Kamis, 24 Desember 2009
Ketika Ayat Mewujud
Entah sampai saat ini kok diri ini masih ngaji kelas juz amma aja gak beres - beres. Sampai - sampai minder melihat saudara seumuran yang sudah khatam Al Qur'an berkali-kali. Tiap hari hanya menghafal surat Al Ikhlas - Al Ashr, dibolak -balik terus kayak bis jurusan Malang - Surabaya PP gak ada putusnya. Tapi nggak apa -apa ding, lha wong kelas makmum kok mintanya memaksa menghafal surat yang panjang - panjang. Tahu diri ah...
Memang, kalau sekedar membaca dua surat itu sih, Insya Allah walau agak grothal - grathul lumayan fasih lah. Tapi menghafal itu lho yang bikin laku hidup ini setengah mateng... Lho ? apa susahnya menghafal surat yang begitu pendek ? anak kecil aja lewat tuh....iya sih iya...tapi bagi diri ini, makna menghafal dengan menirukan kok lain ya...
Sebenarnya sih, ini persoalan pribadi alias bukan untuk memprotes konsep luar diri.
Kalau sekedar menirukan dan mengulang - ulang saja, entah bunyinya, entah artinya, burung beo pastilah bisa. Tapi menghafal di luar urusan bunyi itulah yang bikin diri ini semakin ummi dan ummi....Sebab bukankah yang disebut "ayat" adalah bermakna " tanda ". Ayat bukanlah sekedar sebentuk tulisan kertas dan bunyi. Apalah arti tulisan kertas dan bunyi huruf tanpa mewakili suatu "tanda" yang agung dan suci....
Nah, yang repot bila ayat itu muncul bukan dalam bentuk tulisan dan suara. Lalu bagaimana pula cara menghafal kapan munculnya ayat itu ? waduh...hhmmmhh...
Ada juga sih yang menyebut dalam setiap surat itu ada khadam atau penjaganya dan bisa memunculkan diri. Entah apa maksud sebenarnya. Katanya sih ada penunggu mahluk ghaib di setiap huruf yang bisa kita manfaatkan sesuai hajat diri.
Ah...tapi saya nggak ngerti masalah kesaktian dan dunia aneh seperti itu. Karena yang saya maksud bukan kehebohan seperti itu. Melainkan sebuah kejadian manusia sehari -hari yang semuanya bakal mengalaminya.
*
Ketika suatu ayat telah mewujud menjadi sebuah kejadian hidup, apakah diri ini masih mampu mengaku beriman terhadap Al Quran ? begitu hebatnya bila ayat ini telah mewujud menjadi kejadian hidup sampai -sampai Rasulullah setiap "didatangi" ayat, beliau selalu ketakutan, berkeringat, menggigil bahkan tak sadar diri kemudian terkadang menangis berhari - hari. Tapi juga menjadikan tertawa bahagia.
Semisal dalam surat Al Ikhlas, Katakanlah bahwa Allah Maha Ahad. Memang, kalau kita mengatakan secara ikrar mulut ya mudah saja. Tetapi bagaimana seandainya yang dimaksudkan katakan bukan sekedar mulut, melainkan sebuah tuntutan kesaksian utuh atas sebuah kejadian ? Dan kesaksian utuh itu meminta pertukaran seluruh kepemilikan, entah aset material, aset intelektual, aset kepercayaan sesama manusia bahkan aset tabungan tirakat kita.
Misalkan, suatu saat tiba - tiba Allah memberi test case suatu keadaan di mana posisi kita dihadapkan seperti kompleksitas cobaan Nabi Yusuf yang dibenci saudaranya tanpa sebab yang seharusnya, plus Nabi Ayyub yang dijauhi istri, plus Nabi Khidr yang harus menjalani konsep lelaku di luar nalar sehat, plus Nabi Isa yang dikhianati sahabat sendiri, plus Nabi Ya'qub yang dibohongi anak sendiri, plus Nabi Ibrahim yang pemikirannya tak sejalan dengan ortu sendiri.
Hmmmh..waduh...duh...kurang gimana para manusia suci itu bertakwa, lha kok masih dikasih yang gak enak -gak enak....binun deh....
Seperti permisalan di atas, intinya segala mahluk menafikan diri kita tanpa sebab yang jelas.....dan....Eh..lha kok apesnya juga, dalam hal ini upaya - upaya penyelesaian lewat kadar intelektual, pengeluaran material, meyakinkan karib dan sahabat ataupun laku tirakat yang top markotob hasilnya nihil.
Dan di luar itu kita sudah pada tataran tidak punya senjata apa -apa lagi. Hopeless. Di wilayah kejadian inilah Allah seakan - akan menantang kita dengan surat Al ikhlas. Kita dipaksa seratus persen untuk mengungkapkan ayat bahwa hanya Allah lah tempat bergantung. Sebab ketika kita menggantungkan penyelesaian kasus dengan aset - aset yang kita miliki hasilnya nol...no...dan nol.
Dalam hal ini yang dimaksud ayat katakan Allah Maha Bergantung bukan lagi sebagai bentuk tulis, ucap ataupun rekayasa filosofi pemikiran. Melainkan katakan yang bersifat tagihan ketahlukan keberserahan total, Islam. Lebih tepatnya bukan lagi katakan tetapi meningkat pada tuntutan ke "nyatakan", menjadikan sebuah kata ini sebagai suatu yang nyata. Sebuah ayat riil, tanda yang jelas.
Bagaimana kita dalam kejadian ini dikondisikan layaknya yatim piatu tak beribu -berbapak alias tak punya rasa nyaman berlindung dan menghela kasih sayang. Bagaimana kita dikondisikan hanya tunduk seperti orang kalah perang yang pasrah menyerah entah mau diapakan terserah. Sebab yang dihadapi tak dapat diserupakan dan tak dapat ditandingi dengan apapun.
Karena tak dapat diserupakan dan ditandingi dengan apapun, tentu saja penyelesaiannya jelas juga tak bisa diserupakan dan ditandingi dengan penyelesaian aset material, intelektual, jaringan pertemanan bahkan wirid model apapun.
Hmmmhh...Memang sih, seperti yang ada di awal tulisan, ini hanyalah sebuah uraian pribadi. Jadi, yang tidak pernah mengalami sebuah wujud ayat yang menyelimuti segala gerak hidup, sangat - sangat boleh membantah.
He..he..tetapi saya tak akan mau berbantahan ding. Sebab bagaimana mungkin berdebat tentang nikmatnya tidur vs nikmatnya bangun. Lha wong wilayah kesadarannya jelas berbeda kok, walau sama - sama nikmat sih...
**
Seperti yang tertera dalam Surah Al Waaqiah : 79 " Tidak menyentuhnya kecuali orang yang disucikan ". Entah kenapa kok kita mengartikan sekedar berwudhu sebelum memegang mushaf Al Qur'an. Padahal kalau melihat tarikh kesejarahan, mushaf baru ada setelah jaman Khalifah Ustman ra. Lha sebelum itu kan berceceran di daun lontar, kulit unta dan lain -lain yang ada kemungkinan bercampur hadats. Tentunya juga berserakan tidak tertata rapi seperti saat ini kita melihat mushaf Al Quran yang selalu rapi di atas rak.
Apalagi dalam dunia modern global kalau yang dimaksud Qur'an sebatas mushaf, maka bisa - bisa ayat Al waaqiah 79 itu terlalu banyak dilanggar dan tak berdaya. Bagaimana tidak, kadang di handphone ada program Qur'an. Padahal kita menaruh hp di pinggang, di saku belakang, atau di bawa masuk ke kamar mandi. Bahkan bercampur satu memori dengan sms sayang-sayangan dengan pacar, trik bisnis, memarahi bawahan, ketik REG SOLUSI dll .
Belum lagi nasib pengiriman mushaf dari percetakan melalui expedisi yang kita tak tahu apakah kurir atau ABK nya membanting - banting paket itu karena keburu waktu. Belum lagi apa status agamanya, belum lagi kalau ABK itu suka mabuk-mabukan....
Ufffhh....apakah dengan demikian Quran menjadi tidak suci dan terhina ? Bisa iya, marah -marah dan kebingungan mencari fatwa rujukan sana sini atas fakta ini. Tetapi bisa tidak asalkan kita mau melengkapi pemahaman dengan modal ayat sebelum dan sesudahnya - Dalam kitab yang terpelihara ( Al Waaqiah 78 ) & Diturunkan Allah dari Allah semesta alam ( Al Waaqiah 80 ).
Dalam hal ini wahyu tetaplah wahyu yang mulia dan tetap terpelihara. Ibarat air, sesungguhnya air tidak bisa kotor walau ia tercampur dengan gula, kopi ataupun limbah. Komposisi air tetap tak pernah berubah walau kelihatannya berubah bentuk, rasa dan bau. Hanya saja kita tak punya metode pemikiran pengurai pensucian hingga yang disangka limbah adalah air, yang disangka air adalah limbah.
Kata kunci Al Waaqiah 79 adalah "disucikan" yang bermakna bukan mensucikan diri sak karepe dewe. Kalau disucikan kan berarti ada pihak yang mensucikan. Siapa dong ? Tentu Allah, Subhanallah - Maha Suci Allah.
Proses penyucian analoginya ya persis seperti penyucian benda - benda sehari -hari. Tetapi ini masalahnya lain karena menyangkut akal, budi dan kejadian diri. Jadi pasti melibatkan sebuah pertarungan ke"aku"an yang hebat.
Kalau benda mati di cuci sih, ya tinggal gosok sekerasnya atau rendam sampai kotoran larut, beres deh...Lha kalau badan, hati dan fikiran yang telah lekat sejak lahir apa bisa diperlakukan dengan gampangnya seperti benda mati ? Apa gak sakit bukan main ! lha wong disentuh dengan kelembutan saja kadang kita masih berontak persis seperti masyarakat jahiliyah yang diingatkan Rasulullah. Padahal cara beliau amatlah santun.
Sebenarnya, seringkali Allah akan memberikan sebuah pemahaman hikmah dan wujud ayat kepada kita, sesuai Al Baqarah : 151 " Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui ".
Tapi ketika ayat hikmah itu akan diberikan lewat proses pensucian persepsi diri kita terlebih dahulu, eehh..lha kok kita ini malah lari nggak mau menghadapi. Sebab terkadang penyucian itu datangnya lewat sesuatu yang tidak mengenakkan secara persepsi kemapanan ekonomi, pemikiran, ataupun status sosial.
Segala bentuk protes kepada Allah kita kerahkan. Melalu doa dan apa saja kita babat habis demi terhindarnya datangnya tanda ayat itu.
Sehingga yang terjadi adalah istidraj alias pemanjaan dan penangguhan Allah kepada kita. Tentu saja dengan konsekwensi pemahaman kita yang semakin kusut berputar - putar tanpa ending yang indah. Persis seperti anak kecil yang maunya minta ke ortunya yang enak - enak terus. Akibatnya si anak menjadi pemalas, penuntut, gagap kondisi dan pemberang di tengah sang waktu yang menuntut ia harus lebih bersikap dewasa.
Akhirnya kita tidak bisa menyentuh ayat itu karena kita lari tak mau disucikan. Kita tak bisa memahami, menyentuh dan mendekapnya menjadi bagian perjalanan hidup. Dan kita pun gagal memegang satu ayat yang sesungguhnya akan menjadi petunjuk hidup alias furqan.
Kita tak pernah bisa menjamah Al Qur'an hanya karena kita tak mampu "bersuci" dengan Yang Maha Suci
Hari -hari kitapun hanya sanggup sebatas diisi dengan copy paste pengalaman -pengalaman tokoh -tokoh yang kita anggap punya kadar spiritual tinggi. Mudah ditebak, yang terjadi pastilah bias dan tafsir subjektifitas tinggi yang mengarah pada mental temperamental jauh dari tawadhu.
Sebab sebuah ayat yang dihadapi, dipahami dan dipegang tokoh tersebut ternyata jauh dari rekaan pemikiran kita. Repotnya kita ini selalu bersikeras bahwa pemahaman dan keadaan tokoh itu sebanding lurus sejajar persis dengan diri kita.
Ah...layaknya orang yang menceritakan tentang cerita orang makan durian....padahal mencicipi barang secuilpun tak pernah mau. He..he...lha wong lelaku perjalanannya lain, kok derajatnya minta sama....
Pantas saja Allah menyindir halus melalui An Nisa : 43 " hai orang beriman, janganlah kamu sholat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.....". Jelas bahwa kita dituntut untuk mengerti dan mengalami dulu apa kandungan di balik tulisan, huruf dan bunyi yang keluar dari mulut.
Balik lagi, gampangnya, jangan ngomong durian dulu kalau belum pernah tahu keadaan utuh durian serta rasanya.Kalau dipaksa ngomong, nanti ya persis orang mabuk lah...cuma dapat pamer gagahnya, tapi ngawur...
Lha sekarang mari koreksi diri kita. Sesudah sholat, kita merasa tunduk tawadhu dan paham apa itu makna Allahuakbar yang kemudian diakhiri dengan ikrar salam ke sesama , apa malah gemagah merasa paling beriman dan obral omongan ngawur mengkafir - kafirkan sambil menonjoki orang -orang yang gak sepaham dengan perolehan copy paste kita ?
Bila masih gitu, lebih baik patuhi saja ayat di atas " janganlah kamu sholat...Lho kok ...? kenapa takut, wong yang nyuruh nggak sholat Allah juga kok. Daripada sampai dicap Allah dengan kata munafik seperti dalam surat Al Maa'un, gimana hayo ? apa nggak malah perih hati ini ? terus kalau perih begitu menghebat, mengadu ke siapa lagi dong... lha wong Pusat Pengaduan sudah mereject kita ?
***
Entah juga diri ini mulai kecil kok juga senang dengan surat Al Ashr yang pendek itu ( he..he..padahal ini sekedar ngeles bebalnya diri gak mampu menghafal surat panjang -panjang ). Dalam surat ini kenapa sih kok sampai -sampai Gusti Allah bersumpah demi waktu dan ditutup dengan kata sabar ? pasti ada rahasianya nih...
Dalam pemaknaan ini ternyata yang dinamakan waktu bukanlah gerakan jarum jam. Melainkan sebuah gerakan hati.
Bila hati berbunga, walau bersama kekasih bertahun - tahun akan terasa sangat cepat. Tapi kalau gerak hati membenci, sekedar lima menit bertatap muka saja serasa di Nusakambangan limabelas tahun. Di manakah rahasia waktu itu ? ah...ternyata ada di sabar. Tetapi bila kita tak tahu apa yang di"sabar"i, pastilah waktu akan terasa sangat - sangat menjerat.
Padahal sabar itu pekerjaan paling ringan lho....lha wong gratis, gak pakai bayar dan gak pakai keluar keringat. Tapi kok gak ada yang mau pakai sih ? sabar itu kan kayak tuma'ninah yang bersifat menunggu jeda, sekedar merilekskan badan, tenang, diam, nggak keburu -buru dan mengalir mengikuti gerakan berikutnya...
Waktu dan sabar adalah hukum penawaran dan permintaan. Semakin kita bisa bersabar, semakin kita bisa melipat waktu. Persis seperti hukum relatifitas Einstein. Atau gamblangnya permisalan, semakin planet dekat ke matahari, semakin pendek jarak tempuh garis edar, semakin sedikit waktu yang dibutuhkan dalam satu putaran yang sama.
Bila ditamsilkan secara mikrokosmos, matahari adalah Allah, hati manusia adalah planetnya. Kehebatan manusia dibanding mahluk lain seperti planet adalah mempunyai akal yang hakikatnya adalah konsep daya tawar. Jadi setiap manusia ketika "diletakkan" Allah dalam satu putaran garis edar ujian, ia bisa menawar takdir garis edar. .Apakah ia akan mendekat ke sumber cahaya, Nur ala nur yang penuh rahma, dan mendapat pencerahan atau malah menjauh dan semakin menemui kegelapan serta kelelahan perjalanan.
Dan penawaran itu bukanlah hal yang rumit seperti yang kita sangka -sangka. Penawarannya hanyalah sikap tunduk dan sabar. Ada yang menyebut sikap diam tafakur. Sikap inilah menjadi lompatan quantum yang bisa bertranformasi memindahkan garis edar lebih mendekat ke asal kejadian planet. Sang Matahari. Akhirnya walau kadar ujian berat dan detak waktu jarum jam tetap kadarnya, hidup terasa tetap nikmat.
Di sini Jelas sekali ayat Al Anfal : 53 " Allah tidak merubah nikmat yang dianugerahkan kepada suatu kaum, kecuali mereka merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri...". Konsep nikmat dan sabar akan bertemu padu di titik ini. Sayangnya kita selalu mengartikan sebuah perubahan kenikmatan perolehan materi. Padahal untuk masalah itu jelas - jelas Allah pasti menggilirkan kejayaan suatu kaum ( Ali Imran 140 )
Sebab faktanya, banyak manusia yang sebenarnya telah digilirkan secara pesat kejayaan peradaban lahiriahnya, tetapi secara batiniah malah seperti planet yang semakin menjauh ke pusat cahaya. Sehingga tak ada perubahan kenikmatan nasib yang signifikan. Apa saja telah diperoleh dan dinikmati, tetapi ketenangan tak dimiliki. Kata eyang, kalau gak bisa sabar hidup gak akan barokah walau segala keinginan sudah tergenggam di tangan.
Seandainya manusia menggunakan akal untuk hal seperti ini, pastilah akan mudah menemukan pencerahan -pencerahan. Hatinya penuh putaran garis edar pendek yang tak melelahkan. He..he..apalagi sampai si planet ini lebur dalam matahari. Tak akan ada lagi perputaran yang bikin pusing. Semua serba terang benderang. Tapi panasnya itu lho yang gak kuaaaaat.....
Dalam Albaqoroh 45 " jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu.....". Jelas, pilihan kata juga mendahulukan sabar ketimbang sholat. Maknanya sholat yang tak dibarengi sebuah konsep sabar dan tuma'ninah, tak akan cespleng atau muspro sama sekali. Tak bisa dijadikan obat pelega dada dan penolong sebuah masalah.
Gimana tidak, sholat kan disarikan dari kata shilatun alias nyambung, kepada Allah. Dalam proses penyambungan ini, mana bisa tanpa dibarengi laku tenang diam sabar. Ibaratnya kita mau kontak "HP" nya Allah. Nomor dah ada, cara pencet tombol dah ngerti. Rukun S.O.P nya pun seratus persen benar. Eh lha kok masa tunggu konek kok ya gak sabar....kita keburu menutup telpon sambil nggerundhel " Hehh...di telpon kok gak diangkat-angkat sih...! "
Ya sudah...akhirnya kayak -kayaknya kita sudah tahu nomor dan telah merasa menghubungi, tetapi kita tak pernah mendapat jawaban - jawaban pencerahaan problem hidup. Sholat yang tidak sholat.
Padahal aktifitas dan gerutuan model itu selalu diulang setiap hari, berkali - kali. Gak heran Kanjeng Rasul mengatakan banyak orang sholat tapi hanya dapat capek ....
Lha wong gak sabar seeh.....
Wassalam, makmum garda belakang
Dody Ide
Jumat, 20 November 2009
beo Kafir
Pak Salam punya seekor burung Beo. Tiap dia pergi atau pulang kantor, si beo selalu menjawab salamnya.
" Assalamualaikum.......wa alaikumsalam... " begitulah aktifitas interaksi sehari -hari antara Pak Salam dan burung kesayangnnya.
Sayang karena sebuah urusan pekerjaan, Pak Salam harus ke luar kota. Tentu saja Si Beo nggak bisa ikut.
Dengan sedih Pak Salam menitipkan Beo itu pada tetangganya, Pak Slamet.
Pak Salam :" Pak Slamet, saya minta tolong titip burung kesayangan saya ya....saya mau luar kota nih..."
Pak Slamet : " Waduh pak, rumah saya sempit. Lagian di sini banyak anak -anak, ramai...nanti suaranya bisa rusak lho...
Pak Salam : " gak apa - apa lah... mau gimana lagi pak, di rumah gak ada orang, tapi kalau bisa sih di taruh di tempat yang agak sepi...tolong ya pak..."
Pak Slamet : " Ya sudah...saya taruh di belakang saja ya... di situ kayaknya tempat tersepi di rumah ini "
Pak Salam ; " Terimakasih pak, dijaga ya...."
Singkat cerita, sebulan kemudian Pak Salam pulang dari luar kota. Saking kangennya dengan si beo, dia tidak langsung pulang ker rumah.
Tujuan awal langsung ke rumah Pak Slamet mengambil burungnya....
Pak Salam : " Pak Slamet, saya mau ambil burung saya..."
Pak Slamet ; " Oh, iya ini pak...maaf saya hanya bisa kasih makan dan minum saja, gak bisa merawat lebih dari itu. Lha wong saya sendiri berangkat pagi pulang malam"
Pak Salam : " Waduuuh....lihat si beo ku seger waras gini aja saya sudah sangat berterimakasih paaak...Kalau begitu saya pamit dulu ya pak..terimakasih banyak lho...maaf ngrepotin..."
Sesampai di rumah, Pak Salam langsung ingin mendengarkkan lagi klangenan suara beo nya yang sudah lama tak terdengar...
Pak Salam : " Assalamualaikum......"
Beo : Preeee....eeet...
Pak Salam ; " Lho... ? Assalamualaikuuuum....
Beo : Heks !....preee...et ketek keteeek...ngghhhkh !
Pak Salam : Loh...loh...loh....ini pasti kerjaan anaknya Pak Slamet...kurang ajar dia..burungku kok jadi gini...dasar keluarga kafir !
Beo : heeiiiikkk... aahghh... preeeee..et....
Burung itu terus ngoceh begitu gak berhenti - berhenti...
Rupanya Pak Salam terlanjur naik pitam. " Hei burung kafir... ! dasssarrr ! diajak salam kok malah jawabnya gak karu -karuan ! mau meniru tetanggamu itu ya !
dasar Kafir ! kulabrak kau Met...dasar kafir... ! dasar kafir...! dasar kafir....!
Rupanya juga, si beo mulai merasa dilatih empunya belajar kalimat baru " dasar kapiiir....! dasar kafiiiii iiy ! dasar kafiiir... !
Pak Salam tambah kalut lihat burungnya gantian mencemooh dirinya kafir. Akhirnya ia melabrak mendatangi rumah Pak Slamet.
Pak Salam : " Paaaak ! Keluaaaarr... ! ini kenapa burungku kok suaranya jadi gini ! anak -anak sampeyan itu ngajari dia apa !
Pak Slamet : " Lho...sungguh saya nggak tahu...lha wong anak -anak itu sudah saya ingatkan jangan dekat -dekat dengan burung sampean, nanti suaranya rusak..."
Pak Salam : " Lalu kenapa bisa gini !
Pak Slamet : " Ya ndhak tahu pak...pak..kan saya bukan ahli burung. Semenjak bapak titipin, langsung saya taruh dibelakang rumah, pagi sama sore saya kasih makan. Itu aja...wong di sana juga nggak ada yang ngganggu kok.... "
Karena tak ada jawaban yang melegakan, akhirnya dengan geram Pak Salam ngloyor pergi sambil menyumpah serapahi Pak Slamet " Dasar tolol...dasar kafir....kafiirr..kebangetan...kafiirrr...!
Pak Slamet hanya bisa mbatin " yaah....sudah ditolong kok malah mencap orang dengan sebutan gitu ya...udahlah ikhlas saja...hanya Tuhan yang tahu bahwa saya sudah berbuat baik..."
Sambil garuk -garuk kepala, Pak Slamet akhirnya kepikiran juga " Eh, tapi kenaaaapa ya kok burungnya Pak Salam jadi gak bisa ngoceh ? bingung aku ..."
Rupanya Pak slamet tidak sadar kalau bagian belakang rumahnya, tepatnya tempat menaruh beo tadi berdekatan dengan WC keluarga. Jadi secara tak sadar tiap hari beo itu terlatih mendengarkan suara -suara yang ada dalam WC tadi...
" Heks !....preee...et ketek keteeek...ngghhhkh ! Preeee....eeet...heeiiiikkk... aahghh... preeeee..et...."
Pesan cerita : Jangan suka suudzhon mengkafirkan orang. Beo juga bisa !
Tebarkan Salam dengan santun kalau ingin Slamet.
Wassalam, bukan Beo
Dody Ide
Jumat, 13 November 2009
Ternyata Ada Yang Lebih Tinggi Dari Surga
Syahdan, gara - gara Hawa minta yang aneh - aneh kepada Adam, maka terusirlah dua sejoli ini dari surga. Lho ? ini gimana sih ! sudah enak - enak di surga kok masih minta yang lain. Emangnya yang diminta itu apa sih ? kok kayak - kayaknya lebih nikmat dari surga ?
Ini bukan pertanyaan mengada - ada. Tetapi fakta dalam Quran memang menyebutkan bahwa Adam terusir dari surga karena beliau menuruti suatu keinginan yang belum didapat Hawa. Nah masalahnya sekarang, sebenarnya yang membuat terusir itu, karena sesuatu barang yang diingini atau karena sifat ingin itu sendiri ?
Kalau misteri yang diingini itu ada di luar diri, sudah seharusnya kita memecahkan misteri benda apakah gerangan yang lebih menyenangkan dari surga itu ? Benda itu posisinya berada di dalam surga atau di dunia ini ? Kenikmatan apa yang ditawarkan oleh benda itu ?
Toh kalau ternyata misteri itu ada pada sifat dalam diri, kita tetap wajib menelisiknya. Setidaknya harus ada perenungan, kenapa ya... kok sebuah keinginan tak pernah bisa berakhir walau kita telah mendapat nikmat yang berlimpah ruah...
Juga seandainya keterusiran ini akibat pihak ketiga, yaitu iblis, mengapa sih peran pihak ketiga ini pembahasannya dalam berislam lebih berporsi besar dari pihak kedua ( manusia ), bahkan melebihi pihak pertama ( Allah ). Padahal logika peran mengatakan, pihak ketiga adalah pemeran pembantu yang ada dan tidaknya tak kan membuat jalan sebuah cerita terhenti.
Inti intronya, sebenarnya pihak keberapa sih yang harusnya kita besar – besarkan perannya ? Kalau pikiran dan hati kita terlalu tersita pihak ketiga, jangan – jangan kita ini diam – diam meng’akbar’kan pihak ketiga…..waduh gawat !
*
Seperti di kehidupan sehari – hari, cerita Adam Hawa ini ternyata berlaku di rumah tangga. Tak heran para Adam dibekali dengan surat An nisa. Tetapi jangan disalah pahami. Surat ini bukanlah untuk menindas atau menguasai kaum Hawa. Surat ini adalah surat amanah kepemimpinan lelaki.
Yang dimaksud kepeimpinan adalah sesuatu yang sangat berat. Pemimpin adalah orang yang kalau ada perang maju duluan, kalau ada hidangan makan belakangan. Sayangnya kita tidak bisa membedakan apa itu pemimpin apa itu penguasa.
Karena ketidak mampuan membedakan, akhirnya kita berlomba menjadi pemimpin entah mulai tingkat negara sampai yang terkecil tingkat rumah tangga. Padahal semua itu hanyalah sebuah perebutan kekuasaan yang berdasar dari sebuah ketidaktahuan atas keinginan hawa nafsu.
Kita masih di wilayah domain memimpin = menyuruh + diladeni + fasilitas + nama besar. Padahal itu semua adalah kebalikan sifat pemimpin, yaitu sifat penguasa yang identik dengan kezaliman. Konsep kepemimpinan kita masih jauh dari konsep laku keteladanan. Sayangnya, karena ketidaktahuan apa itu kepemimpinan apa itu kepenguasaan, para wanita juga mencoba mengambil alih posisi ini. Maka lahirlah sebuah konsep kesetaraan gender akibat ketidakpuasan ini.
Sebenarnya kasihan kalau ada ibu -ibu sampai termakan isu - isu kesetaraan gender persamaan hak yang dangkal dan banyak digaungkan di dunia modern. Para wanita tak sadar kalau ia mengambil alih sebuah tugas yang berat yang seharusnya tak perlu dipikul. Karena hal itu memang tak perlu sebab sesungguhnya yang kita idamkan adalah persesuaian hak dan keserasian gender. Sebuah kerjasama team yang baik. Bukan persamaan hak dan kesetaraan gender.
Coba kalau isu semacam itu diterapkan dengan jujur. Di mana wilayah ini benar -benar sudah tidak peduli klasifikasi kerja dan pembedaan gender secara konstruksi biologi. Pastilah betapa berat bagi ibu - ibu itu sendiri.
Contoh gampang, ketika musim hujan dan atap rumah bocor. Maukah ibu - ibu dengan ikhlas berkata " Pakne pakne...demi kesetaraan gender, aku saja yang mbetulin atap rumah yang bocor... " waduh...apa gak jadi tontonan gratis orang sekampung.
Atau bapaknya bilang begini, ' Bu, ini televisi kok gambarnya kabur. Mbok ibu yang kerja mbetulin tiang antena di atas..." wah...wah...sudah disuruh di atas, harus mbetulin tiang lagi ...dasar bapak tak punya perasaan...wong tenaganya lebih besar kok maunya di bawah santai -santai...
Tentu masih banyak lagi profesi yang tidak menghormati wanita bila kesetaraan gender itu dijujurkan tanpa agenda tertentu. Misalnya tukang gali sumur, tukang gali kuburan, kuli angkut, tukang becak, dan seputar itu..waduh kok profesi ini gak di urus sama aktifis sosialita ya ? kok yag disetarakan cuma profesi yang enak - enak aja ya ?
**
Kalau saja para lelaki tahu kalau jadi pemimpin itu tidak enak, mungkin tak ada yang mau jadi pemimpin. Enakan jadi makmum, gak susah -susah. Bagaimana mau enak, lha wong pemimpin itu kerjaannya tiap hari menyatukan, merawat, merekatkan, melindungi, mengalah dan memberi sangsi. Ya kalau sangsi itu hanya mengenai istri, lha wong kadang sangsi itu banyak memberatkan yang memberi sangsi itu sendiri.
Contoh gampang, Masak enak laki – laki disuruh memisahkan istri dari tempat tidur ( an Nisa 34 ). He..he..Sebab faktanya tanpa dipaksa dipisahkan oleh suami, sering ibu -ibu malah sukarela memisahkan diri dari urusan tempat tidur. Entah karena kecapekan merawat anak, gak mood, berhalangan atau ada sesuatu keinginan yang belum dipenuhi suami secara maksimal. Lha ini kan sangsi yang bikin para lelaki kedinginan...yang dihukum santai, yang menghukum bingung sendiri.
Bagaimana juga kalau laki - laki lagi diuji ala Nabi Nuh yang istrinya ingkar terhadap segala nasehatnya. Terus mau cari kenikmatan dan keteduhan di mana lagi ? Mau ke surga ? wong surga sudah bukan di sini hare...
Atau ada ujian model nabi Ayub yang gara - gara punya penyakit kulit, beliau diasingkan istrinya. Dan sesungguhnya ujian penyakit kulit kalau dikontekstualkan saat ini sebenarnya bukan kudisan atau panu... lha wong orang kota pada rajin mandi semua kok. Tetapi hakekatnya adalah masalah buruknya kebutuhan luar ( kulit ) manusia, seperti ujian kecukupan ekonomi dan kehormatan sosok eksistensi di mata orang lain.
Mungkin juga ada laki - laki yang takut istrinya nglunjak gara - gara sering nonton sinetron Suami -Suami Takut Istri. Kalau saya pribadi kok malah senang dan nggak ada khawatir. Bahkan saya biarkan nonton sampai puas. Saya menyadari tontonan itu mungkin katarsis pelampiasan istri akibat saya terlalu " kenceng " dan condong bersifat penguasa daripada memimpin dalam berprinsip kesakinahan hidup.
Tetapi kira - kira mungkin setelah berapa puluh episode dan terasa ada yang terwakili istri, saya tinggal bilang dengan santai,
" Itulah contoh suasana lingkungan keluarga dan masyarakat kalau istrinya mencoba menjadi pemimpin tanpa tahu makna pemimpin. Suasan kacau, para lelakinya malas, karirnya tak bisa berkembang, kerjaannya cuma ngumpul di pos ronda tanpa tujuan yang jelas kecuali sekedar melamun dan ngrumpi mencari pendamping hidup yang lebih anggun. Itulah suasana Adam yang menuruti Hawa. Suasana yang terusir dari surga. Akhirnya Adam dan Hawa sama -sama menanggungnya.
Tapi sesungguhnya segala pemaparan cerita kenabian dan Adam Hawa di atas, kalau kita terhenti pada pemahaman kulit akan terjadi ketidakadilan, ketersinggungan dan keberpihakan. Karena jelas - jelas kita lahir di dunia tidak bisa memilih akan jadi laki - laki atau perempuan. Segala cerita itu harus dikupas lagi sampai dalam dan menyentuh sebuah ruang yang tak ada gender. Ruh !
Ketika kesadaran kita berhenti di kesadaran ruh, akhirnya kita hanya tunduk dan bersaksi bahwa kulit luar yang berupa laki -laki atau perempuan hanyalah sebuah media lakon untuk menempuh sebuah kenikmatan sejati. Setiap kejadian pria atau wanita dibekali jalan tersendiri untuk menemuinya. Dan jawabannya banyak di surat An Nisa.
Jadi, intinya sesungguhnya cerita Adam dan Hawa atau ujian para nabi adalah konsep pengendalian diri. Dan pengendalian diri tidak mengenal jenis kelamin. Bisa saja dalam sebuah rumah tangga sang wanita malah berposisi sebagai Adam atau Nuh. Sebab si laki -laki bawaannya pengen macem - macem terus yang gak ada berhentinya. Bahkan sampai menjurus korupsi karena kehabisan dana untuk menuruti nafsu atas sebuah keinginan. Di sinilah para ibu -ibu wajib berperan menjadi Adam atau Nuh.
Kalau kita tahu sejarah, di Nusantara hal semacam ini sebenarnya sudah berjalan sejak lama. Cut Nja Dien atau R.A Kartini adalah salah satu lakon yang tertugaskan menjadi Adam membenahi silang sengkarut pemaksaan hegemoni keinginan atas kesadaran hidup.
Inilah yang disebut keserasian dan persesuaian gender sejati. Saling mengisi. Samasekali bukan urusan kesetaraan perolehan dunia beserta segala anggapannya. Tetapi sebuah peningkatan kualitas kesadaran hidup untuk kembali ke Asal Kejadian. Ruh !
Lalu dari segala model ujian kepemimpinan diatas, ketika terasa berat dan kalut menghadapinya, kemanakah kita mencari pengganti surga ? kemanakah tempat yang teduh tuk berlindung itu ? manakah sesungguhnya yang lebih tinggi dan lebih dekat dari surga ? Sebab surga masih nanti dan jauh di atas sana...
Jangan khawatir, sebab ternyata yang lebih tinggi dari surga adalah pemilik surga itu sendiri. Allah SWT.
Sungguh, kalau kita mencari surga, itu masih urusan nanti. Juga belum tentu dapat. Tetapi kalau mencari Allah, bisa sekarang dan pasti dapat ketenangan sejati. Pakai saja modal dua ayat , hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram, Allah lebih dekat dari urat leher ( Ra'd : 28 & Qaaf : 16 ). Enak toh, manteb toh...apa masih kurang Allah berfirman sedemikian gamblangnya ? Akankah kita membuat ayat sendiri yang lebih tinggi dan lebih jelas dari itu ?
Inilah yang disebut surganya surga. Sebuah kenikmatan tiada tanding. Sebab di luar itu hanyalah sebatas sebuah kenikmatan yang masih bersifat angan -angan, nggak riil. Tapi wong namanya angan -angan rasa ingin tahu itu pasti selalu asyik dan bikin orang ketagihan. Mintanya lebih, lebih dan lebih...kayak narkoba.
Sedang nikmat kehadirat Allah bila dipenuhi, wuiihh… jangan tanya..surga tidak ada apa-apanya...semakin kita berposisi lebih dekat, semakin terburailah dada ini…selapang Padang Mahsyar…gak ada matinya…gak ada bosannya...
Ah...ternyata kenikmatan itu hanya ada dua yaitu nikmat kehadirat Allah dan nikmat akan rasa ingin tahu alias angan - angan . Naasnya, rasa ingin tahu ini bila sudah di penuhi, nikmatnya hilang. Seperti kita ingin mobil baru, nikmat ketika masih berangan - angn akan memiliki jauh lebih excite ketimbang ketika mobil itu sudah di tangan. Seiring mobil sudah kita miliki, rasa nikmat itu perlahan mulai memudar berganti dengan rasa repot mempertahankan dan merawatnya. Persis seperti kejadian Adam Hawa
***
Sekedar pelepas penat, Future ( funny ) story : Kelak ketika orang - orang digolongkan berjajar paralel baris berbaris menuju antrean neraka dan surga, eeh..jangankan ahli maksiat, Kyai dan Ustadz ternyata banyak juga yang berada di barisan menuju neraka. Usut punya usut kesalahan beliau persis seperti kesalahan Adam. Terlalu menuruti sebuah keinginan.
Yang mengagetkan, di barisan neraka lha kok ada para pakar spiritual yang tersohor. Waduh ! gimana nih ? yang top spiritualnya saja kok masih berada di barisan neraka...
Lebih mengagetkan..JLiNG ! lho..lha kok saya berada di barisan surga ? Apa gak keliru ?
Tentu saja hal ini membuat ketidakterimaan para pakar spiritual. Akhirnya dengan sedikit marah, beliau mendamprat saya. " Dod ! kamu ini kok bisa-bisanya masuk barisan surga sih ! udah sholat pas - pasan...ilmu agama juga cethek..! sedangkan kami yang mati-matian belajar agama, sholat khusyu dan pasrah enthek ngamek kok malah baris di bagian neraka. Emangnya you punya rahasia apa sih ? "
Dengan santainya saya menjawab " Swear ! saya ini nggak punya rahasia apa -apa...lha wong saya di barisan ini cuma disuruh istri paaak...paaaak....hiks...nasiiib nasiiib..."
Tapi saya percaya kok, para pembaca ini semuanya adalah ahli surga yang paten tak diragukan. Walau ke sononya melewati jalan neraka dulu ...halah....!
Tapi jangan terhenti perolehan surga. Kalau ingin keluarga sakinah, berharaplah selalu "gandeng renteng" dengan Allah sebagai pusat ketenangan, surganya surga. Sebab kalau terhenti di surga seperti yang kita idamkan selama ini, kasihan ibu -ibu. Kan kalau bapaknya dapat bidadari, lha ibu - ibu masak dapat bidadara ? apa ada dan gimana cara membayangkan bidadara itu ?
Belum lagi nanti anak -anak pada nanya sama ibunya " Bu, bapak di surga polygami ya ? kok nggak sama ibu sih ...? apa ibu gak cemburu ? terus ibu sama siapa... ? lha kita - kita sebagai anak ini kan pengen keluarga utuh rukun di surga tanpa ada pihak ketiga !
Terus ngejawabnya gimana hayo...
Itulah keinginan....selalu membuat orang terperangkap dalam ruang keliaran pikiran dan keragu - raguan....neraka paling samar...
Wassalam
Dody Ide, Pencari surganya surga
Kamis, 29 Oktober 2009
Pengantar Penghangat sekaligus pendingin bathin
Rileks sejenak...terlalu banyak posting serius...saatnya dengerin lagu -lagu penghangat sekaligus pendingin bathin
SUJUDKU :
Indosat ketik : SET 1808543 kirim ke 808
XL ketik: 10505309 kirim ke 1818
Telkomsel ketik: RING ON 3660156 kirim ke 1212
Esia ketik: RING 3660156 kirim ke 888
Axis ketik: ON 3660156 kirim ke 333
Three 3 ketik: 3660156 kirim ke 1212
Ceria ketik: RING ON 3660156 kirim ke 234
Mobile 8 ketik: RINGGO SET 350251496 kirim ke 2525
Flexi ketik: RING SUB 5660069 kirim ke 1212
ALLAHURRAHMAN :
Indosat ketik : SET 1808541 kirim ke 808
XL ketik: 10505310 kirim ke 1818
Telkomsel ketik: RING ON 3660157 kirim ke 1212
Esia ketik: RING 3660157 kirim ke 888
Axis ketik: ON 3660157 kirim ke 333
Three 3 ketik: 3660157 kirim ke 1212
Ceria ketik: RING ON 3660157 kirim ke 234
Mobile 8 ketik: RINGGO SET 350251596 kirim ke 2525
Flexi ketik: RING SUB 5660070 kirim ke 1212
HILANGNYA SEBUAH HATI :
Indosat ketik : SET 1808542 kirim ke 808
XL ketik: 10505311 kirim ke 1818
Telkomsel ketik: RING ON 3660158 kirim ke 1212
Esia ketik: RING 3660158 kirim ke 888
Axis ketik: ON 3660158 kirim ke 333
Three 3 ketik: 3660158 kirim ke 1212
Ceria ketik: RING ON 3660158 kirim ke 234
Mobile 8 ketik: RINGGO SET 350251696 kirim ke 2525
Flexi ketik: RING SUB 5660071 kirim ke 1212
Wassalam, semoga badan jadi rileks, hati jadi adem...
Sabtu, 10 Oktober 2009
Dialog Kuburan
Kelak di kuburan...
Malaikat : " Apa agamamu ? "
mayit : " Islam ! "
Malaikat " Islam itu apa ?"
Mayit : " Pokoknya I.S.L.A.M ! "
Malaikat : " hmmh...siapa Tuhanmu ? "
Mayit : " Allah ! "
Malaikat : " Siapa Allah ? "
mayit : " Tuhanku ! "
Malaikat jadi mbatin " kok mbulet gini ? "
Malaikat pun balik ke Arasy lapor protes sama Gusti Allah ..
" Duh Gustiiii.....masak tugas saya dari dulu sampe sekarang cuma nanyai milyaran orang dengan pertanyaan yang sama dan hampir dipastikan sebagian besar jawabannya cuma gitu thok ! kok gak ada jawaban yang bersifat tafakur dan dialogis ?
" Bukankkah Engkau menciptakan Adam dan keturunannya sebagai satu2nya mahluk yang punya kemampuan berdialog, berfikir dan merenung ?"
" Bukankah Engkau telah memfirmankan bagaimana Ibrahim mencari Engkau dengan proses yang berliku dan tidak sekedar katanya bin katanya ?
" Tapi kenapa ayat2 itu tidak pernah mereka gunakan sebagai jalan mencarimu ? kenapa mereka lebih sering latah ikut2 an katanya bin katanya ? padahal bukankah dalam firmanMu Engkau melarang orang mengikuti segala sesuatu tanpa disertai pengetahuan didalam dirinya... ?
Tuhan : " Akulah Maha Rahmatan Lil Alamien...semua adalah Made In KU...dan pastilah kembali padaKU...suka atau tidak...terpaksa atau tidak...tahu atau tidak...yang penting biarin aja mereka hidup senang di dunia..dan sesungguhnya kesenangan di dunia hanya satu...La tadmainulqulub ila bidzikrillah..tak kan ada hati yang dapat tenang , bergembira, suka ria..selain tahu dan ingat kepadaKu...
" Masalahnya, apa mereka bisa ingat kalau ketemu dengan Ku saja belum pernah ...?"
" Apakah Sampean Bisa Mengingat Saya Kalau Ketemu Aja Belum Pernah ? "
WSB
dody Ide
Jumat, 18 September 2009
Riyoyo yo !
Seberapa dalam hati kita memaafkan
Seukur itulah kerinduan kita pada Pencipta
Sehening diri seseorang memahami yang lain
Sekhusyu' itulah ia bermihrab di hati Semesta
Seberapa jauh kita memaafkan diri sendiri
Seluas itulah kita memahami pohon kejadian
Seberapa cepat kita melepas maaf
Sekilat itulah kita menangkap makna tersembunyi
*
Memohon maaf adalah jiwa ksatria terlembut
Ia bukan lagi milik pria atau wanita
Ia hanya dapat dicapai
Dengan sebuah ketundukan dan kesadaran
Bahwa
Kita menghirup satu udara yang sama
Desah nafasmu adalah hirupan nafasku
Tak terpisah
Ini bukan puisi
Ini sekedar sebuah kata "entah"
Tentang ketidakbisaan mengucap maaf
Yang semestinya
Mohon Maaf Lahir Bathin
Selamat Idul fitri
1430 H
Rabu, 19 Agustus 2009
Rasulullah yang Puasa, Rasulullah yang Hidup Syahid
Sebentar lagi kita memasuki bulan puasa. Pertanyaan sederhana, seberapa puasa diri kita atau seberapa puas diri kita atau bahkan seberapa tidak puaskah diri kita.
Rasulullah sangat paham dan expert dalam bidang ekonomi. Peninggalan kantor administrasi Khadijjah coorporate nya masih dapat dilacak jejaknya di sepanjang jazirah Arab. Beliau juga mampu mendidik sahabatnya sampai mempunyai kekayaan layaknya Warren Buffet era kini, dan itu real cash passive income mencapai lebih 200 milyar sebulan per individu, bukan sebatas pergerakan saham bluechip yang derivatif - fluktuatif.
Tetapi dalam hidupnya, beliau sangat puasa. bajunya hanya tiga pasang, hidupnya hanya di petak rumah tak lebih dari RSS jaman sekarang.
Kalau Musa mampu membelah lautan, Muhammad bahkan lebih. Beliau malah mampu membelah bulan secara sempurna kemudian menangkupkannya kembali. Dan bekas guratan belahaan itu memang benar -benar ada dan bisa kita lihat, tentu bagi yang suka ilmu astronomi hal ini tak terbantahkan fakta ilmiahnya. Tetapi Muhammad bukanlah orang yang menggunakan kekuatan seperti itu untuk melumat orang yang memusuhi layaknya karakter Musa yang menenggelamkan Firaun.
Beliau sangat berpuasa untuk tidak meneror yang memusuhinya, walaupun sangat mampu.
Muhammad adalah pewahyu Quran yang melompati kemutakhiran segala jaman. Beberapa ulama scientis Indonesia secara diam-diam ( karena kurang mendapat respon luas dalam negeri ) telah mendapatkan penghargaan tertinggi di Jepang, British Library dan Yayasan Einstein berkat penguakan bahwa di balik susuanan ayat, jumlah kata, karakter huruf, rincian kalimat adalah kompleksitas rumusan ilmu pengetahuan eksak plus non eksak tercanggih, sangat rasionil dan sangat tak terjangkau di kekinian ( irrasionil ).
Para beliau melihat rahasia ini begitu mudahnya persis seperti para ahli kimia melihat rumus H2O atau proton neutron yang bagi orang awam sudah bikin pusing...
Ah, tetapi ketawadhuan beliau, kesederhanaan beliau mampu menyelimuti rapat hal -hal yang demikian sehingga seakan-akan dibalik kedigdayan dan supra kecerdasan itu, Muhammad malah lebih menonjol ke"ummi"annya. Dan memang begitulah prasarat seorang massanger paripurna. Sosok itu haruslah sangat rendah hati, punya kemampuan menahan diri untuk tidak menonjol dan punya kemampuan menemani segala lapisan masyarakat.
Kalau dalam isitlah Jawa, kesuperan Rasulullah ini dikenal dengan rumusan dua konsep " nglurug tanpo bolo ' alias menghadapi seseorang dengan jiwa besar seorang diri tanpa membawa bala tentara, entah yang bersifat pasukan beneran, pasukan keturunan darah biru, pasukan referensi ilmu pengetahuan, pasukan gelar, pasukan kekayaan, pasukan jaringan politik dan lain sebagainya. Dan berdampak pada konsep kedua, " menang tanpo ngasorake " alias unggul tanpa merendahkan. Flat, sejajar.
Rasulullah lebih mengutamakan pembicaraan dari hati kehati, alias dari ruh ke ruh. Sebab di luar itu kurang menyentuh ruang universal, alasannya sederhana, tidak semua orang pandai, tidak semua orang kaya dan tidak semua orang berasal dari keturunan yang menguntungkan.
Dan memang faktanya, adakah yang yang lebih universal dari ruh ? sampai - sampai begitu agung posisi ruh ini ditegaskan dengan kalimat "mirruhi" oleh Allah - sebuah ungkapan yang sangat pribadi dari Allah sendiri. Kalau ilmu, harta dan ketubuhan ya sudah selesai hanya sampai pada prosesi pemakaman. Sebab semua itu hanyalah bekalan penguakan kesyukuran atau kekufuran hidup di dunia.
Sesudah fase itu, pertanyaan awal cuma satu, " Man Rabbuka ". Dan nggak mungkin jawabannya keluar konteks misalnya " lho posisi saya kan ulama kok nanya gitu sih.. lha kan saya ini sudah berfikir mati-matian atas kejadian alam...saya ini sudah berderma kemana - mana lho...saya anaknya ustadz lho...dll. Padahal jawaban yang dibutuhkan cuma singkat, jelas dan cepat, " Ya Ini...Allah..". Bukan ya itu, bukan ya sana, buka ya di antah brantah, bukan ya nanti...bukan ya tak terjangkau...
Tetapi sesungguhnya konsep Innalillahi wa inna ilaihi rajiun bukan hanya ditujukan kepada orang yang mati saja. Konsep ini seharusnya berjalan dalam diri kita detik demi detik seperti keluar masuknya nafas. Ketika dalam hidup seseorang hanya bisa berkata innalillahi tetapi tak mampu meneruskan penggalan kalimat wa innalillahi rajiun, maka sangat mudah dipastikan orang tersebut akan mudah stress, gedhe rumongso, merasa paling bisa dan sejenisnya.
Tetapi nggak usahlah kita membahas sifat orang, toh sebenarnya hal itu sudah menyiksa bagi pelakunya. Biasanya ketidaknyamanan lambung, tengkuk, daerah mata dan dada sudah menjadi imbalan pasti.
Wa inna ilaihi raajiun adalah konsep puasa sesungguhnya seperti yang dicontohkan Rasulullah. Konsep ini sangat bertalian erat dengan aplikasi ucap alhamdulillah. Tetapi lucunya, kita ini kalau bilang kalimat hamdallah masiiih sajjja diembel-embeli kalimat pelengkap keakuan diri.
Tidak percaya ? coba, betapa lancarnya kita tidak sadar ngomong misalnya" alhamdulillah...akhirnya sempurna sudah karyaku ini. Lho? yo opo se rek..! lha wong sudah bilang Alhamdulillah yang berarti segala puji bagi Allah, lha kok masih memuji kesempurnaan karya sendiri. Allah ya Allah, nggak usah ditambahi dengan ku - ku yang kecil tapi suka ngeyel ini.
Bentuk kongkrit fisik konsep innalillahi wa innalillahi rajiun yang kontekstual pada jaman ini, kalau meluruskan konsep demokrasi, seharusnya adalah dari Allah, oleh Allah, untuk Allah. Misalnya Bahwa hutan adalah pemberian dari Allah, maka selanjutnya konsep "oleh Allah" adalah pengelolahannya harus berdasarkan rujukan - rujukan Quran yang berfungsi memakmurkan bumi.
Namun memang paling berat adalah titik tumpu kalimat wa inna ilaihi atau " oleh Allah" ini. Sering kali karena kita emosi, segala sesuatu daya yang di"oleh"i Allah kita anggap kitalah yang berdaya. Seakan-akan kita lah yang menentukan gerak jutaan partikel atom dalam diri. Sepertinya kita sendiri yang mampu memompa jantung, menggerakkan aliran darah. Sampai - sampai sistem otomatis yang begitu hebat ini kita anggap biasa dan nggak perlu kita telisik titik sumbernya.
Dan pembelokan - pembelokan ini yang menyebabkan kita keluar dari jalan lurus ihdinassirathal mustaqim. Sehingga seakan -akan walau kita ini sungguh - sungguh punya niat berjihad Islam, tetapi banyak sekali realitasnya yang mengedepankan nafsu "gedhe rumongso". Seakan -akan tanpa keringat kita, Islam akan hancur, akan musnah, akan selalu dalam kebodohan.
Sik..sik kita ini siapa sih ? wong kita ini debu...dan mampukah setitik debu ini mengubah arah angin ? tak terbalikkah ?
Lho, tapi bagaimana dengan konsep ikhtiar ? Mungkin sudah mblenger kita dengar nasehat pak kyai yang menyitir Quran " Allah tidak merubah nasib suatu kaum hingga kaum itu merubah diri sendiri ". Memang, hal ini sering kita kaitkan dengan perubahan nasib dari kurang untung jadi berubah mujur.
Tetapi yang sering kita lupa meneliti, ayat ini ( Al Anfal 53 ) begitu jelas menyebutkan kalimat " nikmat yang telah diberikan ". Maknanya, sesungguhnya nikmat kita ini tiap hari bertambah, tetapi penyikapan pada titik bersyukur yang sesungguhnya tak pernah kita rubah.
Sebelumnya dalam hal ini, mohon maaf, saya bukan ahli tafsir, tetapi Quran adalah pegangan hidup. Jadi di wilayah ini tidak saya tafsir, tetapi saya benturkan dengan realitas keseharian saja.
Kalau perubahan secara fisik saja, toh apa artinya. Tanpa ikhtiar pun mekanisme sunatullah Allah akan memaksa pada keadaan itu karena janji Allah akan menggilirkan kejayaan suatu kaum secara bergantian. Dan intinya lagi-lagi agar umat atau suatu kaum supaya bersaksi dan belajar ( Ali Imran 140 ).
Pertanyaannya, sejalankah perolehan materi ini dengan rasa bahagia dalam diri ? kenapa negara maju tingkat stress dan angka bunuh dirinya lebih banyak ? kenapa Pakde Di bisa tidur pulas di becaknya padahal debu dan suara jalan raya begitu bising, sedangkan teman saya yang keluarganya punya padhang pasir biji timah hitam dan berumah banyak masih insomnia ?
Lalu sesungguhnya apa sih yang Allah perintahkan agar kita berubah ? tentu adalah mental dan penyikapan - penyikapan kita terhadap realitas.
Konsep oleh Allah adalah, konsep syahadah. Sebuah konsep penyaksian yang gampang - gampang mudah. Sebuah konsep di mana seorang hamba diperintah full bersaksi atas segala kejadian, dipaksa untuk mempelajarinya, dan diwajibkan ( kun ) untuk mencari jalan keluar terbaik ( bil hikmah ). Tiga hal inilah yang seharusnya kita sebut dengan konsep hidup syahid. Sebuah konsep yang tantangannya luar biasa.
Sampai - sampai rasulullah mengajarkan bahwa awal berislam adalah syahadah, bersaksi dalam keadaan hidup. Tentu beliau lah maestro hidup syahid, dan beliau tidak mati syahid bila dikaitkan dengan qital. Tetapi apa kita meragukan bahwa beliau tidak mati syahid ? monggo dijawab sendiri -sendi...ri...
Begitu capek deh nya hidup syahid ini. Bagaimana tidak, konsep syahadah, konsep iqra dan konsep bil hikmah harus selalu jalan bareng tanpa ada yang tertinggal salah satunya. Titik tujuan akhir tiga hal inilah yang disebut rahmatan lil 'alamien.
Kadangkala, mengidealkan hidup syahid inilah yang membuat orang frustasi dan dengan mudah melegalkan konsep mati syahid secara sembrono. Padahal semasa hidup rasulullah aturan mainnya sangat ketat. Sampai-sampai Sayyidina Ali saja tidak jadi membunuh musuhnya hanya karena beliau teliti ada pergerakan hati yang diselimuti hawa nafsu pribadi. Padahal peluang menghancurkan 100 % ada.
Dan kejadian seperti ini memang tidak mudah dihadapi, terbukti ketika penahlukan kembali kota Makkah oleh rasulullah, banyak sahabat yang keburu nafsu balas dendam karena pernah diperlakukan semena -mena. Tetapi untunglah panutan kita adalah Sang Paripurna Rasulullah Muhammad, bukan Musa. Sehingga hari yang awalnya direncanakan sahabat sebagai hari pembalasan, diganti beliau dengan hari kasih sayang.
Bayangkan juga bila nabinya Nuh, pasti deh..Makkah sekarang sudah jadi danau...
Wilayah tauladan penyikapan ini, bila tidak segera kita selesaikan, kita hitung sendiri ke dalam diri, lambat laun secara samar akan menjadi buah kerumitan diri. Dampaknya, supaya semua olah karya, keringat dan darah ini menjadi kooptasi momentum ego diri, seringkali sesuatu yang mudah jadi diperumit supaya terlihat eksistensi diri. Walaupun sesungguhnya pengorbanan atas hal semacam itu sangatlah mahal dan berpotensi memakan korban sekitar, entah berupa tatanan sosial bahkan nyawa.
**
Wa ba'du, Inti tulisan ini sekedar mengajak kembali pada sebuah kesederhanaan, berani berdamai dengan diri sendiri dulu, mengendapkan segala yang seakan - akan, dan belajar jadi orang biasa saja. Sebab Muhammad adalah nabi yang paling biasa dan sederhana diantara 25 lainnya.
Kenapa sih malu pada kesederhanaan dan takut jadi orang yang biasa - biasa saja ? Padahal Allah sendiri tidak pernah gemagah dan malu membuat kalimat atau konsep wahyu dengan judul yang sangat biasa, seperti An Naml ( semut ), Al Baqarah ( sapi betina ), Al Ankabuut ( laba-laba ), Al jaatsiyah ( berlutut ) ...
Lha kalau kita ini, demi sebuah elisitas kecanggihan keluar diri, karena kebanyakan nonton TV, wong cuma sekedar haus saja kadang kita ngomong " gue lagi butuh isotonik cairan elektrolit neh..lagi dehidrasi ". Mungkin yang berprofesi dokter akan tertawa geli melihat dialog itu. Lha wong itu lho... cuma campuran gula garam buat obat mencret.
Atau mungkin supaya lebih terlihat macan intelek, kita pakai bahasa gini " Tubuh saya lagi butuh Na+, K+, MG2+, Ca2+...karena terjadi asyncronisasi energi ". Mungkin malah pedagang di pasar yang nimpali omongan, " lho mas itu degan ijo kok bahasanya jadi rumit ya ? ini lho tak kasih gratis...! di sini over quota mas, kita kan stockist ( he..he..gantian pedagang kelapa mudanya sok pakai bahasa bisnis ).
Ah, kita ini terlalu berperayaan lebaran kata - kata, tetapi puasa kelaparan makna...tak pernah punya kesanggupan meringkas dan mengembalikan segala kejadian sampai pada titik puasa sesungguhnya alias ummi...
Akhirnya kita tidak mampu betah memasuki ruang puas alias bersemayam dalam rasa syukur abadi sebagai abdi yang punya kehangatan hubungan dengan Khaliknya.
Dan sungguh sayang bila waktu ramadhan yang konon katanya setan-setan dibelenggu, ternyata kita tetap tidak bisa mempuasakan cara bertindak, berfikir dan berbicara.
Tapi ya nggak apa -apalah kalau kita anggap riwayat setan dibelenggu itu hanya doktrin obsolet, lha wong memang sekarang jamannya setan kesurupan manusia....he..he..setannnya dah dibelenggu, tapi manusianya memaksa memasuki alamnya yang penuh bara...nggak bisa hening tenang layaknya lailatul qadar yang diidamkan....
Wassalam, pencari seribu bulan
Dody Ide
Rabu, 05 Agustus 2009
" Tak Gembol kemana - mana "
Dalam tahun ini saya telah kehilangan beberapa orang yang menjadi contoh laku hidup yang baik. Dua yang terakhir adalah : pertama, teman bercanda, sahabat, orang tua sekaligus pembimbing hidup. Tak perlu sebut nama, toh beliau bukan konsumsi publik dan jauh dari potongan ngetop. Yang penting saya bisa menyaksikan dengan mata kepala bahwa : beliau ikhlas dalam membimbing saya. Tak sepeserpun minta imbalan. Baik melalui keringat, ataupun harta sepeserpun, entah atas nama sodaqoh, mahar ataupun infaq. Bahkan beliau selalu tombok..
Hal lain, dalam sakitnya yang lebih dari setahun hanya terbaring dalam tidur, beliau tak pernah mengeluh. Bahkan setiap ucapannya hanyalah canda tawa dan cuma satu pesan : "sing kenceng" alias yang lurus. Hidup cuma ikut Satu.
Bahkan dengan santainya beliau berpesan pada keluarga : Minggu depan pukul 16.30 persis saya sudah kembali ke Asal. Jadi kamu-kamu nggak usah sedih. Bergembira saja, bikin kambing guling atau apalah..hidup yang enak.. Dan benar, tiga hari sebelum meninggal, beliau mandi bersih, puasa bicara, plas...! persis tiga hari kemudian pukul 16.30, Kamis, beliau wafat dengan senyuman sumeleh.
Ah, tapi tiga paragraf di atas bukanlah bagian penting untuk anda baca. Lewati saja...karena memang siklusnya demikian. Karena toh beberapa tahun ke depan kita juga akan banyak kehilangan para penjaga ruhani. Nggak perlu terlalu larut, toh ada tunas baru yang akan di persiapkan Allah, walau terasa agak lama kalau kita nggak sabar.
Contoh laku hidup kedua, tentu saja konsumsi publik, dan ini yang akan kita ulas. Adalah Mbah Surip.
Setelah meninggalnya sahabat dan pembimbing saya, eh..anak saya kok ya serasa menyindir saya terus. Lagu mbah Surip tak gendhong kemana - mana selalu dia diplesetkan " tak gembol kemana - mana, bauk tauk ! ". Plak ! syair plesetan itu memaksa saya untuk kembali berposisi ihdinasiraatal mustaqim...
Apa beda tak gendhong dengan tak gembol ? Filosofi dan pemaknaan tak ghendong adalah posisi mendekap, mengayomi, menyenangkan dan mengantarkan.Tak gendhong identik dengan kekuatan dalam kelembutan.
Sedangkan tak gembol masih wilayah mental khawatir, egosentris, takut kehilangan, dan mental keterpaksaan akan sebuah kewajiban. Tak ada kesadaran dan kebesaran hati. Tak gembol selalu membawa beban, sarat permasalahan. Gembolan adalah sesuatu yang rasa - rasanya hanya ia pribadi yang memiliki dan sifatnya juga sangat pribadi. Dan gembolan orang modern tentunya berupa dompet atau hp beserta segala isinya....
*
Kalau kita melihat Mbah Surip secara dangkal, mungkin kita hanya menyamakan dengan kengetopan artis umumnya. Padahal dalam kandungan ruhani beliau, ada sesuatu yang luar biasa. Syair yang demikian mudahnya masuk ingatan, bukanlah suatu kebetulan. Perjalanan panjang hidupnya adalah kekuatan syair itu. Ini semacam lagu jaman wali Lir-lir yang bagi kebanyakan orang nggak paham kandungan nilai, dianggap sekedar nyanyian pelepas penat.
Karakter lagu lir ilir atau tak gendhong ini adalah karakter patrap. Karakter yang bisa mengakomodir setiap pejalanan ruhani tergantung dimana ia berada. Dalam arti trap -trap atau wilyah pijakan akan men"jujurkan" dimana sesungguhnya seseorang bermukim di wilayah bathin masing-masing. Tentu untuk di bimbing sampai tujuan akhir. Kalau kita menganggap lucu ya lucu, mainan ya mainan. Tapi bagi yang terbuka kesadaran spiritualnya, tentu hal itu bukanlah syair sembarangan.
**
Ketika dalam sebuah pentas panggung kecil mengatakan bahwa lagu ini diciptakan ketika berada di Amerika, banyak orang menganggap guyonan. Orang terlanjur menganggap remeh dan tidak mungkin benar orang ini. Seperti biasa, belaiu tidak merasa terhina karena eksistensinya yang sering keliling dunia tak diakui. Jawabannya hanyalah.."ha..ha..ha I love you full " bukan main ! cibiran dibalas cinta !
Karakter Mbah Surip adalah orang yang tak tega menggurui, mengingat beliau seniman yang berolah rasa. Setiap kata yang disampaikan adalah sindiran atau nasehat super halus sehingga kita yang menyimak seakan menganggap itu bukan nasehat atau sindiran.
Coba kita lihat korelasi syair tak gendong dan wawancaranya oleh satu koran. Beliau menyebutkan bahwa tak gendhong itu adalah filosofi bis umum. Setiap penumpang siapapun dia, entah pencopet, karyawan, bos atau pelajar ya sama-sama diantarkan ke tujuan tanpa pilih kasih.
Lha kalau saya yang jadi Mbah Surip, supaya meyakinkan penyimak dan terkesan berwibawa, pasti pemilihan kata saya lebih menjurus sok intelek atau sok alim. Pasti kalau saya yang diwawancarai banyakan njawab model begini " tak gendhong itu kan sesungguhnya prinsip dienul Islam. Kosmologinya masuk wilayah Rahmatan lil alamien. Ketika seorang menjadi kyai,ustadz atau warasatul anbiya, ia harus mempunyai hati super lapang dan wawasan luas, entah mulai wawasan jadoel perdukunan sampai post modern. Mulai mahluk halus genderuwo sampai inti atom "
" Sebab bila tidak demikan, ia hanya jadi bahan tertawaan karena tidak bisa mengantarkan penumpang yang bermacam-macam profesi sampai tujuan yang semestinya. Kendaraannnya masih kelas kendaraan pribadi yang hanya bisa mengangkut orang tertentu yang ia kenal dan sukai. Alias belum sampai tahap rahmatan lil alamien "
Syair lain seperti bangun tidur, tidur lagi, bangun lagi tidur lagi...kalau bangun terus mandi ...senam pagi ...kalau lupa tidur lagi, juga bukan main ! Nggak mungkin seorang yang pernah menjadi engineer ahli pengeboran minyak kelas multinasional hanya terkesan berucap ngawur tanpa ada pesan mendalam yang sesungguhnya.
Sekali lagi, sekedar mencoba mblejeti, sesungguhnya syair itu mengidentikkan bahwa bangun adalah makna kesadaran. Tidur adalah makna ketidaksadaran alias kehilafan. Dan proses manusia selalu pada wilayah itu. Belajar, berjuang, jatuh lupa lagi, memulai lagi, membersihkan diri dan refreshing tafakur ( mandi dan senam pagi ) dst..Dalam hal bertauhid ya berarti orang itu kadang ingat kadang lupa, alias kadang kafir kadang mukmin. Dan jiwa murtad ini bisa terjadi detik demi detik silih berganti. Nggak nunggu murtad secara formal. Jadi hati-hati bikin statement mengkafirkan atau memurtadkan orang...
Ada juga lagu yang saya suka...aku sudah sembuh..aku jadi ganteng. Ini semacam pergumulan bathin seorang anak manusia yang berhasil melewati kekusutan alur pikiran untuk menemui kekhusyukan diri. Jangan dibayangkan model kehusyukan Mbah Surip dengan model kita. Wujud kekhusyukannya adalah ha..ha..ha..Tertawanya adalah aplikasi memandang bahwa semua itu Satu adanya. Sebab kata kekhusyukan toh berasal dari makna awas, tersadar, terjaga, terbebas merdeka....
Siratan syair ini mengungkapkan pernyataan tersembunyi bahwa beliau sudah sembuh dari tekanan peradaban dunia. " aku masuk ruang hampa, lima menit kemudian aku berubah jadi ganteng ha...ha..ha.." Itulah ketauhidan beliau. Memasuki wilayah hampa tak ternilai, tak terhingga, tak terucap, tak terfikir, sangat luas dan nyaman. Sehingga sejenak saja orang yang pernah memasuki wilayah itu, hidupnya jadi ganteng, sip tenan....
Dan terakhir cita- cita beliau 40 hari sebelum meninggal sudah berpesan ingin punya helikopter. Orang - orang pada tertawa. Padahal pemaknaan helikopter adalah sebuah sarana transendental ilahi. Beliau ingin mi'raj tanpa take off yang terlalu memakan lahan. Sifat helikopter tidak seperti pesawat terbang. Helikopter hanya membutuhkan lahan sedikit untuk naik secara vertikal.
Pesawat terbang itu ketika akan menuju langit butuh lahan yang panjang. Maksudnya orang kebanyakan seperti kita ini kalau mau ngomong syukur kan nunggu cita-cita terlaksana. Tentu saja cita-cita itu selalu berhubungan dengan perolehan kandungan tanah. Rata-rata orang bisa khusyu setelah fasilitas rumah, mobil, perhisan dan sejenisnya tercukupi dengan lengkap, bila perlu lebih. Baru setelah terpenuhi semua, orang dengan gagah berani merasa paling dekat dengan Tuhan.
Prinsip ini telah beliau buktikan kesetiaan pada dunia kreatifitasnya yang berpuluh tahun tanpa tersentuh hasil kemakmuran dunia. Tidak harus nunggu sukses untuk menyetiai perjalanan hidup. Bahkan setelah royalti bermilyar -milyar, ia tetap hidup sederhana merasa gak punya apa -apa. Cita -citanya hanya ingin membagikan hartanya pada anak yatim piatu.
Seakan-akan Mbah Surip menyindir," Ah..coba kalau semua perolehan itu tidak kamu miliki atau dikukuti satu persatu. Bisakah kamu terbang menjulang tinggi gagah berani seperti Kanjeng Nabi ? Bagaimana bisa kamu ingin mendapat hidayah khusyu' sedang di dalam pikiranmu masih suka nyanyi tak gembol kemana-mana ? "
( Tulisan ini sekedar mengingat dua tokoh yang bagi saya pribadi sudah pada wilayah tak gendhong....orang yang tahu tapi tak pernah merasa tahu...)
Wassalam, belum kuat nggendhong
Dody Ide
Senin, 03 Agustus 2009
Pokoke Allah, Poke , Plok !
KALAU mindset kita selalu berfikir tentang uang, maka apapun akan mengarah pada uang. Batu, makanan, nilai budaya, doktrin agama, limbah pabrik, sistem negara, frekwensi, sampai anak sendiri pun akan berakhir pada tujuan perolehan aset keuangan.
Seorang yang sangat mencintai ilmu, apa saja pasti akan dijadikan sebuah bidang keilmuan. Mulai fenomena alam sampai cara mencopet akan ia pelajari dengan sungguh-sungguh. Bahkan Tuhan pun diurai dijadikan sebuah rumus keilmuan. Dan ia akan selalu menjadi ahli di bidangnya sesuai sifat ilmu itu sendiri. Tentu, terlepas dari urusan relativitas benar-salah.
Tak lepas jika mindset kita pornografi. Bisa jadi lubang kunci, pensil, pisang, salak atau susu bayi pun sudah sangat bisa mendorong seseorang berfantasi selangit. Entah itu sifatnya imajinasi pengharapan atau kejijikan yang selalu menjadi bahasan berulang-ulang.
Akhirnya ketika kekurangan uang, ilmu ataupun bahan pornografi, kehidupan kita seakan mengkhawatirkan dan membosankan. Tak bergairah. Hambar.
Demikian juga bila kita melatih konsep Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun dan la haula wa laquwwata ila billah. Maka segala gerak kehidupan, permasalahan dan segala perniknya akan sangat mudah untuk dikembalikan kepada Allah.
Kehidupan akan jauh terasa lebih ringan. Mengasah jiwa ikhlas akan lebih mudah. Sebab konsep Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun dan la haula wa laquwwata ila billah bukan lagi hanya terhenti pada protokoler ucap mulut dan angan fikiran. Tetapi telah menyublim menjadi realitas laku keseharian, bahwa kita ini tidak ada-apanya. Fana.
Akhirnya juga, dengan kesadaran penuh, keseharian akan terasa hampa bila segala kejadian tak mampu diumpan balik kepada Allah sebagai Maha Pusat Segala Kejadian. Terlepas kita ini seorang agamawan atau orang biasa-biasa saja. Seorang pejalan ruhani atau seorang pendosa sekalipun. Ukurannya sederhana, ikhlas atau tidak.
Itulah kenapa membaca surat Al Ikhlas sebanyak tiga kali, pahala atau muatannya sama dengan membaca seluruh isi Al Quran. Bagaimana tidak, dalam surat yang sering dianggap suratnya anak baru belajar ngaji ini, titik tumpunya adalah penembusan mental ketauhidan yang luar biasa. Kalau sekedar membaca sih, semenit kita sudah bisa mencapai khatam Al Quran sebanyak dua kali. Tapi apa seremeh itu ?
Misalnya, ayat pertama adalah konsep ahad. Bisakah ahad ini tidak kita pecah, tidak kita bagi, tidak dikurangi, tidak kita kali, tidak kita tambah atau tidak kita analisa ? karena ahad adalah jelas satu, kokoh, qiyamuhu binafsi, berdiri sendiri. Secara teori matematis keilmuan sih iya, lha tapi kalau dibenturkan keadaan apa ya semudah itu ? Apa lagi keadaan itu tidak seideal ideologi kita.
*
Begitu banyak hal yang berhubungan dengan penerimaan kenikmatan dan kesesuaian cita-cita, kita bisa langsung reflek ucap Alhamdulillah sebagai tanda kita mengahadkan Allah. Tapi ketika yang tidak mengenakkan datang secara masal apakah kita bisa langsung menggenggam keahadan itu ?
Umpamanya, ( jangan diseriusi lho ) bahwa bencana tsunami sampai bom terakhir ini adalah sebuah konsep jangan sampai Nusantara menjadi bangsa yang berjaya. kenapa ? Kalau nusantara jaya, maka akan tercipta keadilan merata di seluruh dunia tanpa melalui perang. Bila ini terjadi, maka rumusan perselingkuhan konsep senjata dan minyak akan mengalami kebangkrutan serius.
Sebab watak dasar manusia nusantara mempunyai budaya adiluhung yang mampu menyelesaikan berbagai model konflik dengan elegan. Masalahnya saat ini sih cuma satu, kita kurang mengerti potensi diri sendiri. Cuman kurang memegang hadits man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu, kita tak tahu kejadian diri sehingga tak tahu arah kehendak Tuhan, atau sebaliknya.
Dalam jiwa manusia nusantara, kata "berbagi, gotong royong dan rukun menjadi satu" adalah bagian DNA yang tak terpisahkan. Hal ini kurang disetujui oleh para pemilik modal dan monopolis baik dari belahan bumi Barat maupun Timur. Karena sudah lama sekali mereka menikmati kekayaan dunia baik melalui konsep ekonomi dan doktrin yang di kemas dalam perang.
Jangan sampai manusia nusantara ini akur dan mampu mewujudkan ayat" Walillahi almashriq wa almaghrib faaynama tuwalluu fathamma wajhu Allahi. Inna Allaha wasiiun Aliim.” Dan kepunyaan Allah-lah TIMUR dan BARAT, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah:115)
Sehingga satu -satunya cara adalah mengkaburkan eksistensi nusantara, memporakporandakan, mencitrakan dengan segala keburukan, memblow up kekonyolan dan tidak mengakui. Sampai pada titik yang sudah berhasil, mental kita telah menjadi bangsa yang selalu "look up" melihat kekayaan dan kecanggihan atas apa - apa yang datang dari luar. Padahal diam-diam mereka selalu "look down" kepada kita.
Tidak percaya ? bepergianlah ke barat, bagaimanapun, secara mayoritas imajinasi mereka, anda akan tetap dianggap mahluk kulit berwarna alias warga kelas dunia. Bahkan di negara yang konon kampiun demokrasi. Anehnya kita malah sering "look up" dan bangga menceritakan kunjungan kita ke luar negeri.
Kalau ke Timur ? coba hitung berapa buaanyaak.. tenaga kerja kita yang kering keringatnya dan tersiksa fisiknya tanpa mendapat kelayakan hidup. Dan bahkan itu terjadi di wilayah jazirah yang lahir sosok mulia yang pernah bersabda " bayarlah upah buruh sebelum kering keringatnya". Ah..selalu bertepuk sebelah tangan.
Kembali lagi, bagaimana urutannya ?
Aceh adalah simpul gerbang Islam Nusantara. Dan itu ada sejarah panjang kenapa sampai disebut Serambi Makkah. Jadi ketika simpul ini rusak, semua akan mudah diuraikan.
Gempa itu sebenarnya lebih besar di Thailand. Secara ilmu analisis BMG memang demikian. Tapi jangan bilang siapa-siapa, wong ini cuma umpama, belum tentu benar. Bahwa besarnya gelombang itu kan karena ada kapal perang yang lagi nyoba senjata baru. Coba teliti lagi berita -berita di koran. Apa hubungannya, bencana kok ada kapal perang. Gak nyambung kan ?
Jadi ketika gempa di Thailand dengan peralatan canggih sudah terdeteksi merambat ke Aceh, bertepatan dengan itu, senjata baru diluncurkan. Blar...senjata ujicoba dalam laut itu menghantarkan tekanan gelombang yang luar biasa...sebuah ramuan senjata rekayasa manusia yang dianggap bencana. Inilah senjata kamuflase alami intelejen terhebat.
He..he nggak kayak kita yang belum apa -apa sudah teriak-teriak di lapangan. Belum perang, segala identitas dan aktifitas ketahuan semua. Akhirnya dengan mudah kita diciduk, difitnah dan dijadikan pesakitan.
Oh iya..nglantur.. balik maning, lalu dampaknya ? secara korban nyawa, sudahlah..innalillahi...ikhlaskan. Tapi dampak Islam apa bagi yang masih hidup ? Pertama, sesuai rencana, orang Islam itu sampai detik ini masih suka mencaci dan mengunggulkan kelompoknya. Hal ini sudah sangat diperhitungkan sebagai media self destroy mechanism. Dan pemanfaatan hal itu sangat sukses. Lho ? Ukurannya ?
Kalau kita ingat, betapa banyak komentar waktu itu, bahkan ulama mencibiri kejadian ini bahwa itulah laknat Allah karena di sana adalah ladang ganja atau pusat maksiat.
Di sini tidak ada nalar kenapa ladang ini berpuluh tahun subur ? siapa yang diuntungkan ? distribusinya kemana aja ? uangnya sudah tersebar kepusat kekuasaan mana ? Ada kandungan apa di tanah Aceh ? Kalau ada pemberontakan, senjatanya made in mana ? siapa yang menangguk untung penjualan senjata ini ? adakah barter senjata dengan daun surga ini ? berganti tren barang memabukkan jenis apakah sehingga aceh harus di gulung badai ? Apa persamaan fungsi tanaman Aceh dengan yang ditanam di pegunungan Pakistan-Afganistan ? Kenapa kedua wilayah ini punya model konflik yang nyaris sama ? Seiring dengan badai politik apa di wilayah nusantara ? dll
Ah, cara berfikir kita yang merasa tahu agama ini kok ya kayak penguasa yang zalim. Gampang menyalahkan yang kecil -kecil yang sudah jelas-jelas jadi korban tetapi selalu diam amien tanda setuju atas sebuah kejadian grand design.
Tapi yang penting, dalam grand desain ini, inti pertama sudah dapat. Kalau sebutan Serambi Mekkah saja sudah disangsikan oleh muslim nusantara, maka tinggal selangkah memporakporandakan bangunan budaya Islam yang tertanam dengan indah disetiap runutan simpul itu.
Langkah berikutnya, kita sudah sama -sama menyimak. Yah..apalagi kalau bukan sifat ashabiah kelompok. Ini juga berhasil sesuai rencana. Lihat saja efek dominonya, berapa banyak panji - panji dan bendera yang berkibar di tanah Aceh ketika bencana terjadi. Kita akan melihat sejarah manapun bahwa ketika di suatu tanah terjadi kekacauan, maka penancapan bendera adalah awal yang menentukan langkah eksistensi selanjutnya atas sebuah kelompok.
Sampai -sampai ada sebuah kelompok yang hanya bermodal bendera dan pos yang di pasang di jalan - jalan prospektif masuk wilayah bantuan. Dengan bermodal spanduk " kami menerima penyaluran bantuan ", mereka menyalurkan berton -ton bantuan keringat orang lain tetapi diselingkuhi dengan intro "ini bantuan dari kami" sambil membawa bendera kebanggaan.
Di sinilah bibit gue - gue, loe - loe mulai disemai....Islamku bukan Islammu, Islammu bukan Islamku. Dan sejak itulah sampai termutakhir kemarin, konsep ini berjalan sendiri seperti konsep bisnis MLM, spiral marketing, viral marketing, matrix dan sejenisnya dimana satu konsep brilian yang matang mampu menjadi mesin otomatis duplikasi Devide et empera jilid II secara masif.
Tapi, tapi dan tapi...pengetahuan - pengetahuan semacam ini apakah bisa dikembalikan kepada Allah bahwa ya memang harus begini dulu garis jalan takdirnya. Tanpa berusaha mengutuk, menyalahkan dan menyesali. Bukankah kita ini orang beriman yang harus yakin pada rukun iman ke enam, percaya takdir baik buruk - yang belum dan yang sudah terjadi ?
Bukankah seorang pemimpin, apalagi calon pemimpin dunia, tentu harus digembleng habis-habisan dengan segala persoalan yang sangat jauh dari nalar mapan sehingga dibutuhkan daya bathin dan keyakinan yang luar biasa untuk bisa menyelesaikan ?
Tentu juga, secara perspektif ini, mereka yang bikin ulah demikian tidak mungkin dapat bergerak sendiri..lha wong ayatnya La haulaa wala quwwata ila billah...tak ada satu gerak pun tanpa ada daya dari Allah.. hmmm... berat sekali meng'iya" terhadap ayat ini.
Dan apakah suatu saat mental kita siap seperti Mental Rasulullah yang memaafkan orang Quraisy dan memberi mereka penghidupan yang layak ketika terjadi fathul makkah versi nusantara ? Apakah kita siap menyublimkan ke dalam diri atas sifat Allah, Al Hayyu yang Maha Hidup Dan Menghidupi , tentunya di tujukan pada orang yang pernah tidak menyenangi kita ?
Inilah sesungguhnya ujian ketauhidan kita. Ujian tentang teguhnya sebuah kesaksian konsep ahad, Ujian tentang kesyahidan, ujian tentang hidup syahid, bukan sebatas mati syahid. Karena rasulullah sendiri sangat ajeg hidup syahid di tengah masyarakat, bahkan rasulullah tidak mati syahid di medan perang.
Lho, tapi sik...sik...balik maning lagi, tentang data itu, jangan ngawur dod. Kamu dapat data darimana ? ini masalah serius....
He..he, saya kan sejak kecil sudah dididik menjadi anggota FBI. Otomatis cara menganalisa suatu kejadian, ya tinggal ikut aja juklaknya, bagaimana metodenya, mana titik tumpunya, mana bunga-bunganya, mana hirarki skala prioritasnya, mana compounding blow nya, apa yang akan dikuak dan ultimate goalnya ke mana.
Ooh begitu ya...jadi selama ini kegiatanmu seperti menulis ini juga bagian dari konspirasi asing ya ? mungkin begitu kata para pembaca. Ups, jangan terlalu methentheng, saya ini suka guyon. Yang saya maksud FBI hanyalah singkatan Fans Berat Islam...Wong saya sendiri cuman pengamen dan pemimpi kok. Samasekali tidak punya jamaah, pasukan ataupun jaringan internasional yang hebat -hebat...
Karena Fans Berat Islam, maka pola berfikir dan melihat segala kejadian ya tentunya juklaknya Al Quran. Sama sekali bukan ambisi keagamaan pribadi...walaupun keduanya suangaa..at mirip...rip...rip...
Intinya, saya pribadi selalu belajar dan menyadari bahwa segala sesuatu kejadian, senang atau tidak senang, menguntungkan Islam atau tidak, harus bisa menjadi runutan balik kepada Sang Maha Muasal.
Persis merunut sebuah kejadian munculnya buah dari sebuah tanaman. Bila ilmu kita amanah, sidiq, fathonah dan tabliq seperti sifat rasulullah, pasti akan tahu bahwa beraneka bentuk buah, rasa, daun, batang dan kekokohan akar hanyalah berasal dari sebuah biji kecil dan pahit yang diliputi daya hidup, Al Hayyu.
Rumus gampangnya, wis...kuabeehh iki pokoke Gusti Allah. Ahad. Titik tik.
Kalau anda gemar facebook, anda akan melihat icon " poke " untuk menyapa teman secara personal. Allah juga demikian, bila sampeyan sudah kenceng melihat segala sesuatu dengan konsep pokoke Allah, maka Allah akan mem "poke" anda secara personal dan intens.
Plok ! segala tamparan Allah pun hanyalah sebagai sarana pemahaman, pengajaran dan kenikmatan - kenikmatan yang tak kunjung habis. Nggak perlu nunggu di surga...
Wassalam, pencari surga tak kuat neraka
Dody ide
Jumat, 19 Juni 2009
Musik,, Jalan Tembus Pintu Tauhid
Sampai sekarang diri ini masih bingung kenapa ada orang yang mengilegalkan musik dengan berbagai fatwa. Ada sesuatu yang mengganjal dalam benak. Kenapa ketika mendengar bunyi yang tidak tertata rapi seperti rombongan motor gede, demo kampanye, suara mesin pabrik dan keberisikan - keberisikan lain, kok tak ada bahtsul masail yang menyatakan bahwa hal itu haram. Dengan landasan itu adalah kategori polusi suara, lebih detilnya mengakibatkan kerusakan anugerah Allah, telinga.
Padahal amanah kekhalifahan menganjurkan kita merawat segala anugerah ini. Belum lagi suara mesin jet yang melebihi ambang batas kemampuan dengar. 140 dB lebih ! Padahal kemampuan kenyamanan manusia jauh di bawah 100dB. Di manakah sebuah konsep Quran bisa mengantisipasi dan memberi fatwa atas hal ini ? Mosok Quran yang salah ? Nggak mungkin lah...Tapi manakah fatwa terhadap hal - hal seperti ini ? Di mana kemampuan para mujtahid ? Apa karena karena donatur saudagar muslim banyak yang memiliki jet pribadi atau moge sehingga kita tak berani memberi teguran fatwa ?
Anehnnya ketika kita mendengar suara yang tertata rapi, indah, menyegarkan dan menundukkan keliaran fikiran, kok malah ada fatwa haram ?
Kalau kita mengharamkan musik apakah kita lupa bahwa konsep keimanan kepada 25 rasul, salah satunya adalah Nabi Daud sebagai leluhur musik dunia. Ada baiknya kalau kita tidak bisa mengakui hal ini, ya lebih baik cukup beriman kepada 24 rasul seperti keyakinan tetangga yang menafikan Muhammad SAW.
Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada DAUD kurnia dari Kami. (Kami berfirman): "Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama DAUD", dan Kami telah melunakkan besi untuknya, ( Saba' : 34 ). Ayat ini sudah terlalu cukup dan sangat luar biasa bagi diri pribadi untuk menguak salah satu jalan pribadi menuju Allah,-musik.
Dalam disiplin musik universal, burung adalah sebuah awal ilham musik. Timbre, sound quality, dynamic range, lompatan interval, ambience harmony, healing sound, daya resonansi dan masih banyak lagi sudah terangkum sempurna pada spesies ini. Dalam beberapa hikayah, suara burung ini oleh Nabi Daud diterjemahkan dengan alat yang bernama psalterion. Kita mengenalnya dengan harpa. Bila dirunut psalterion ini berasal dari kata psaltm yang berarti nyanyian. Sedangkan dalam tradisi kuno, psaltm ini sebenarnya adalah kata lain dari zabur.
Jelasnya zabur adalah wahyu Tuhan yang berupa keindahan nada. Tapi apa sesederhana itu ? Cuma sebuah terjemahan kesenangan nyanyian burung kah ? Wah, kalau gitu apa bedanya dengan kaum lelaki yang gemar memelihara burung ? walaupun di situ memang ada sisi jalan ketenangan bathin.....
Kalau kita mengkonekkan psalterionnya nabi Daud dengan ilmu pengetahuan modern, akan sangat jelas disitulah letak cikal bakal pengetahuan matematis dan canggih yang mampu memetakan suara burung ini menjadi sebuah kompleksitas dispilin ilmu. Displin ilmu yang sedikit kita kupas adalah tehnologi gelombang beserta segala sifatnya seperti amplitudo, sound pressure level, pemecahan partikel atom, dispersi, induksi dan seputar itulah...( he...he saya bingung sendiri kalau mulai menyebut kata ilmiah )
Dispilin ilmu suara ini ternyata sangat begitu menakjubkan. Dalam ilmu modern dispilin ini telah dikembangkan menjadi alat seperti pengukur kedalaman serta jangkauan seperti radar dan sonar. Kita juga bisa melihat secara ilmiah bahwa beberapa industri menggunakan induksi gelombang untuk otomatisasi packaging produk. Juga pernahkah anda mendengar bahwa gesekan violin pada frekwensi nada tertentu resonansinya mampu memecahkan gelas ?
Tak heran bila Nabi Daud bisa melunakkan besi dengan sebuah ketundukan ilham. Hal ini karena Beliau telah mengetahui dan bisa mempraktekkan seluk beluk resonansi antara partikel benda padat dengan impuls frekwensi tertentu yang tertata. Dan partikel padat itu ditamsilkan sebagai gunung, dimana di situ ada gunung, di situlah letak kekayaan dunia bisa digali secara luar biasa.
Suatu saat kalau ilmu kita sudah jangkep, kita juga tak perlu heran bagaimana empu jaman dulu bisa melaksanakan sunatullah membuat keris tanpa peralatan berarti. Kenapa mereka selalu melakukan ritual nembang melagukan syair ruhani terlebih dulu akhirnya juga bukan sesuatu yang harus digelapkan pemahamannya. Sebab Ini hanya masalah metode kelimuan saja. Metode resonansi alamiah vs metode mekanik. Tak lebih.
Ah...lagi-lagi sebuah warisan budaya yang disalahartikan dan diselewengkan turun temurun. Padahal struktur campuran keris ini baru bisa diaplikasikan abad ini oleh tehnologi NASA dimana pencampuran tujuh logam bisa dilebur jadi satu.
Di wilayah inilah kemudian nabi Daud dinobatkan Allah sebagai pemimpin yang mampu menggabungkan kekuatan materi ( gunung ) dan gelombang energi ( suara burung ). Dari sinilah tercipta peradaban yang kuat.
Kabar gembiranya, Alhamdulillah nusantara ini adalah rombongan gunung panjang dari Aceh sampai Irian yang menandakan Nusantara ini sangat kaya. Alhamdulillah nya lagi, hanya dengan sedikit mencuplik bukit emas di Irian, kita sudah bisa meng"kaya" kan saudara tua kita, Paman Sam. Belum lagi hutan gunung di Riau, rempah di bagian timur, kilau lautan pantai butiran logam di tempat kelahiran laskar pelangi...dlllll....buanyaak...
Walah ! Alamdulillah...pokoknya kita ini bangsa yang sangat besar sodaqohnya kok...kitalah yang menjadikan kaya penduduk bumi ini.Kita sudah begitu mendekati jiwa kepemimpinan rasulullah. Mendahulukan orang lain walau diri sendiri kelaparan...Kita ini sudah begitu banyak berjasa membantu kemakmuran penduduk bumi. Saking gemarnya membantu orang, sampai-sampai begitu banyak kita ekspor pembantu.
Tapi jangan kuatir, pembantu adalah pesuruh. Bukankah rasulullah juga pesuruh Allah ? Dan memang kita lah pewaris beliau karena faktanya kita adalah negara muslim terbesar di dunia.
Tapi di balik omongan sembrono ini, yang paling penting bagaimana cara mengupgrade diri kita yang hanya dari kelas pembantu kapitalis merubah diri menjadi pembantu alias pesuruh Allah secara digdaya alias menjadi khalifah bumi ?
Kalau merunut ilmu Nabi Daud yang berakhir kesuksesan kekayaan Sulaiman, kita ini kalau modal dasar gunung alias kekayaan sumber daya alam sudah lebih - lebih. Tinggal kekayaan suara dan pengolahannya. Dan sebenarnya basicnya telah dipersiapkan oleh pendahulu kita secara samar. Apaka gerangan ? Tentulah musik nusantara....
Sesederhana itu ? tentu tidak. Coba selidiki, adakah ragam musik dunia sekaya Nusantara ? Beragamnya musik berarti beragamnya daya fikir, beragamnya sudut pandang, beragamnya lompatan kreatifitas, beragamnya pemetaan mind, beragamnya konsep kekompakan team, beragamnya metode dirijen kepemimpinan, beragamnya manajemen mental dan beragamnya mekanisme penyelarasan pengolahan alam.
Hal ini adalah modal dasar DNA yang tak kita sadari. Struktur molekul tubuh kita ini telah didefrag, di"cryogenic"kan, dan di"attunement"kan dengan limpahan materi nusantara oleh para pendahulu - pendahulu kita melalui keindahan tenaga harmoni musik, melalui kekhusyukan -kekhsuyukan mereka atas limpahan modal awal kekhalifahan yang tak terhingga.
Tapi kenyataannya kita ini masih mental Malin Kundang. Sehingga begitu mengingkarinya akan hal itu. Akhirnya corak kebudayaan kita masih sebatas jadi anak batu alias filsafat materi doang. Dampaknya kita tak bisa unggul dan bermartabat di mata dunia. Hal ini karena kita tak bisa mensinergikan antara materi ( gunung ) dan dinamika gelombang ( burung ). Jadinya ya kita ini nggak punya pertahanan ( baju besi ). Lemah dan mudah terluka. Dan ini fakta.
Jadi jangankan meniru Muhammad Sang Paripurna, lha wong menapaki jejak Daud saja kita ini masih ketheteran seyek seyek termehek - mehek... Padahal seandainya kita mau menganalisa, memetakan, mengkonsolidasi dan meneruskan modal awal ini, wah rruaarr biasyaahhh....
Tak perlu dulu lah kita ngomong politik kekuasaan pendapatan daerah atas hasil alam atau ngomong njlimet tentang iptek. Mulai dari diri sendiri dengan merawat tanaman dan mendengar musik berkualitas itu sudah bisa mengaktifkan gen -gen kita yang tertidur. Inilah modal dasar awal yang menghampar tapi terlantar.
Swear lho ! ini sekedar mekanisme alam saja. Urutan mudahnya, banyak tanaman = banyak udara bersih = bagus untuk kerja otak dan ketahanan tubuh. Mendengar lagu berkualitas = syaraf telinga rileks = aliran data syaraf menuju pusat otak lancar = tersentuhnya daya kreatif dan kemerdekaan berfikir.
Maka muncullah manusia - manusia digdaya dari bumi nusantara yang siap mengolah limpahan modal awal ini dengan sebijak -bijaknya...
*
Hakekat sederhananya, musik adalah melatih rasa. Itu prinsip dasar. Tapi rasa apa yang dilatih ? Rasa benci, rindu, fanatisme perjuangaan ras bangsa, snob elitis atau rasa "hub" kepada Allah ? Ini wilayah tanggungjawab dan efek pribadi rek !
Hakikat dispilin ilmunya, musik adalah metode mendefragmentasi alias menata rapi alias mengaspal mulus lagi susunan ribuan syaraf telinga yang berujung pada pusat otak besar, dimana orang sering menganggap di situlah wilayah titik Tuhan alias God Spot.
Ketika sistem syaraf telinga kaku silang sengkarut dan cairan dalam telinga tidak stabil, kondisi mental seseorang akan kacau, paling tidak daya konsentrasi dan ketahanan tubuh akan menurun.
Faktor perusak stabilitas kerja telinga terbesar adalah seringnya manusia mendengar suara yang tak beraturan dan melebihi ambang kemampuan dengar dalam jangka waktu tertentu dan terus menerus. Tak heran kalau sopir yang hidupnya banyak di jalan bertemperamen keras dan suka mengkonsumsi obat kuat atas kompensasi kelemahan tubuhnya.
Untuk itu, salah satu terapinya diperlukan musik sebagai penyelaras sistem kerja tubuh. Dengan treatment keteraturan nada dan resonansi frekwensi, maka secara bertahap urat kekacauan -kekacauan itu akan dipijat refelksi oleh nada - nada indah.
Dengan musik pula, otak bisa dipetakan menjadi kamar memori - memori yang mudah dipanggil. Misalnya ketika seseorang mendengar lagu Si Unyil, maka memori akan masa kecil, suasana rumah, teman -teman, jajanan, mainan kesukaan akan mudah diingat kembali dengan spektrum yang orisinil.
Jadi ada baiknya kita belajar sambil mendengar musik kesukaan. Ketika suatu saat kita lupa akan pelajaran tersebut, dengan menyetel musik itu, sedikit demi sedikit memori yang kabur akan muncul jelas kembali. Biasanya sih daripada digunakan mengingat pelajaran, lebih baik nyetel lagu nostalgia jaman pacaran...he...he...jadi terkenang semuanya deh....
Yang perlu diingat, pembeda manusia dengan mahluk lain adalah memori. Korelasi memori adalah kesadaran. Dan awal kali sebuah memori adalah kesadaran akan perjanjian mahluk dengan Khaliknya. Syahadat. ( Al A'raf 172 )
*
Jaya Suprana, seorang pianis komponis sudah beberapa dekade ternyata tidak pernah lagi memainkan lagu klasik barat. Ia lebih bangga dengan karya seperti Ismail Marzuki, Gesang, WR. Soepratman dan kawan-kawan. Terutama ia sangat mengagumi sebuah nyanyian yang diremehkan musisi modern seperti judul lagu gethuk asale soko telo karangan Mantous.
Dalam hal ini ia lebih mengetahui makna judul syair tersebut secara ketuhanan sehingga mengapresiasi dengan serius dalam mencari sebuah muasal. Gethuk asale soko telo itu sebenarnya apresiasi dari ayat...maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari RuhKu....AT-Tahrim : 12....
Realitas metaforanya, orang sering lupa bahwa gethuk, nogosari, horog-horog, kue lapis dan sejenisnya itu berasal dari satu bahan. Dan bahan itu sebenarnya tak pernah terpisah dengan sang kue. Cuman bahan itu yang memisahkan ya Adam ini dengan kemampuan penamaan benda.
Puncak pencapaian Jaya Suprana dalam bermusik ketika ia memainkan suatu reportoir tanpa not sama sekali. Alias ia hanya memandangi piano tanpa membunyikan senada pun dalam beberapa menit. Mungkin kita protes, lho seorang pianis kok karya terhebatnya malah cuman diam thok !
Filosofinya, di dalam tanda diam itulah akan memunculkan suara terindah. Bayangkan bila musik tanpa tanda henti. Pasti seperti suara tv yang ujicoba siaran...tuuuuuuut..... nggak ada jeda kayak gelombang sinewave 1kHz. Pasti semenit telinga kita sudah pekak, otak sudah jenuh.
Rumusnya, makin banyak rentetan nada tanpa henti, makin cepat telinga capek. makin capek telinga, makin stresslah hidup kita. Sebaliknya makin banyak nada istirahat, makin nyamanlah telinga. Tapi siapa sih yang betah mendengar dan menyetel mengulang - ulang komposisi Jaya Suprana yang membosankan ini ? Padahal di dalam diamlah kita mengenal sebuah penciptaan...mengalami sebuah kesaksian sejati...
Inilah paripurna musik. Urusan keilmiahan matematis harmoni dan rasa sudah parkir terhenti disini. Dan memang musik sejati adalah diam, hening, khusyu'. Sebuah suara tanpa bunyi tapi ada. Suara yang tanpa harus mengikuti hukum aksi reaksi. Sebuah rasa tanpa perasaan. Sebuah kendaran terindah menuju keahadan.
*
Musik sebagai wilayah nabi Daud ini mengajarkan cara berfikir yang tidak sekedar konsep satu sisi linear. Musik bisa membuat lompatan-lompatan ide yang bagi sebagian orang dianggap nyleneh tak beraturan. Padahal itu adalah file masa depan yang dimunculkan lewat sebuah dunia otak kanan. Kata orang disebut dunia ilham.
Dan memang dunia ide realitasnya jauh dari konsep berfikir seorang administrator birokratif linear. Lompatan -lompatan ide ini hanya bisa dipahami oleh para scientis yang pernah mempelajari hukum Phytagoras tentang asas harmony.
Dalam disiplin harmoni, sesuatu kelipatan jarak pasti akan menimbulkan kesamaan bunyi walau dengan warna suara yang berubah dan kecepatan frekwensi yang berbeda. Mudahnya ya kayak lagunya Ian Antono dunia ini panggung sandiwara. Ceritanya tetap, lakonnya saja yang berubah, dan itu pasti berulang terjadi.
Inilah kenapa seorang musisi seperti Bethoveen atau Mozart mampu memberi gambaran kejayaan kerajaan Eropa. Kalau di sini ya kayak seniman Ronggowarsito yang sebenarnya beliau adalah salah satu konseptor patrap ruhani.
He...he...bila bila diseriusi, mungkin para musisi saat ini bisa dengan mudah mengasah ilmu weruh sak durunge winarah alias kemampuan melongok masa depan yang masih menggantung di Lauhil Mahfuz.
Kalau dalam proses rekaman, ada sebuah fase yang dinamakan mixing dan mastering. Di bagian ini seorang engineer dituntut keseimbangan otak kiri kanan. Hal ini karena otak kiri memang bertugas menghafal, mendefinisi, merumuskan konsep matematis musik beserta segala istilahnya. Otak kiri harus menguasai ilmu engineer tentang apa itu sebuah Radio Frequency Interference, delay, phase, bandwith, jitter, dither, gain, compress ratio, noise floor, bit, sampling rate dlsb. Sedang otak kanan berfungsi menangkap rasa keindahan musisi yang sedang ditangani.
Struktur kerjanya, otak kanan menampung kehendak -kehendak rasa musisi. Lalu ia memerintahkan otak kiri untuk menerjemakan. Bila otak kanan tak bekerja dengan baik, gagallah otak kiri dengan segala bekal kepandaian analisisnya. Logikanya, apa yang mau dikerjakan otak kiri kalau tidak ada input dari otak kanan yang bagus. Maka yang terjadi hanyalah "make wave, not music". Wave is real mathematic, music is real dynamic. