jua.
Kalau rasa damai sebagai satu - satunya rasa yang ada ikut lebur, berarti tak akan ada apa - apa lagi.
Maka tak ada - apa menjadi bentuk keberadaan itu sendiri.
Tiada yang Ada selain yang Ada itu sendiri.
Kalau kita ini sebenarnya nggak ada lalu ngapain kok suka mengada - ada ?
STOP ! Cobalah berhenti membaca dulu, jangan dipikirkan pertanyaan dan pernyataan itu selama sepuluh menit ke depan mulai dari SEKARANG .....!.
Nah ...belum satu menit kok malah tambah muncul pertanyaan - pertanyaan dan bantahan - bantahan baru....
Daripada difikirkan, meraba -raba dan berbantahan lebih baik miliki satu keyakinan saja bahwa mulai detik ini kita berpasrah siap mati apapun keadaannya nanti, karena itu lebih membantu, karena kematian datangnya secepat kilat tak terduga .
Seribu pertanyaan itu begitu rumit serumit menjawab pertanyaan sederhana " duluan mana ayam sama telur...? " Karena masalah kematian akan terjawab dengan benar setelah saya dan anda yang membaca tulisan ini mengalami mati...Ada pepatah, untuk merasakan adanya sebuah permen, jalan satu -satunya adalah mengemutnya.
Mendengar keterangan jutaan ahli permen, meyakininya, mengecek kebenarannya hanya menimbulkan tafsiran dan sensasi gambaran - gambaran saja, tak lebih. Dan itu pun belum tentu sesuai dengan maksud sang ahli.
Ah ..dibalik segala kerumitan itu ternyata kewajiban kita sekarang yang masih merasa ada ini cuma belajar saling mengenal, menghormati, menghargai dan membantu sebab di dalam setiap manusia ada 'aku" dengan segala perniknya.
Setiap manusia tak mau menyebut diri sendiri dengan sebutan kamu atau mereka. Tak mungkin untuk menunjukkan sebuah kedirian, saya berkata " nama mereka Dody ' pasti saya akan ngomong " namaku Dody " anda pun juga ngomong " Namaku Tukul...namaku Ratu Elizabeth...namaku Nur...namaku Rahmat......namaku Putri Diana...namaku pangeran kodok...namaku Betty alias Bejo...namaku Mince alias Minto...dan sejuta nama lainnya..."
Aku ini ternyata satu walaupun ada pada milyaran tubuh manusia. Maka merawat "aku" yang ada pada setiap manusia sama saja dengan merawat "aku" yang ada dalam diri sendiri....mencelakainya sama saja menghambat perjalanan diri sendiri...meremehkan mereka sama saja dengan meremehkan dan memenjarakan diri sendiri dalam keterasingan yang menggerogoti lapangnya dada...percaya atau tidak ? Silahkan merenungi dan merasakannya...mulai detik ini !
Wassalam
Dody Ide
Rabu, 22 Oktober 2008
Jagal Pemikiran
tulisan ini sekedar tanggapan atas diskusi sholat salah kaprah
Alkisah, ada anak kecil yang suka buang sampah sembarangan. Seperti biasa, sehabis makan jajanan ia membuang sampah seenaknya. Tetapi naas, tiba - tiba ia ditegur orang tinggi besar bin sangar, Hei...jangan buang sampah sembarangan ! sambil mengingatkan si anak, orang itu membuka kancing bajunya.
Si anak melihat tato dibadannya. Sekilas ada tulisan JAGAL...dan gambar mirip gagang kapak
Waduh gawat, jangan -jangan preman ini mau menghajarku gara-gara aku buang sampah sembarangan..ih, liat tatonya aja seyyemm deh..ada tulisan JAGAL... dan kayaknya ada gambar ..ss...sse... senjata tajam. Pasti dia ..pasti dia pembunuh kejam berdarah dingin hi....
Si anak gemetar ketakutan sambil memejamkan mata...
Orang itu semakin mendekat. Sambil menaruh baju di pundak, ia memegangi kepala anak itu...
Lalu...
Dengan elusan lembut di kepala, ia menasehati anak itu, " Dik, mbok jangan buang sampah sembarangan ya...abang udah capek mbersihin...
Karena merasa diperlakukan dengan lembut, si anak memberanikan diri membuka mata. Tepat di hadapnnya, orang tinggi besar itu bertelanjang dada dengan tato di badan.
Ups, si anak terkesiap setelah melihat dengan jelas tulisan tato di dada orang itu.
Ternyata bertuliskan ' JAGALAH KEBERSIHAN lengkap dengan gambar dua gagang sapu melintang....sama sekali jauh dari kata seram...
Sesuatu yang luarnya terlanjur dianggap kasar, kotor dan kejam ternyata penuh kelembutan, suka kebersihan dan santun.
Yah hanya karena salah menduga...salah kaprah.....
**
Memang kelemahan utama kita dari dulu adalah keahlian memotong pembicaraan untuk disesuaikan dengan prasangka sendiri. Keahlian derivatif turunannya adalah menyortir kalimat tanpa mau mencari tangkapan makna atas keseluruhan konteks pembicaraan. Hal ini juga berlaku pada tulisan atau pemikiran.
Seringkali kita keras bin kaku dalam menyimpulkan tulisan hanya karena ada salah satu dari ratusan kalimat yang tidak sinkron dengan konsep otak kita. Sehingga kita menafikan kebenaran kalimat lain yang ada dalam tulisan itu.
Sesungguhnya kalau kita menyadari, ini adalah warisan para penganut orientalis yang selalu berorientasi dengan ketidakterimaan "aku" kecil dan pendapat golongan. Serumit apapun bahasan ilmiahnya, akhirnya hanya mengerucut pada kalimat pokoknya begini tidak begitu, pokoknya begitu tidak kayak yang gini.
Sayangnya kita sendiri terjebak ikut-ikutan menggunakan pola ini dalam mengkaji kebenaran agama. Akhirnya, tahap paling akut kita juga sering berani korup terhadap ayat ketika ayat itu tidak sesuai dengan tafsir kehendak nafsu kita.
Seperti yang kerap terjadi pada surah An nisa ayat 3 tentang bolehnya laki-laki nikah lebih dari satu. Seorang laki - laki yang normal kayak saya kalau di tawari nikah empat pasti wooow...mau dong. Tapi ketika Al Quran menantang bahwa apakah engkau termasuk orang yang adil ? apakah engkau telah menunjukkan kemampuan adil ?
Lhagadah...para cendekia agama yang rata-rata laki- laki kok nggak pernah bahas detail apa yang dimaksud adil, dimana parameternya, apa hukumnya berlaku tak adil. haramkah atau sekedar keluar fatwa yang memaknakan ah manusia pasti ada khilafnya.
Atau adakah semacam keseriusan bahasan seperti RUU pornografi bahwa sangsi tidak adil adalah bla bla bla dengan sekian ratus pasal yang mendukung berdasar analogi An Nisa 3 itu sendiri, bahwa tidak adil adalah berbuat aniaya.
Sehingga setiap perbuatan aniaya pasti ada ganjaran fisiknya. Semisal denda sekian puluh juta atau sebesar- besarnya kurungan ayam...eh maksudnya kurungan badan lima tahun penjara. Tapi ya boleh juga sih ditaruh di kurungan ayam agar sang jago nggak gampang gagah berkokok ke sana-kemari.
Dan sesungguhnya hak dari ayat itu tentang keadilan sudah dijelaskan pada ayat sebelumnya ( An Nisa ayat 2 ) yaitu tentang kewajiban2 kita merawat dan memperhatikan anak yatim. Kemudian baru naik ke masalah wanita itu sendiri. Memaknakan bahwa sebelum kita bersenang -senang, kewajiban sosial harus dijadikan landasan sebuah kemukminan seseorang. Karena mukmin setingkat lebih naik lagi daripada muslim.
Intinya ayat surah ini ada dalam kejujuran batin kita. Apakah tangkapan atas surat ini mengajarkan pendidikan keadilan yang memang harus dilatih pada diri setiap orang yang ingin jadi mukmin, ataukah hanya mengajarkan bolehnya bersenang - senang dengan lain jenis kelamin.
