Kamis, 25 September 2008

Puasa dan Sarjana Kuliner



Dalam hidup ini segala keilmuan entah ilmu lahir ataupun batin, eksak atau non eksak, ilmu logis maupun spiritual akhirnya hanya mengerucut pada dua pola kesarjanaan.

Pertama, yang diharapkan oleh Allah adalah sarjana kekhalifahan. Kedua, segala sesuatu kepakaran yang ujungnya hanya sekedar pemenuhan kebutuhan perut alias sarjana kuliner.

Kedua pola kesarjanaan ini terjadi karena ada tawar menawar antara nalar dan niat. Sarjana kuliner diwakili oleh nalar. Sarjana kekhalifahan diwakili oleh niat.

Nalar ada di kepala, niat ada di dada. Nalar adalah pencarian. Niat adalah ketetapan hati. Proses tawar menawar ini sangat ribut sekali melebihi keributan lantai bursa ataupun lelang pasar ikan.

Nalar tanpa niat bagaikan orang yang jago berpetualang tapi tak punya rumah berteduh. Selalu bingung mau dikemanakan simpanan nalar yang begitu banyak. Begitu juga niat tanpa dijalankan dengan nalar akan membuat seseorang terlihat ganteng tapi pakai kacamata kuda. Sedikit lucu dan suka menabrak orang lain

Intinya kedua hal ini sebenarnya sederhana, siapa yang harus unggul mengendalikan tanpa menafikan salah satu unsur. Bila yang unggul niat, lapanglah dada kita. Bila yang unggul nalar, ya siap –siap saja ketombean dan merasakan kepala yang berkabut. Gamang sampai akhir hayat.

*

Kalau diri kita tidak memiliki kemampuan identifikasi perbedaan antara nalar dengan niat, bisa cilakak tigabelas…Karena di dalamnya banyak sekali syubhat – syubhat ruhani yang sangat halus dan samar. Kayaknya niat, padahal nalar. Dan sebaliknya.

Contoh kecil dalam urusan dakwah, bisa jadi sesuatu yang semula sifatnya niat tulus merasa berkewajiban, tiba - tiba secara halus membuai berubah menjadi nalar merasa berhak. Dulunya hanya berkewajiban menyampaikan yang haq, sekarang merasa berhak mendapat imbalan atas hukum wajib yang telah ditularkan.

Hal ini tak lain karena orang yang sudah mendapat enlight pencerahan pun belum tentu bisa teguh memegang amanah kekhalifahan. Sebab setiap pencerahan juga akan dibarengi terbukanya syaraf nalar yang luar biasa.

Padahal semua itu masih wilayah zhon atawa persangkaan. Dan postulat persangkaan ini dilembagakan secara mendasar menjadi yang kita sebut nalar.

Di wilayah ini Allah menuruti seratus persen manusia. Aku sesuai persangkaan hambaKU. Ketika seseorang beriman dan bermain di wilayah ini, maka yang berlaku adalah iradah atau kehendak dan keinginan-keinginan manusia. Bahasa modernnya Law Of Attraction.

Dan apapun pasti terpenuhi wong bumi ini seratus persen untuk manusia. Pek-pek en kabeh Rek ! aku gak arep….tapi lek koen gak arep karo Aku yo goleko dunyo liyo. Allah begitu dahsyat menantang diri kita.

Ambil semua…tapi kalau kamu tak mau kembali kepadaKU Sang Pemilik, cari jagad lain selain milikKU. Waduh ! nyari kemana ya kira –kira …?


Sebenarnya untuk mengetahui parameter mana dominasi nalar mana dominasi niat itu mudah. Namun saking mudahnya, parameter itu akhirnya juga gampang dibelokkan karena dahsyatnya nalar.

Bila akhirnya segala sesuatu itu mengerucut pada kemakmuran diri sendiri atau paling besar kelompok, maka itu adalah syahwat nalar kuliner. Kalau sesuatu itu mengarah kayak lagu hymne guru alias pahlawan tanpa tanda jasa, maka itu adalah keridhaan kekhalifahan.

Untuk mempertajam deteksi dua hal ini, diperluka metode puasa. Metode dimana orang dilatih untuk tidak menuruti kepentingan diri dalam jangka waktu tertentu. Sampai ultimate goalnya seseorang menjadi abdullah total. Dalam hidupnya sampai akhir hayat seratus persen nggak ada ambisi pribadi.

Ketika orang lapar biasanya angan-angannya akan berkurang.Dari angan-angan ingin menguasai negara, majelis, ribuan hektar tanah, bisnis dan sejenisnya tiba –tiba luruh mengecil hanya ingin menguasai meja makan saat buka puasa.

Tapi ini juga tidak dibenarkan karena sebenarnya inti puasa adalah menghilangkan angan-angan dan kehendak kepentingan pribadi guna mengasah jiwa kekhalifahan sampai pada tingkat paling ideal, Rasulullah.

Benar kata Rasul bahwa setan menguasai jalan darah dan hanya bisa ditundukkan dengan puasa. Permainan darah inilah pada puncaknya akan memunculkan pengulangan tragedi Qabil dan Habil. Sebuah permainan nalar dan niat yang disindirkan Allah dalam Quran melalui cerita persembahan makanan.

Yup, kata kuncinya memang pengendalian makanan dan darah. Sebuah komposisi yang menentukan ke arah mana perjalanan seorang anak manusia.

Sedihnya banyak manusia menyerah terhenti menganggap bahwa dirinya hanyalah sebatas mahluk biologi layaknya seperti sapi, ayam kecoak dan kawan-kawan yang menjadikan makanan sebagai faktor ahad.

Dan pembenarannya bukan hal main –main karena rabaan iptek dan tafsir kitab suci dilibatkan untuk mendukung urusan kuliner ini.

Padahal moment puasa itu sangat jelas, untuk meraih hari kemenangan. Analogi kebalikannya berarti orang yang malas berpuasa alias suka makan, pasti hidupnya sering kalah. Entah kalah dari segi persoalan hidup sehari-hari sampai kalah tak punya daya tawar terhadapan peradaban yang sangat membius ini

***

Nasihat Cina kuno mengajarkan, kalau lagi bisnis, ajak makan dulu partnermu…pasti dia akan tunduk dengan kekuatan argumen lobimu.

Misterinya sih mudah saja, ketika perut kenyang, semua energi baik yang sifatnya ghaib sampai yag wujud seperti tekanan darah beserta syarafnya mengalir terfokus ke perut. Sehingga jatah oksigen yang otak akan berkurang. Ketika itu dengan mudah lawan bicara akan memasukkan afirmasi –afirmasi ke dalam otaknya yang lagi nglamun.

Sudah jamak bahwa kebutuhan kemakmuran perut ini akan merubah cara pandang seseorang. Misalnya orang yang hidup di Amerika pasti akan membenarkan segala sesuatu konsep kapitalis. Sebab tanpa memakai nalar itu itu, orang Amerika akan mengalami blank spot cara mencari sandang pangan papan.

Satu lagi contoh ekstrim ya kayak koruptor. Dalam jagad otaknya hanya ada satu kesimpulan paten yang menyatakan, kalau nggak korupsi nggak bakalan kaya. Segala daya nalar dan kelakuannya pun mengerucut pada asumsi dasar itu. Padahal ternyata di luar sana buanyaak sekali orang yang bekerja secara halal dan bisa sangat kaya.

Kalau orang pongah dalam seminar –seminar finansial biasanya selalu mengatakan, sekarang karena belum melek finansial, patern otak anda pasti masih “ besok makan apa. Tapi setelah ikut seminar ini, pasti akan berubah patern menjadi besok makan dimana sampai tahap besok makan siapa. Namuni intinya semua itu tetap saja yaitu nalar yang kekurangan. Nalarnya sarjana kuliner.

Sedangkan dalam konsep puasa kita ditawari kemuliaan sarjana kekhalifahan. Nalar legowo, nalar keluasan, nalar serba cukup. Dalam puasa pada titik puncaknya kita diajari “ Besok memberi makan siapa “ .

Puasa ditutup dengan kekhalifahan ajaran zakat. Ajaran berbagi karena telah mencapai kesadaran bahwa kita ini hidup lebih dari cukup atas segala Karunia Allah. Apapun dan bagaimanapun keadaan kita.

Inilah sebuah niat peneguhan syukur yang merontokkan nalar kekurangan.

**

Seorang sarjana kekhalifahan adalah karyawan Allah. Maksudnya ia hanyalah seorang yang berkarya karena ingin bersyukur kepada Allah atas kelengkapan karunia sempurna yang telah diberikan. Tak peduli pada saat berkarya ia tercemoohkan secara mata manusia

Ia bagaikan nabi kedua, Nuh yang membangun “ kapal gila “ setelah nabi pertama, Adam yang sempurna mempelajari kamus iqra dunia. Belajar lalu berkarya !

Orang – orang semacam inilah yang membawa perubahan dunia. Contoh termudah adalah revolusi industri Perancis dan revolusi digital Bill Gates atau pun larry serge nya Google. James Watt, thomas A Edisson , Serge dan Bill gates bukanlah orang menara gading pemikiran yang hanya berkutat pada kemulukan teori dan dunia seminar.

Bahkan ada guyonan rumah tangga Einstein. Suatu saat istrinya jengkel besar karena Einstein tiap hari siang malam tanpa henti bikin percobaan yang nggak jelas di laboratoriumnya. Sudah…sudah pa…mbok istirahat dulu…Wis, pokoknya papa harus istirahat. Santai…! hari ini nggak boleh kerja ! awas kalau tetap kerja nanti malam nggak tak kasih jatah !

“ Baiklah isitriku, saya akan refresing deh…”. Sang istri rupanya senang juga omongannya dituruti. Tak lama kemudia Einstein berkemas sambil membawa beberapa perbekalan.

“ Istriku, aku refreshing ke rumah teman dulu ya cari suasana lain…” iya pa…eit…tapi tunggu ! kok itu bawa perkakas laboratorium ?

“ Iya ma, siapa tahu nanti di laboratorium teman ada hal baru yang tak dapat kutemukan di sini….

Istri “ $)(^$^#$#>>>%%>>>…”

Hidup keseharian mereka adalah bengkel, eksperimen dan kerja. Mereka adalah orang – orang yang Ummi ( tak peduli) terhadap derajat formal ilmu pengetahuan universitas. Karena bagi mereka kampus universitas adalah dimana bumi dipijak, disitulah ia harus berkarya dan beramal secara universal yang bisa dinikmati sebanyak mungkin manusia.

Dan sejarah kepahitan mereka sama, ketika belum jadi apa-apa, mereka dianggap gila, ideot dan nggak mutu.

Mereka – mereka adalah prototype model kesarjanaan kekhalifahan Islam walaupun secara teologi dan doktrin, kita tak pernah tahu apa sesungguhnya agama mereka.

Bisa dikatakan ilmu yang kelihatan urusan dunia seperti matematika, fisika, akutansi, mechanical dan sejenisnya malah lebih agamis bila pelaku mendharma bhaktikan seluruh peluh keringatnya untuk kemakmuran Islam.

Sebaliknya ilmu yang kelihatan sangat agamis, religius dan pengalaman spiritual sekalipun bisa ter downgrade kan hanya menjadi urusan batas dunia saja bila pelaku akhirnya hanya terbelit urusan pamrih dunia beserta imbalannya.

Benar juga ada pepatah yang mengatakan: “witing trisno jalaran soko kuli…ner ”

Mengerjakan sesuatu dengan giat hanya karena ada imbalan kemakmuran perut…….

Kalau memang ini tujuan kita, ya nggak perlu puasa. Toh jauh –jauh hari diam-diam kita sudah berhasrat mentahbiskan diri menjadi sarjana kuliner.

Bolehlah cita –cita bermacam – macam. Entah itu jadi dokter, ilmuwan, pengacara, musisi, tehnokrat bahkan rohaniawan. Tapi yang penting tujuan utama harus makmur perut dan beken…

Tujuan pengabdian ? ahh…masih adakah …?

Hmmm… mokel ruhani ini kok lebih nikmat dan bergengsi ya….


Wassalam, semoga bermanfaat

Dody Ide

Tidak ada komentar:

Posting Komentar