Rabu, 22 Oktober 2008

Jagal Pemikiran


tulisan ini sekedar tanggapan atas diskusi sholat salah kaprah

Alkisah, ada anak kecil yang suka buang sampah sembarangan. Seperti biasa, sehabis makan jajanan ia membuang sampah seenaknya. Tetapi naas, tiba - tiba ia ditegur orang tinggi besar bin sangar, Hei...jangan buang sampah sembarangan ! sambil mengingatkan si anak, orang itu membuka kancing bajunya.

Si anak melihat tato dibadannya. Sekilas ada tulisan JAGAL...dan gambar mirip gagang kapak

Waduh gawat, jangan -jangan preman ini mau menghajarku gara-gara aku buang sampah sembarangan..ih, liat tatonya aja seyyemm deh..ada tulisan JAGAL... dan kayaknya ada gambar ..ss...sse... senjata tajam. Pasti dia ..pasti dia pembunuh kejam berdarah dingin hi....

Si anak gemetar ketakutan sambil memejamkan mata...

Orang itu semakin mendekat. Sambil menaruh baju di pundak, ia memegangi kepala anak itu...

Lalu...

Dengan elusan lembut di kepala, ia menasehati anak itu, " Dik, mbok jangan buang sampah sembarangan ya...abang udah capek mbersihin...

Karena merasa diperlakukan dengan lembut, si anak memberanikan diri membuka mata. Tepat di hadapnnya, orang tinggi besar itu bertelanjang dada dengan tato di badan.

Ups, si anak terkesiap setelah melihat dengan jelas tulisan tato di dada orang itu.

Ternyata bertuliskan ' JAGALAH KEBERSIHAN lengkap dengan gambar dua gagang sapu melintang....sama sekali jauh dari kata seram...

Sesuatu yang luarnya terlanjur dianggap kasar, kotor dan kejam ternyata penuh kelembutan, suka kebersihan dan santun.

Yah hanya karena salah menduga...salah kaprah.....

**




Memang kelemahan utama kita dari dulu adalah keahlian memotong pembicaraan untuk disesuaikan dengan prasangka sendiri. Keahlian derivatif turunannya adalah menyortir kalimat tanpa mau mencari tangkapan makna atas keseluruhan konteks pembicaraan. Hal ini juga berlaku pada tulisan atau pemikiran.

Seringkali kita keras bin kaku dalam menyimpulkan tulisan hanya karena ada salah satu dari ratusan kalimat yang tidak sinkron dengan konsep otak kita. Sehingga kita menafikan kebenaran kalimat lain yang ada dalam tulisan itu.

Sesungguhnya kalau kita menyadari, ini adalah warisan para penganut orientalis yang selalu berorientasi dengan ketidakterimaan "aku" kecil dan pendapat golongan. Serumit apapun bahasan ilmiahnya, akhirnya hanya mengerucut pada kalimat pokoknya begini tidak begitu, pokoknya begitu tidak kayak yang gini.

Sayangnya kita sendiri terjebak ikut-ikutan menggunakan pola ini dalam mengkaji kebenaran agama. Akhirnya, tahap paling akut kita juga sering berani korup terhadap ayat ketika ayat itu tidak sesuai dengan tafsir kehendak nafsu kita.

Seperti yang kerap terjadi pada surah An nisa ayat 3 tentang bolehnya laki-laki nikah lebih dari satu. Seorang laki - laki yang normal kayak saya kalau di tawari nikah empat pasti wooow...mau dong. Tapi ketika Al Quran menantang bahwa apakah engkau termasuk orang yang adil ? apakah engkau telah menunjukkan kemampuan adil ?

Lhagadah...para cendekia agama yang rata-rata laki- laki kok nggak pernah bahas detail apa yang dimaksud adil, dimana parameternya, apa hukumnya berlaku tak adil. haramkah atau sekedar keluar fatwa yang memaknakan ah manusia pasti ada khilafnya.

Atau adakah semacam keseriusan bahasan seperti RUU pornografi bahwa sangsi tidak adil adalah bla bla bla dengan sekian ratus pasal yang mendukung berdasar analogi An Nisa 3 itu sendiri, bahwa tidak adil adalah berbuat aniaya.

Sehingga setiap perbuatan aniaya pasti ada ganjaran fisiknya. Semisal denda sekian puluh juta atau sebesar- besarnya kurungan ayam...eh maksudnya kurungan badan lima tahun penjara. Tapi ya boleh juga sih ditaruh di kurungan ayam agar sang jago nggak gampang gagah berkokok ke sana-kemari.

Dan sesungguhnya hak dari ayat itu tentang keadilan sudah dijelaskan pada ayat sebelumnya ( An Nisa ayat 2 ) yaitu tentang kewajiban2 kita merawat dan memperhatikan anak yatim. Kemudian baru naik ke masalah wanita itu sendiri. Memaknakan bahwa sebelum kita bersenang -senang, kewajiban sosial harus dijadikan landasan sebuah kemukminan seseorang. Karena mukmin setingkat lebih naik lagi daripada muslim.

Intinya ayat surah ini ada dalam kejujuran batin kita. Apakah tangkapan atas surat ini mengajarkan pendidikan keadilan yang memang harus dilatih pada diri setiap orang yang ingin jadi mukmin, ataukah hanya mengajarkan bolehnya bersenang - senang dengan lain jenis kelamin.

Kalau saya sih cuman bilang, mosok sih Quran cuman mengandalkan hal dangkal atas kesenang-senangan daripada kesungguhan pengajaran tentang kesadaran kemukminan. Walaupun kenyataannya setiap lelaki ( sudah pasti termasuk saya ) kalau hanya bilang urusan gitu pasti pengen kayak raja jaman dulu yang punya selir sampai puluhan. He...he..itu kalau kita hidup hanya nuruti nafsu.

Waduh kok mbahas polyphony lagi....

Uraian contoh tsb hanya sekedar sebagai gambaran betapa dahsyat efek dari memotong pembicaraan. Bahkan dampaknya lebih dahsyat dari sekedar memotong rejeki. Sebab di dalamnya sudah pasti terkandung ketidaksabaran, ketidakakuratan data, tingginya ego, ketidakluasan cara memotret space seseorang yang akhirnya berbuntut fitnah.Yang disayangkan seberapapun daya intelek atau keimanan seseorang akhirnya hanya berujung like or dislike.

Jadi dalam konteks salah kaprah sholat bukannya membela Pak Deka, Pak Abu Sangkan atau siapa saja. Tetapi mari belajar tidak memotong, menyortir pembicaraan, tulisan ataupun pemikiran seseorang. Pelajari dulu pesan batinnya.Dan mari menghargai ide seseorang apa adanya sampai tuntas layaknya murid yang mendengar ajaran mursyid sampai tuntas tanpa berani menyela.

Karena sesungguhnya segala sesuatu yang memancing diri kita untuk berfikir adalah guru. Masalahnya hanya umpan pancingan itu lezat atau pahit.

Mungkin saja saya sekedar bermimpi muluk untuk menghilangkan tabiat ini. Lha wong kenyataanya firman Tuhan saja masih sering kita sela . Apalagi omongan -omongan model warung seperti tulisan ini.

Akhirnya kita ini kayaknya semakin intens berdiskusi atau ndakik mempelajari Quran, tetapi hati makin gundah, jiwa terjun bebas terhenti bermaqam di nafsu amarah. Sebab kita masih suka menjadi jagal atas pemikiran orang lain ataupun ayat.Sehingga pesan makna sesungguhnya tak pernah sampai membuka hati kita.

Tapi sudahlah, ayo belajar jangan hanya berhenti pada ilmu, filosofi, tafsir-tafsir, karya, atau spiritual saja. Tapi belajar hargai manusia. Karena ilmu tanpa ilmuwan tak akan ada harganya. Seni tanpa seniman tak akan berasa. Tafsir tanpa tafsir-wan tak akan bermakna apa-apa. Spiritual tanpa spiritual-wan juga jadi kertas fotokopi tanpa ada suasana kekhusyukannya.

Sebab para wan-wan itulah yang bikin hidup lebih hidup. Tanpa Pak Wan segala sumber ilmu pengetahuan tak bisa kita tangkap dan hadirkan di sini.

Tak lain karena kita belum begitu yakin bahwa Allah lah sesungguhnya yang memberi pengajaran langsung terhadap sang jiwa yang bermukim di setiap ruh manusia. Walaupun begitu banyak ayat yang menjelaskan akan hal itu secara mukhamat.....

Last, Man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu, Ana indadzhoni abdi.. berkenalanlah dengan berbagai manusia secara baik - baik maka engkau akan bertemu Tuhan yang baik. Bukan Tuhan yang suka merengut. Karena Tuhan sesuai persangkaan si hamba...wallahu alam

Wassalam, semoga baik-baik selalu

Dody Ide

Tidak ada komentar:

Posting Komentar