Kalau saya sih cuman bilang, mosok sih Quran cuman mengandalkan hal dangkal atas kesenang-senangan daripada kesungguhan pengajaran tentang kesadaran kemukminan. Walaupun kenyataannya setiap lelaki ( sudah pasti termasuk saya ) kalau hanya bilang urusan gitu pasti pengen kayak raja jaman dulu yang punya selir sampai puluhan. He...he..itu kalau kita hidup hanya nuruti nafsu.
Waduh kok mbahas polyphony lagi....
Uraian contoh tsb hanya sekedar sebagai gambaran betapa dahsyat efek dari memotong pembicaraan. Bahkan dampaknya lebih dahsyat dari sekedar memotong rejeki. Sebab di dalamnya sudah pasti terkandung ketidaksabaran, ketidakakuratan data, tingginya ego, ketidakluasan cara memotret space seseorang yang akhirnya berbuntut fitnah.Yang disayangkan seberapapun daya intelek atau keimanan seseorang akhirnya hanya berujung like or dislike.
Jadi dalam konteks salah kaprah sholat bukannya membela Pak Deka, Pak Abu Sangkan atau siapa saja. Tetapi mari belajar tidak memotong, menyortir pembicaraan, tulisan ataupun pemikiran seseorang. Pelajari dulu pesan batinnya.Dan mari menghargai ide seseorang apa adanya sampai tuntas layaknya murid yang mendengar ajaran mursyid sampai tuntas tanpa berani menyela.
Karena sesungguhnya segala sesuatu yang memancing diri kita untuk berfikir adalah guru. Masalahnya hanya umpan pancingan itu lezat atau pahit.
Mungkin saja saya sekedar bermimpi muluk untuk menghilangkan tabiat ini. Lha wong kenyataanya firman Tuhan saja masih sering kita sela . Apalagi omongan -omongan model warung seperti tulisan ini.
Akhirnya kita ini kayaknya semakin intens berdiskusi atau ndakik mempelajari Quran, tetapi hati makin gundah, jiwa terjun bebas terhenti bermaqam di nafsu amarah. Sebab kita masih suka menjadi jagal atas pemikiran orang lain ataupun ayat.Sehingga pesan makna sesungguhnya tak pernah sampai membuka hati kita.
Tapi sudahlah, ayo belajar jangan hanya berhenti pada ilmu, filosofi, tafsir-tafsir, karya, atau spiritual saja. Tapi belajar hargai manusia. Karena ilmu tanpa ilmuwan tak akan ada harganya. Seni tanpa seniman tak akan berasa. Tafsir tanpa tafsir-wan tak akan bermakna apa-apa. Spiritual tanpa spiritual-wan juga jadi kertas fotokopi tanpa ada suasana kekhusyukannya.
Sebab para wan-wan itulah yang bikin hidup lebih hidup. Tanpa Pak Wan segala sumber ilmu pengetahuan tak bisa kita tangkap dan hadirkan di sini.
Tak lain karena kita belum begitu yakin bahwa Allah lah sesungguhnya yang memberi pengajaran langsung terhadap sang jiwa yang bermukim di setiap ruh manusia. Walaupun begitu banyak ayat yang menjelaskan akan hal itu secara mukhamat.....
Last, Man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu, Ana indadzhoni abdi.. berkenalanlah dengan berbagai manusia secara baik - baik maka engkau akan bertemu Tuhan yang baik. Bukan Tuhan yang suka merengut. Karena Tuhan sesuai persangkaan si hamba...wallahu alam
Wassalam, semoga baik-baik selalu
Dody Ide
Selasa, 07 Oktober 2008
Apa hebatnya bertemu Tuhan ?
Ah...tidak berhakkah si bisu mencicipi perjumpaan dengan Tuhan hanya karena ia tak mampu berucap Allah beserta ragam taraf bahasa pencapaiannya ? entah teologi bahasa Arab, Jawa, Indonesia , Inggris, India dlsb ...
Ah...tidak berhakkah si tuli tenggelam dalam Tuhan hanya karena semenjak lahir ia tak pernah mendengar syahadat secara fasih lisan ?
Apakah hanya karena Tuhan kita adalah tuhan kata - kata ?
Rileks sejenak...
Jangan bawa doktrin apapun...
Jangan bawa reka pemikiran apapun...
Jangan bawa pengalaman apapun...
Pandangi saja manusia yang ada di dekat kita
Amati...
Energi apa yang bisa membuatnya bergerak dan bertingkah polah sedemikian rupa.
Temukan...
Ikuti...
Itulah jalan Tuhan yang sangat nyata
Begitu lurusnya hingga sering ditawar oleh akal yang berbelit dan qolbu yang berbolak - balik
Kalau saya dan anda tak mampu bermaqam memandang, bahwa sebenarnya setiap manusia itu sama persis hanya sebatas daging wayang tak berdaya yang diselubungi oleh Sang Ruh, lalu apa hebatnya bertemu Tuhan di kejadian antah brantah.... ?
Lha wong Iblis saja sejak Adam ada sudah ' face to face " ngobrol dan berbantahan dengan Tuhan..
Iblis pun nggak perlu kusyu beribadah untuk berjumpa dengan Tuhan....
Terus gimana ?
Kalau saya pribadi ummi saja mengikuti jejak Rasulullah...
Maksudnya ?
Ummi ya ummi....hanya mampu mengeja alif ba' ta' kalau di tuntun Allah.
Lalu terus belajar menghargai setiap manusia karena di dalamnya bersemayam Sang Ruh.
Nggak lebih, nggak kurang.
Nggak tahu lah...
La haula walaquwwata ila billah
Wassalam
Dody Ide
Minggu, 28 September 2008
TUA
Usia uzur benar -benar melegakan sekaligus menegangkan...
Pekerjaan - pekerjaan dan segala bentuk amal telah dijalani. Konsep -konsep ide dan kreatifitas telah terlaksana. Pemahaman dan pemikiran -pemikiran telah disebar ke seluruh pelosok jagad.
Saya telah berikhtiar...kata orang tua dengan leganya. Namun di balik itu ia mulai dihinggapi sebuah pertanyaan -pertanyaan yang tak mungkin terelakkan. Kemanakah setelah ini...mungkin sebagian orang telah memiliki persiapan jawaban...tetapi jawaban atas pertanyaan ini membuahkan pertanyaan baru lagi...yakinkah aku dengan jawabanku sendiri....?
Sebuah jawaban yang hanya butuh sebuah keyakinan utuh, jawaban yang tak memerlukan filosofi ilmu pengetahuan. Segala perolehan keringat dan pemahaman yang selama ini diagungkan tak kan mampu menjawab dengan pasti....tak ada garansi...hanya keyakinan yang mampu menembus batasannya.
*
Proses tranformasi menuju asal muasal cahaya membuat seluruh kedirian yang bersifat fisik berangsur mulai melemah. Cahaya itu menarik - narik mundur kembali melewati tahapan - tahapan yang pernah dilaluinya.
Mula -mula seseorang dalam masa ketuaannya kembali merasa masih mempunyai kekuatan dan kejayaan atas segala perolehannya, kemudian mundur lagi menjadikannya ia merasa seseorang yang paling mengerti dan bertanggung jawab dalam segala hal seperti ketika ia dewasa, lalu mundur lagi...ah dia mengalami puber kedua...remaja keriput...nafsu besar tenaga kurang....
Tetapi tak lama kemudian cahaya itu terus menyerap mundur, ia menjadi kekanak-kanakan suka bermain, emosinya meledak -ledak dan menjadikannya suka berteman dengan anak kecil.
Tibalah titik terlemah dalam perjalanan mundur sebuah cahaya ini. Sang manula seperti bayi. Ia tidak sanggup makan sendiri...tak sanggup berjalan sendiri...tak mampu melihat, mendengar, bahkan untuk mengunyah pun tak mampu.
Akal fikiran yang selama ini didewakan tiba -tiba tak berfungsi begitu saja. Ia kembali menjadi tidak tahu. Menjadi tidak tahu dengan melewati jalan yang penuh penderitaan...
Perjalanan cahaya telah menyentuh file -file lamanya namun tak ada kesadaran dan pemaknaan bahwa ini semua sebenarnya adalah sebuah peringatan proses pengembalian menuju wujud asal.
Sang uzur melewati dengan segala ketidakpuasan, ketertekanan, keterombang -ambingan. Keakuannya yang kerdil ingin bertahan dengan segala kebiasaannya. Sang Inti cahaya tak peduli akan hal itu...Ia tetap bersuara lantang....mau tak mau...terpaksa atau tidak...siap atau tidak...mulai sekarang waktunya pulang...ya mulai sekarang...bersiaplah...
Suara itu sebenarnya mengandung kelembutan yang luar biasa bagaikan kelembutan seorang ibu yang ingin tetap menyusui sang anak walaupun bandelnya minta ampun. Suara itu membimbing dengan sangat halus seakan -akan bimbingan itu tak terasa walau kenyataannya dengan tutuntunan itu telah membuat mahluk bernama manusia mampu melewati jutaan keadaan dan pengalaman yang tak tertandingi oleh mahluk yang lain.
Sejalan dengan panggilan itu, keakuan kecil ini tetap bertahan hingga akhirnya membuat si pemilik tersiksa selamanya. ia menjadi cahaya terluar, terkasar dan terkotor yang tak dapat melebur pada inti cahaya.
Ketika seseorang divonis mati, cahaya keakuan kerdil ini masih mempunyai kemelekatan dengan kebiasaan tubuh. Ia ingin berbaju dan berhias, apa daya jasad telah menyatu dengan tanah. Ia ingin makan, apa daya mulut, usus, dan perut telah termakan rayap. Ia ingin meneriakkan sesuatu yang dianggap benar, tetapi mulut dan lidah untuk berkoar telah terkubur. Ia ingin bersetubuh, naasnya perkakas itu telah membusuk. Ia hanya bisa berkelana tak tentu arah dalam kewilayahan yang menyiksa...
Ia tak dapat merasakan surganya inti cahaya...Ia seakan gentayangan ingin mencari jasad - jasad baru baru untuk memuasakan keinginannya. Cahaya terluar itu juga menginginkan jasad baru untuk menjadikannya sebagai media tranformasi penyatuan kembali menuju cahaya inti. Namun apa daya...waktu telah habis. Hanya kelembutan cahaya inti yang mampu menariknya kembali. Itupun bila sang Inti cahaya berkehendak....
Di sisi lain ada beberapa manusia yang melewati proses ketidaktahuan ini dengan kebugaran badan, jiwa yang tenang dan kesadaran terjaga. meraka adalah orang - orang yang pernah merasakan perjalanan ke inti cahaya.
Seusai terpahamkan oleh inti cahaya, hidupnya penuh kemerdekaan dan suka cita. Ia telah menganggap dunia ini benar - benar sebuah mainan persis seperti ketika waktu kecil. Ia tetap bermain namun hanya untuk sebuah keceriaan, untuk sebuah kerukunan dan kebersamaan.
Ia mulai menyentuh dada orang -orang sekitar dengan penjelasan -penjelasan maknawi.
Terkadang persentuhan itu berbenturan dengan para pemikir yang tak pernah tahu akan arti perjalanannya. Kekuatan inti cahaya tak berlampu ini begitu menggetarkan kualitas -kualitas cahaya di bawahnya. Ada yang langsung tertarik demikian dahsyat terseret mengikutinya. Ada yang blingsatan menabrak -nabrak menolaknya.
Ia hanya sekedar mengajak, tak lebih. Sanjungan dan penolakan tak mempengaruhi kesaksiannya tentang sebuah perjalanan ke inti cahaya.
Hari - hari di sisa hidupnya dilewati dengan berbagai macam pelepasan -pelepasan terhadap keterikatan pergumulan dunia. Orang - orang mendebatnya, ia mempersilahkan.Orang melempari mukanya dengan kotoran, ia memaafkannya.Orang ingin mematikannya, ia malah menghidupinya.
Semua berubah menjadi de eksistensi diri. Penggerusan keakuan kecil untuk dilebur kembali menjadi wujud non materi. Filosofi saya berfikir maka saya ada telah berubah menjadi saya tidak berfikir maka saya tak ada sebab yang ada hanyalah Inti cahaya. Ia menjadi tidak tahu dengan pengetahuan sesungguhnya.
Ia telah fana ketika jasadnya masih bergerak. Ia pun tak pernah lagi merasakan penderitaan...karena ia tak ada walaupun ada...
La ilaha ilallah…….
Wassalam, semoga bermanfaat
Dody Ide
Kamis, 25 September 2008
Puasa dan Sarjana Kuliner
Dalam hidup ini segala keilmuan entah ilmu lahir ataupun batin, eksak atau non eksak, ilmu logis maupun spiritual akhirnya hanya mengerucut pada dua pola kesarjanaan.
Pertama, yang diharapkan oleh Allah adalah sarjana kekhalifahan. Kedua, segala sesuatu kepakaran yang ujungnya hanya sekedar pemenuhan kebutuhan perut alias sarjana kuliner.
Kedua pola kesarjanaan ini terjadi karena ada tawar menawar antara nalar dan niat. Sarjana kuliner diwakili oleh nalar. Sarjana kekhalifahan diwakili oleh niat.
Nalar ada di kepala, niat ada di dada. Nalar adalah pencarian. Niat adalah ketetapan hati. Proses tawar menawar ini sangat ribut sekali melebihi keributan lantai bursa ataupun lelang pasar ikan.
Nalar tanpa niat bagaikan orang yang jago berpetualang tapi tak punya rumah berteduh. Selalu bingung mau dikemanakan simpanan nalar yang begitu banyak. Begitu juga niat tanpa dijalankan dengan nalar akan membuat seseorang terlihat ganteng tapi pakai kacamata kuda. Sedikit lucu dan suka menabrak orang lain
Intinya kedua hal ini sebenarnya sederhana, siapa yang harus unggul mengendalikan tanpa menafikan salah satu unsur. Bila yang unggul niat, lapanglah dada kita. Bila yang unggul nalar, ya siap –siap saja ketombean dan merasakan kepala yang berkabut. Gamang sampai akhir hayat.
*
Kalau diri kita tidak memiliki kemampuan identifikasi perbedaan antara nalar dengan niat, bisa cilakak tigabelas…Karena di dalamnya banyak sekali syubhat – syubhat ruhani yang sangat halus dan samar. Kayaknya niat, padahal nalar. Dan sebaliknya.
Contoh kecil dalam urusan dakwah, bisa jadi sesuatu yang semula sifatnya niat tulus merasa berkewajiban, tiba - tiba secara halus membuai berubah menjadi nalar merasa berhak. Dulunya hanya berkewajiban menyampaikan yang haq, sekarang merasa berhak mendapat imbalan atas hukum wajib yang telah ditularkan.
Hal ini tak lain karena orang yang sudah mendapat enlight pencerahan pun belum tentu bisa teguh memegang amanah kekhalifahan. Sebab setiap pencerahan juga akan dibarengi terbukanya syaraf nalar yang luar biasa.
Padahal semua itu masih wilayah zhon atawa persangkaan. Dan postulat persangkaan ini dilembagakan secara mendasar menjadi yang kita sebut nalar.
Di wilayah ini Allah menuruti seratus persen manusia. Aku sesuai persangkaan hambaKU. Ketika seseorang beriman dan bermain di wilayah ini, maka yang berlaku adalah iradah atau kehendak dan keinginan-keinginan manusia. Bahasa modernnya Law Of Attraction.
Dan apapun pasti terpenuhi wong bumi ini seratus persen untuk manusia. Pek-pek en kabeh Rek ! aku gak arep….tapi lek koen gak arep karo Aku yo goleko dunyo liyo. Allah begitu dahsyat menantang diri kita.
Ambil semua…tapi kalau kamu tak mau kembali kepadaKU Sang Pemilik, cari jagad lain selain milikKU. Waduh ! nyari kemana ya kira –kira …?
Sebenarnya untuk mengetahui parameter mana dominasi nalar mana dominasi niat itu mudah. Namun saking mudahnya, parameter itu akhirnya juga gampang dibelokkan karena dahsyatnya nalar.
Bila akhirnya segala sesuatu itu mengerucut pada kemakmuran diri sendiri atau paling besar kelompok, maka itu adalah syahwat nalar kuliner. Kalau sesuatu itu mengarah kayak lagu hymne guru alias pahlawan tanpa tanda jasa, maka itu adalah keridhaan kekhalifahan.
Untuk mempertajam deteksi dua hal ini, diperluka metode puasa. Metode dimana orang dilatih untuk tidak menuruti kepentingan diri dalam jangka waktu tertentu. Sampai ultimate goalnya seseorang menjadi abdullah total. Dalam hidupnya sampai akhir hayat seratus persen nggak ada ambisi pribadi.
Ketika orang lapar biasanya angan-angannya akan berkurang.Dari angan-angan ingin menguasai negara, majelis, ribuan hektar tanah, bisnis dan sejenisnya tiba –tiba luruh mengecil hanya ingin menguasai meja makan saat buka puasa.
Tapi ini juga tidak dibenarkan karena sebenarnya inti puasa adalah menghilangkan angan-angan dan kehendak kepentingan pribadi guna mengasah jiwa kekhalifahan sampai pada tingkat paling ideal, Rasulullah.
Benar kata Rasul bahwa setan menguasai jalan darah dan hanya bisa ditundukkan dengan puasa. Permainan darah inilah pada puncaknya akan memunculkan pengulangan tragedi Qabil dan Habil. Sebuah permainan nalar dan niat yang disindirkan Allah dalam Quran melalui cerita persembahan makanan.
Yup, kata kuncinya memang pengendalian makanan dan darah. Sebuah komposisi yang menentukan ke arah mana perjalanan seorang anak manusia.
Sedihnya banyak manusia menyerah terhenti menganggap bahwa dirinya hanyalah sebatas mahluk biologi layaknya seperti sapi, ayam kecoak dan kawan-kawan yang menjadikan makanan sebagai faktor ahad.
Dan pembenarannya bukan hal main –main karena rabaan iptek dan tafsir kitab suci dilibatkan untuk mendukung urusan kuliner ini.
Padahal moment puasa itu sangat jelas, untuk meraih hari kemenangan. Analogi kebalikannya berarti orang yang malas berpuasa alias suka makan, pasti hidupnya sering kalah. Entah kalah dari segi persoalan hidup sehari-hari sampai kalah tak punya daya tawar terhadapan peradaban yang sangat membius ini
***
Nasihat Cina kuno mengajarkan, kalau lagi bisnis, ajak makan dulu partnermu…pasti dia akan tunduk dengan kekuatan argumen lobimu.
Misterinya sih mudah saja, ketika perut kenyang, semua energi baik yang sifatnya ghaib sampai yag wujud seperti tekanan darah beserta syarafnya mengalir terfokus ke perut. Sehingga jatah oksigen yang otak akan berkurang. Ketika itu dengan mudah lawan bicara akan memasukkan afirmasi –afirmasi ke dalam otaknya yang lagi nglamun.
Sudah jamak bahwa kebutuhan kemakmuran perut ini akan merubah cara pandang seseorang. Misalnya orang yang hidup di Amerika pasti akan membenarkan segala sesuatu konsep kapitalis. Sebab tanpa memakai nalar itu itu, orang Amerika akan mengalami blank spot cara mencari sandang pangan papan.
Satu lagi contoh ekstrim ya kayak koruptor. Dalam jagad otaknya hanya ada satu kesimpulan paten yang menyatakan, kalau nggak korupsi nggak bakalan kaya. Segala daya nalar dan kelakuannya pun mengerucut pada asumsi dasar itu. Padahal ternyata di luar sana buanyaak sekali orang yang bekerja secara halal dan bisa sangat kaya.
Kalau orang pongah dalam seminar –seminar finansial biasanya selalu mengatakan, sekarang karena belum melek finansial, patern otak anda pasti masih “ besok makan apa. Tapi setelah ikut seminar ini, pasti akan berubah patern menjadi besok makan dimana sampai tahap besok makan siapa. Namuni intinya semua itu tetap saja yaitu nalar yang kekurangan. Nalarnya sarjana kuliner.
Sedangkan dalam konsep puasa kita ditawari kemuliaan sarjana kekhalifahan. Nalar legowo, nalar keluasan, nalar serba cukup. Dalam puasa pada titik puncaknya kita diajari “ Besok memberi makan siapa “ .
Puasa ditutup dengan kekhalifahan ajaran zakat. Ajaran berbagi karena telah mencapai kesadaran bahwa kita ini hidup lebih dari cukup atas segala Karunia Allah. Apapun dan bagaimanapun keadaan kita.
Inilah sebuah niat peneguhan syukur yang merontokkan nalar kekurangan.
**
Seorang sarjana kekhalifahan adalah karyawan Allah. Maksudnya ia hanyalah seorang yang berkarya karena ingin bersyukur kepada Allah atas kelengkapan karunia sempurna yang telah diberikan. Tak peduli pada saat berkarya ia tercemoohkan secara mata manusia
Ia bagaikan nabi kedua, Nuh yang membangun “ kapal gila “ setelah nabi pertama, Adam yang sempurna mempelajari kamus iqra dunia. Belajar lalu berkarya !
Orang – orang semacam inilah yang membawa perubahan dunia. Contoh termudah adalah revolusi industri Perancis dan revolusi digital Bill Gates atau pun larry serge nya Google. James Watt, thomas A Edisson , Serge dan Bill gates bukanlah orang menara gading pemikiran yang hanya berkutat pada kemulukan teori dan dunia seminar.
Bahkan ada guyonan rumah tangga Einstein. Suatu saat istrinya jengkel besar karena Einstein tiap hari siang malam tanpa henti bikin percobaan yang nggak jelas di laboratoriumnya. Sudah…sudah pa…mbok istirahat dulu…Wis, pokoknya papa harus istirahat. Santai…! hari ini nggak boleh kerja ! awas kalau tetap kerja nanti malam nggak tak kasih jatah !
“ Baiklah isitriku, saya akan refresing deh…”. Sang istri rupanya senang juga omongannya dituruti. Tak lama kemudia Einstein berkemas sambil membawa beberapa perbekalan.
“ Istriku, aku refreshing ke rumah teman dulu ya cari suasana lain…” iya pa…eit…tapi tunggu ! kok itu bawa perkakas laboratorium ?
“ Iya ma, siapa tahu nanti di laboratorium teman ada hal baru yang tak dapat kutemukan di sini….
Istri “ $)(^$^#$#>>>%%>>>…”
Hidup keseharian mereka adalah bengkel, eksperimen dan kerja. Mereka adalah orang – orang yang Ummi ( tak peduli) terhadap derajat formal ilmu pengetahuan universitas. Karena bagi mereka kampus universitas adalah dimana bumi dipijak, disitulah ia harus berkarya dan beramal secara universal yang bisa dinikmati sebanyak mungkin manusia.
Dan sejarah kepahitan mereka sama, ketika belum jadi apa-apa, mereka dianggap gila, ideot dan nggak mutu.
Mereka – mereka adalah prototype model kesarjanaan kekhalifahan Islam walaupun secara teologi dan doktrin, kita tak pernah tahu apa sesungguhnya agama mereka.
Bisa dikatakan ilmu yang kelihatan urusan dunia seperti matematika, fisika, akutansi, mechanical dan sejenisnya malah lebih agamis bila pelaku mendharma bhaktikan seluruh peluh keringatnya untuk kemakmuran Islam.
Sebaliknya ilmu yang kelihatan sangat agamis, religius dan pengalaman spiritual sekalipun bisa ter downgrade kan hanya menjadi urusan batas dunia saja bila pelaku akhirnya hanya terbelit urusan pamrih dunia beserta imbalannya.
Benar juga ada pepatah yang mengatakan: “witing trisno jalaran soko kuli…ner ”
Mengerjakan sesuatu dengan giat hanya karena ada imbalan kemakmuran perut…….
Kalau memang ini tujuan kita, ya nggak perlu puasa. Toh jauh –jauh hari diam-diam kita sudah berhasrat mentahbiskan diri menjadi sarjana kuliner.
Bolehlah cita –cita bermacam – macam. Entah itu jadi dokter, ilmuwan, pengacara, musisi, tehnokrat bahkan rohaniawan. Tapi yang penting tujuan utama harus makmur perut dan beken…
Tujuan pengabdian ? ahh…masih adakah …?
Hmmm… mokel ruhani ini kok lebih nikmat dan bergengsi ya….
Wassalam, semoga bermanfaat
Dody Ide
Sabtu, 20 September 2008
7 Langit & Bumi ( bagian 5 )
DEWASA
Semua manusia dewasa tiba -tiba dihinggapi ide ini...
Eksisitensi, aktualisasi, cogito ergo sum...saya berpikir maka saya ada. Tapi sejak kapan seorang manusia bisa berpikir ? Sejak bayi, anak -anak, remaja, dewasa, atau manula ? Dan apapula yang dimaksud dengan berfikir ? Mulai kapan manusia merasa mulai ada ? Sedetik yang lalu ? Kemarin ? Minggu lalu ? Bulan lalu ? Tahun lalu ? Abad lalu ..?
Apa yang dimaksud dengan eksistensi keberadaannya ? Daging kah ? Otak kah ? Perasaannya kah ? Pertanyaan -pertanyaan itu benar - benar tak pernah berujung pangkal...
**
Sebagian dari cahaya itu akhirnya menyeruak keluar merubah wujud menjadi berbagai kilau materi. Keluar melalui perantara tangan, mulut dan kaki menjadi berbagai bentuk kreasi. Banyak orang menyebutnya ilmu pengetahuan padahal ini hanyalah sebuah perpindahan ruang dan perlambanan gerak sebuah cahaya. Sebab di balik cahaya itu seakan ada yang selalu bersuara dengan sangat lantang …
" Akulah satu-satunya yang berwujud dan bisa merubah ke segala wujud, yang ada hanyalah Aku, Aku lah yang tahu '.
Lamat - lamat semua orang mendengar suara di balik cahaya namun sebagian besar terhenti pada aku yang paling lambat geraknya yaitu wujud materi, aku terkecil. Sebuah keakuan paling lambat dari sebuah unsur cahaya akan membuat gerak hidup ikut melambat pula .
Bila wujud keakuan terlambat ini selalu dipertahankan, terjadilah apa yang dinamakan stress karena sifat cahaya dalam diri yang masih bergerak sedemikian cepatnya ingin menarik -narik bagian dirinya di luar yang berbentuk materi yang lambat.
Persesuaian gerak antara cahaya tercepat dan terlambat akhirnya mengguncang -guncang seluruh tubuh. Otot dan syaraf menegang pada bagian kening, tengkuk, kram dada, sendi kaku, perut kejang, mata melotot, telapak tangan dan berbagai daerah lainnya.
Akhirnya ketegangan -ketegangan yang tak wajar itu membekas, orang menyebutnya sakit. Entah itu berjenis sakit fisik, mental atau spiritual, sama saja tetap nggak enak.
Pertentangan tarik menarik terjadi beberapa waktu lamanya sampai tubuh hancur tak kuat menahan. Kita menganggap sebuah kematian badan.
Dalam proses tarik -menarik itu terjadi ledakan yang menimbulkan percikan ilmu sejati. Ilmu yang menjadikan aman dan nyamannya sang tubuh, ilmu yang membuat proses tranformasi cahaya itu berjalan dengan tenang, ilmu yang menghilangkan sekat -sekat luar dalam, ilmu yang meleburkan cahaya luar dengan cahaya dalam, ilmu pembebasan, ilmu pengetahuan tentang makna cahaya, ilmu yang bisa menaungi segala wujud, ilmu asal usul. Kita menyebutnya ilmu agama.
Namun pada perjalanannya, percikan ilmu sejati telah berurai bercampur baur dan condong ke arah ilmu pengetahuan materi sehingga terkesan ilmu ini menjadi terkotak -kotak membentuk wadah masing- masing sesuai ciri sebuah hukum materi.
Sekat -sekat, sekte -sekte telah mempersempit ruang geraknya sehingga setiap pengikutnya malah tidak menemukan kecepatan dan kebebasan gerak cahaya.
Ilmu sejati yang hakikat tugas awalnya menggamblangkan cara merangkum hukum materi yang serba lambat terbatas untuk dikembalikan kepada fitrah cahaya yang serba cepat tak terbatas, kini berbalik menjadi terseret - seret memenuhi kebutuhan ilmu materi dengan segala pengkotakannya.
Akhirnya banyak orang yang beragama tidak menemukan kebahagiaan karena agama selalu dimaknakan dengan hukum keselamatan dan kenyamanan materi, baik materi berupa benda maupun materi yang telah menyublim berubah wujud menjadi pemikiran dan pemahaman - pemahaman.
Cahaya jidat, dada dan keturunan telah berpendar keluar demikian dahsyatnya membentuk silaunya peradaban dan alam - alam yang mencengangkan. Bangunan modern nan megah, filsafat beserta segala cabang akarnya, kekuatan budi dan keajaiban dunia supranatural, semua adalah hasil dari olahannya.
Semua manusia terperangah terkesima dengan kehebatannya. Mereka beranggapan bahwa... inilah penantian... inilah perhentian... inilah puncak kejayaan. Namun banyak manusia tak sadar bahwa di sisi lain dalam tubuh manusia ada sebuah initi cahaya yang selalu memangil - manggil...kembalilah...kembalilah...di sinilah sesungguhnya engkau kembali...cepat atau lambat....terpaksa atau ikhlas...
Inti cahaya itu tak terpengaruh keadaan apapun. Ia bagaikan terang tanpa lampu. Bersinar tanpa sebab. Wilayah yang terlepas dari hukum ruang waktu dan sebab akibat. Tiada apapun namun ada.
Seiring perjalanan manusia, Sang Inti Cahaya makin terasa terdengar bersuara lantang mengajak kembali. Suara itu tanpa perantara mulut, tanpa perantara getaran udara dan frekwensi sehingga juga hanya bisa didengar tanpa perantara apa -apa, tanpa telinga, tanpa kepemilikan apa -apa.
Cahaya - cahaya yang berada di jidat, dada, dan keturunan pun tak mampu mendengarkan karena mereka semua telah membawa bayangan materi yang penuh eksistensi keakuan kerdil. Bila ketiga cahaya ini memaksakan mendengar , ia hanya akan terbakar oleh bayangannya sendiri. Ketiganya bagaikan setan yang mencuri berita dari langit
Ketika seorang mengalami keadaan tiada namun ada, ia akan terpahamkan bahwa saat itu juga ia harus kembali atau ia akan tahu kapan harus kembali, tahun dan bulan keberapa, pada hari apa, jam berapa bahkan milisecond keberapa. Ia telah mengetahui arti kematian dan kapan harus meninggalkan jasadnya.
Rahasia telah terungkap. Ia paham bahwa yang dianggap kehidupan selama ini hanyalah sebuah permainan cahaya terkasar dan terlambat. Fatamorgana dunia ini benar -benar fatamorgana sesungguhnya, bukan fatamorgana yang berasal dari filosofi anggapan fikiran dan rangkaian pengalaman. fatamorgana is veryy very real...
Sosoknya telah tumbuh menaungi seluruh kehidupan alam ini. Ia bagaikan inti cahaya itu sendiri, tak terpengaruh keadaan apapun. Dirawat dan ditemaninya seluruh umat manusia tanpa pilih kasih karena ia paham bahwa keruwetan, kemarahan, kesumpekan dan kelambatan segala aktifitas manusia di dunia akibat dari ketidak mampuan mengembalikan segala sesuatu kepada asal kejadian.
Ia melakukan itu agar menjadi ayat pembeda yang jelas antara yang tahu dan tidak tahu.
Hari -harinya penuh kerinduan pulang kembali ke asal mula kejadian. Allah.
Wassalam
DOdy Ide
Rabu, 10 September 2008
7 Langit & Bumi ( bagian 4 )
REMAJA
Aku sudah besar...jangan kasih nasehat terus....aku punya jalan hidup...aku bisa menjaga diri...kenapa orang tua tak bisa memahamiku...Semua yang pernah dan akan remaja pasti mengalami suasana seperti itu.
Cahaya dalam dirinya yang semula hanya bersemayam tenang tiba-tiba menunjukkan sifat aslinya yang selalu bergerak cepat. Ia tak betahingin bergerak keluar menerobos sekat -sekat daging. Cahaya itu menggedor-gedor jantung, turun ke bawah berputar - putar pada alatketurunan, naik lagi ke jidat, mengulangi semua gerakan terus menerus sampai beberapa waktu.
Keliaran cahaya akan makin bertambah bila panca indera tak membatasi rangsangan dari luar dirinya. Sang remaja merasa mengalami ilham akansesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya. Tempat - tempat yang di tabrak cahaya telah menimbulkan reaksi kimia. Tak sadar anak manusiaini mampu menangkap segala kesan tanpa melewati tahap proses belajar yang menyulitkan.
Ia tiba-tiba begitu paham akan rasa - rasa di daerah itu. Ia hanya bisa menyimpulkan satu kata, nikmat ! . Tiap hari ia mencari -cari rasaitu tak peduli ruang dan waktu. Apapun resikonya. Rasa di dada itu..Ah...jatuh cinta...cinta pertama selalu berkesan. Siapa yang bisamelupakan ? Rasa di bawah itu...Mimpi basah... ? ada apa gerangan dengan peralatanku yang satu ini ?
Rasa di jidat itu...Daya kreatifitas, outframe, spontanitas, ide -ide liar ngocol di luar batas tatakrama seakan menjadi keseharian yangtak terhindarkan...wahai cahaya yang di jidat, di dada, dan di perkakasku...kenapa engkau membuat segala gerak tubuhku selalu mengarah pada sensasi - sensasi baru yang tak pernah kutemui dan kupahami ? apa maksudmu ?
Pertanyaan alam bawah sadar remaja ini hanya bisa terjawab oleh putaran waktu.
Kebuntuan jawaban ini bila tidak tertangani dengan baik akan menimbulkan resistensi yang luar biasa sehingga keluarlah kata -kata...orang tuaku tak peduli...aku bisa menentukan hidup sendiri...kenapa aku dilarang terus...dan sejenisnya.
Siapa orang tua yang tidak terbakar telinganya mendengar ucapan - ucapan ini ? Gimana ya jeng..wong saya ini nggak kurang - kurang nasehati anak eehh..kok malah tambah berani nglawan...ya udah tak pingit aja...Papa kurang apa sama kamu...segala kebutuhanmu papa penuhi..segala waktu papa dikorbankan demi masa depanmu...
Terkadang saking emosi, marahnya jadi terbalik....sekolah ya sekolah tapi jangan lupa main game yang bener ! ( padahal maksudnya main game ya main game tapi jangan lupa sekolah yang bener ). Tak kalah garangnya para orang tua menyikapi perubahan dalam diri remaja ini.
Lalu apa yang salah ? ternyata sang anak lagi mengalami masalah rasa yang sifatnya tak teratur non linear sedangkan orang tua menasehati dengan menggunakan logika bersifat linear yang selalu menuntut keteraturan dan bertumpu pada filosofi mau jadi apa alias step by step kehidupan karier pribadi. Jadinya bayi tokek bayi tabung...nggak konek nggak nyambung....
Berempati, mendengarkan sampai tuntas, dan membuka diri apa adanya adalah cara termudah bagi orang tua untuk mengontrol keliaran cahaya dalam diri remaja.
Cara lain menundukkan keliaran cahaya ini adalah mengalihkan aktifitas panca indera pada olah gerak tubuh sehingga pergerakan cahaya - cahaya dalam tubuh tak hanya terfokus pada tiga tempat melainkan berpendar keseluruh tubuh. Biasa disebut olah raga. Namun cara ini tidak sempurna tanpa ada penyangga yang lebih utama.
Cara ini akan membuat seseorang kehilangan pos - pos kembalinya cahaya sehingga ke depannya ia hanya sanggup mengandalkan kekuatan otot.
Padahal kekuatan otot makin lama makin menurun sedang kekuatan cahaya makin lama makin menaik.
Pos - pos cahaya itu kelak sangat berguna bila telah tiba waktunya.Pos cahaya jidat bila telah dibangun dan di bersihkan akan menimbulkan bentuk kreatifitas yang sangat berguna bagi kehidupan manusia . Pos itu akan mewujudkan pada bentuk -bentuk materi pembantu perjalanan perkakas tubuh. Jembatan, mobil, rumah, gergaji, sepatu adalah salah satu bentuk perwujudannya.
Pos cahaya dada akan memancarkan segala sifat keindahan, kepedulian, kebijakan dan kedalaman makna. Karya seni, ajaran -ajaran kebaikan dan keindahan budi pekerti adalah salah satu aktifitas yang di gerakkan cahaya yang bernaung di pos ini.
Pos cahaya sekitar pusar dan saudaranya akan menggerakkan kemampuan menunjuk, mengarahkan, merawat, mengumpulkan dan menentukan. Presiden dan manajer biasanya didominasi pergerakan cahaya di pos ini.
Selain olahraga, jalan lain yang sudah teruji berabad -abad dengan berpuasa atau meditasi. Walaupun sekilas berbeda namun Inti kedua cara ini sama yaitu menahan diri. Mana yang cocok silahkan dipilih. Metode ini memampatkan cahaya pada pos masing - masing dengan cara mengurangi pengaruh dari luar dirinya dalam beberapa waktu.
Dengan terbatasinya pengaruh luar, cahaya itu akan diam dan menyebar merata dengan gerakan terbatas pada tiap - tiap pos.
Dalam proses pemampatan itu, cahaya berakumulasi secara teratur mengembangkan intensitas dan kualitasnya.
Bila remaja berhasil menjalani tehnik ini dengan baik sampai kadar masanya terlewati, di kehidupan yang akan datang yaitu masa dewasa ia akan menemukan sebuah suasana surga dunia. Ia bisa ber apa saja dengan cara memanajemen ketiga pos itu untuk kebutuhan meneruskan arti perjalanan hidup di dunia.
Kondisi remaja bagaikan air yang meluap penuh sampai ke bibir gelas. Bila orang tua tak mampu menaruh inti permata ke dasar gelas dengan kehati - hatian maka air akan mudah muncrat tak beraturan ke mana -mana, gelas bisa terguling atau pecah dan akhirnya permata tak bisa memendarkan kilau cahaya yang semestinya.
Permata itu telah kehilangan tempat sedangkan kemilaunya masih terbayang menghantui benak orang tua dalam waktu yang tidak pendek.
Wassalam. Dody Ide
Minggu, 31 Agustus 2008
Puasa, milis dzikrullah dan Samudera dzikrullah
Ada yang bilang puasa itu singkatan mengepaskan rasa. Orang Jawa bilang ngePosno roso. Kalau ada kata pas atau pos pasti ada kesesuaian dan alamat akhir. Tentu saja pas dan pos akhir kita adalah konektifitas antara mahluk dan Khalik.
Dua hal ini bagai sisi mata uang yang tak bisa dipisah tetapi jarang bisa dilihat secara bebarengan. Dan naif, akhirnya dianggap terpisah.
Orang yang pas, hatinya pasti sudah pos. Orang yang hatinya sudah ngepos pasti hidupnya akan selalu pas.
Sebenarnya konsep pas dan pos adalah konsep habluminannas dan hablumninallah. Pas itu habluminannas, pos adalah habluminallah.
Orang yang hatinya sudah pos di rumah Allah, pasti hidupnya tak kan pernah bentrok dengan manusia walaupun manusia lain membentrokinya. Orang yang pas lelakunya dengan orang lain, ia akan mudah mengeposkan hati kepada Allah.
Bila saja pas dan pos ini belum sejalan, dapat dipastikan semua anggapan tentang nilai luhur spiritual hanyalah masih angan yang seakan nyata. Walaupun seakan-akan haqul yakin dianggap sebagai pengalaman bernilai tinggi.
Kenapa ? kunci jawaban termudah adalah logika bidang kedokteran. Titik pusat semua itu adalah konsep kelenjar pineal, zat melatonin dan endorphin. Bila kelenjar pineal ini tersentuh secara mutlak dengan entah berbagai cara, pasti seseorang akan merasakan kenikmatan tak terbatas karena melimpahnya endorphin..
Nah, dari sini kalau ujung-ujungnya ke arah itu, ngapain capek-capek melakukan proses spiritual ? mending langsung ke dokter minta suntik semacam valium atau modecate dan sejenisnya. Toh hasil akhir sama.
Saya sendiri pernah ngobrol dengan bekas pecandu berat yang kemudian tobat berat melalui proses dzikrullah. Secara terus terang ia ngomong, bahwa pengalaman yang didapat sama. Ia pernah di wilayah tak terbatas. Indah tiada halangan tiada apa-apa. Lalu tinggal kearah mana kesadaran itu digerakkan. Jadi si kesadaran aku itu tetap tahu dan punya kehendak ingin kemana.
Lhadalah...lha kok sama ? ups, jangan khawatir, tetap ada beda. Kalau kita paham akan konsep puasa, disinilah rentang perbedaan. Konsep rentang haq dan bathil.
Puasa itu melatih seseorang menguatkan diri kedalam, meretas jalan la haula walaquwwata ila billah....
Puasa adalah metode mencari kebahagiaan tanpa menggantungkan dunia luar. Puasa menyuruh manusia mengurangi ketergantungan dunia luar dan melihat ke dalam diri atas anugerah yang luar biasa.
Tak lain karena penciptaan manusia lengkap adanya. Sempurna bin kumplit. Apa yang ada di jagad luar makrokosmos sebenarnya sudah ada di dalam diri manusia. Perbedaannya hanya masalah besaran materi. Tetapi sudut hirarki keilmuan dan pencerapan fungsinya sama saja.
Sedangkan seperti narkoba, seseorang akan sungguh-sungguh tergantung mencari kepuasan dari luar diri. Semakin instan kepuasan itu didapat, semakin tergantung pada dunia luar, maka semakin besar kerusakan akan sesuatu. Atau yang biasa kita sebut dosa.
Coba kita lihat, sesuatu yang sangat nikmat secara materi saja dan bersifat instan, pasti terkategorikan dosa besar alias haram. Misalnya, babi. Miiss pigy ini konon kelezatan dagingnya tak ada yang menandingi. Zina, pasti paling enak karena tak perlu ada urusan tanggung jawab sosial. Korupsi alias nyolong ya sama saja. Semua itu sebuah kenikmatan tanpa ada ilmu kekhalifahan. Semua bersifat merusak.
Jadi narkoba itu bukan sekedar sintetis kimiawi adiktif, tetapi sebuah sifat yang sangat tergantung ke dunia luar. Padahal entah itu mulai dari sabu sampai kandungan emas di planet mars semua yang dicari hanyalah benda mati. Berhala. Bahkan buku –buku ataupun tulisan ini bisa jadi berhala narkoba bagi yang ketagihan membacanya.
Tapi yang lebih mafia dan high class model narkobanya adalah mencuri selendang Allah . Apa itu bu …? Kemuliaan anak – anak…catat ya anak-anak…K-E-M-U-L-I-A-A-N. Ya bu guru… Inilah narkoba terhebat dan bejibun orang yang rontok menghadapinya. Narkoba ini sangat halus kualitasnya dan meminta perhatian dunia luar dengan cara yang lebih eksekutif dan terdidik.
Banyak orang yang najis melakukan hal - hal haram yang tertera secara jelas dalam kitab suci tetapi tidak bisa melewati larangan yang samar di dalamnya. Yaitu tidak betah untuk tidak dianggap mulia. Sebab larangan ini lebih ke arah konsep bathin dan langsung mengarah pada pasal-pasal kemusyrikan.
Nggak heran nabi paling takut bila umatnya mengalami syirik kecil ini alias riya. Karena seberapa hebat bangunan laku spiritual akan nol dan ternetralisir oleh sebiji sawi riya’. Masalahnya karena hanya sebesar biji sawi, ya banyak orang tak sadar dan mau mengakuinya.
Biasanya rasa kemuliaan ini merasuki seseorang yang ingin dikenang, menjadi tokoh, masuk sejarah dan sebagainya. Entah melalui karyanya, tulisannya, foto-fotonya dan berbagai jenis lain. Walaupun sih tidak semua begitu.
Sehingga secara tak sadar ia membelokkan kesadaran manusia dari pandangan Allah menjadi memandang dia alias secara malu –malu minta dikultuskan. Tak peduli itu setingkat kultus wiraswasta partikelir kecil-kecilan atau sampai tahap negara.
Intinya ia ingin menjadi center point. Dan ini bisa menjangkiti siapa saja. Entah itu bintang panggung sampai guru spiritual sekalipun. Apalagi model orang seperti saya….hiks,
**
Puasa adalah ilmu kesempurnaan mengenal mahluk hayati yang bernama manusia.Yah, puasa mencari sesuatu yang hidup, Al Hayyu. Itu semua ada dalam diri manusia. Tak akan di temukan di dunia luar walaupun suatu saat ada kendaraan canggih yang bisa mengantarkan kita bertamasya antar galaksi atau menyambangi pusaran blackhole.
Dan sesungguhnya di dalam sholat yang benar adalah konsep puasa. Seluruh gerak tubuh, ucapan dan fikiran dipuasakan, direhat. Sang Aku hanya boleh berbuka dan berlebaran di dalam Allah. Inilah kenapa puasa adalah satu - satunya ibadah rahasia. Karena hanya kita dan Allah yang tahu.
Kuncinya semua itu, puasa menjadi kendaraan mencari kebahagiaan dalam diri. Kebalikannya, orang yang mengumbar nafsu adalah orang yang ngotot mencari kebahagiaan di luar diri.
Kalau saja kita tetap ngotot mengandalkan kekuatan luar diri dalam berpuasa, wah pasti kita akan diombang-ambing nggak karu-karuan. Bayangkan iklan di TV. Yang sakit mag harus sedia obat mag, yang lemes harus sahur isotonik.
Yang punggung nggak kuat terawih harus sedia susu tulang. Yang mukenanya sering kepakai harus beli shampoo dan pelembut. Belum lagi obat kumur biar ketemu bos nggak risih. Dan banyak lagi produk yang harus kita beli saat menyambut puasa.
Di bulan puasa kita malah konsumtif. Padahal nabi ketika puasa malah mengandalkan dua biji kurma saja. Akhirnya nggak salah kalau orang kapitalis menyindir orang beragama dengan ketusnya : “ Kamu itu bisanya bilang alhamdulillah dan bahagia kalau menerima uang dan menikmati produk kami toh ! Makanya dahulukan kami ! sisanya baru deh masuk kotak amal !
Maka jelas ayat Quran bahwa Allah tak merubah nasib suatu kaum selain kaum itu mau merubah diri sendiri. Yang di maksud sama sekali jauh dari yang dinamakan perubahan kemakmuran materi dalam pandangan umum, melainkan berubahnya kualitas dalam diri manusia karena telah mengetahui Yang Maha Hidup.
Mengapa demikian mbah…? Karena perubahan kemakmuran materi adalah proses lumrah evolusi sunatullah. Allah telah menggilirkan kejayaan suatu kaum secara simultan bergantian tanpa bisa ditawar siapapun juga ( Ali Imron : 140 ).
Banyak orang bertambah melimpah materi tetapi tidak bertambah lapang dada. Tapi lebih bertambah sibuk dan khawatir itu sangat jelas. Jadi ya tak ada yang berubah dalam kualitas hidupnya selain besaran volume materi. Jelasnya, kualitas unsur hidupnya menurun, tetapi kualitas unsur mati benda materinya memang meningkat.
Seperti yang pernah dikeluhkan Mas Niel ( salah satu anggota milis ini ), Di wilayah kerja beliau dipenuhi dengan orang yang sholatnya jangkep, rata – rata haji pula. Tapi, naudzubillah, kerjaannya nggunduli hutan hampir seluruh Indonesia.
Perumahannya mewah –mewah tapi masyarakat adat sekitar dan fauna tak terurus. Sampai –sampai Mas Niel pengen nggak mau sholat lagi melihat kontrasnya perilaku orang sholat.
Seakan sudah ada hegemoni pemikiran masal beserta pembenarannya bahwa waktu sholat ya sholat, waktu nyolong ya nyolong. Nggak ada masalah kok….
Sempat miris juga melihat rejeki manusia Indonesia di makan habis hanya oleh beberapa orang. Seperti kemarin saya dapat majalah bulanan luthier ( pembuat gitar ) dari Amrik. Begitu membuka halaman awal, wow…Malaysian blackwood dengan nama latin diospyros ebonasea atau orang sering menyebut kayu eboni Kalimantan. Harganya ? 2 lembar ukuran -+ 20 cm x 56 cm dengan ketebalan hanya 4 milimeter dijual seharga $ 336….!!!
Hmmm andai saja hutan kita diolah dengan benar dan amanah, tentu masyarakat Kalimantan sangat makmur...
Saya juga pernah njawab ke Cak Kariyan, ya ini lho cak namanya sin loundy atawa pencucian dosa, bukan sekedar money loundry.
Kalau sin loundy itu misalnya saya dagang kayu spanyol ( separuh nyolong ) senilai satu triliun, lima ratus M buat deposito tujuh turunan, 500jt buat usaha mini market biar kelihatan jadi tokoh sederhana, yang semilyar buat naikkan haji saudara dekat dan orang sekampung, yang sembilan puluh sembilan M buat bikin yayasan sosial dengan cabang seantero nusantara, seratus M untuk urusan hukum dan legalitas, sepuluh M untuk menyumbang aktifitas tokoh moral, sisanya bikin partai atau jaringan berbau agama dan punya manajemen isu yang gampang menyerap pendukung . Di jamin pasti mulia dan selamat !
Wah, kalau model begini sudah nggak pas, nggak ngepos pula. Sholat hanya sebagai prosesi hidup menuju kenikmatan luar diri, penguasaan-penguasaan materi dan pengakuan-pengakuan kemuliaan di depan mata manusia. Nggak beda dengan ritual babi ngepet ya tujuannya hanya ritual mencari pesugihan dan kasuwur.
Ah, tapi ini sekedar omongan iseng antar anggota milis yang kenal lewat majelis dzikrullah ini. Jangan terlalu diseriusi. Mungkin para saudara – saudara kita ini lagi ngudarasa karena tak pernah di tanggapi di forum – forum mulia.
Lha tapi nylonong curhatnya kok ke saya ? kalau saya presiden, pasti sudah tak gites orang- orang yang suka mbabat hutan ini. Nggak peduli apapunn resikonya. Wong saya pemimpin kok !
Masalahnya saya ini cuman sebatang kara hamba Allah yang kedekatannya dengan Allah pas-pasan. Jadinya ya cuman bisa berdoa semoga saudara –saudara ini dilapangkan dada dan di lepaskan dari kungkungan lingkungan kerja yang menyesakkan dada.
Semoga atasan - atasan yang ingkar ini bisa tunduk pada saudara-saudaraku yang mencintai Allah. Tak peduli seberapa tinggi jabatan itu. Yah, hanya bisa itu saja…
Karena entah akhir -akhir ini beberapa saudara dari milis dzikrullah protes ke saya. Kok tulisan dan keluhan – keluhan saya nggak pernah dimuat ? lho yo emboh rek...! kata saya. Nggak tahu wong saya bukan pengelola, saya sama seperti sampean...sekedar musafir goro-goro...
Berbaik sangka saja, mungkin ada restrukturisasi, mungkin pada sibuk cari nafkah, mohon mahfum wong jadi moderator nggak ada bayarannya padahal sangat menyita waktu, Jadi bersyukur saja karena selama ini kita sudah diwadahi.
Atau mungkin server down, tumpukan arsip email yang akan di posting terkena virus, mungkin juga ada aksi hacking pencuri data sehingga email kita nggak nyampe atau terserobot seperti kasus berita Abu Sangkan dulu...
Tapi memang tugas moderator itu berat. Tugas utama adalah berjiwa moderat karena asal usul kata dari situ. Kalau tidak punya jiwa moderat, mungkin milis ini lebih cocok disebut e-zine gratis. Sebab yang termuat bukan sesuatu yang dimoderatori, melainkan lebih bersifat redaksional.
Cara berfikir redaksional adalah memilah berita yang hanya sesuai untuk tujuan oplah dan populis.
Beratnya seorang moderator adalah kemampuan menyimpulkan, mencarikan titik temu dan memberi rasa keadilan dari pihak yang sangat ekstrim dan berseberangan tanpa ia ikut terbawa arus pemikiran kedua belah pihak.
Tujuan akhir agar para penyimak bisa mempunyai pandangan yang sangat beragam. Keberagaman pandangan inilah yang membuat penyimak bisa mengikis dominasi kultur pemikiran ataupun kultus individu.
Penyimak pun akan lebih berani jadi diri sendiri, mengenal diri sendiri dan mau menunjukkan orisinalitas jatah diri dalam hidup yang singkat ini. Dan memang itulah goal tuntutan Allah kepada Manusia. Beribadah kepadaKU. Menjadi yang abid, yang tahu posisi diri.
Jiwa moderator haruslah seluas samudera. Kalau dalam konsep Islam, bangkai pun bisa halal untuk dimakan bila ia berada di tengah lautan samudera. Mangsudnya bila hati kita sudah seluas samudera, dengan sesuatu yang kita anggap tidak sesuai, jijik, kotor, nyleneh, norak, sudah tidak masalah. Karena barang-barang itu akan larut netral terkalahkan dengan sendirinya oleh kehebatan samudera.
Begitu ikhlas dan legawanya samudera. wong bangkai saja bisa diterima dengan terbuka, apalagi bila yang datang adalah seorang anak manusia dengan semangat menyala-nyala membawa ide di kepala tentang pemaknaan ajaran Islam yang begitu ia cintai.
Hal ini ditamsilkan, bahwa Allah saja tidak jijik dan tetap memberi ruang hidup lalat atau kecoak kutu busuk sekalipun. Karena Allah Maha Tahu dibalik segala kejadian dan penciptaan.
Kalau kita masih takut terhadap sesuatu pemikiran atau pemahaman yang berlainan, mungkin kita belum seluas samudera. Bisa jadi masih sekelas anak sungai, bahkan got dimana kotoran kecil saja sudah bisa membuat sumbatan dada dan puyengnya kepala.
Di sisi lain, repotnya juga, pencari jalan ruhani menganggap samudera bagaikan oase di tengah gurun pasir. Padahal samudera bukan untuk diminum. Sebab air itu takkan pernah habis, juga takkan melepas dahaga. Fungsi samudera adalah untuk diselami dan dinikmati. Agar bertemu mutiara termahal di kedalaman misteri dasar laut.
Jadi dari sekian panjang lebar nggedabrus belajar menjembatani antara beberapa anggota milis, saya hanya bermaksud belajar meneruskan pepatah kuno, saling asah asih dan asuh melalui metode puasa yang akan kita hadapi.
Itulah maksud melatih diri berpuasa. Mencari sesuatu ke dalam diri agar bisa pas di segala model manusia. tak lain agar hati benar-benar tepat nge Pos di rumah Allah yang Maha Luas tak terbatas melebihi tujuh samudera........
Benar – benar telah tahu bahwa Sang Aku benar - benar Satu adanya. Tak terpisah apapun
Walau dipenjara oleh beragam daging dan pemikiran. Allah tak bisa dimonopoli. … Allah ada di hatimu, di hatiku , di hati kita…tak terpisah. Siapapun manusia itu...
Dan semoga milis dzikrullah benar-benar bermetamorfosis menjadi samudera dzikrullah yang mampu menampung segala ragam jenis manusia. Bahkan kalau perlu memoderatori tikus atau ulat sekalipun. Asalkan punya ilmunya nabi Sulaiman….
Selamat menjalankan ibadah Ramadhan…
Dody Ide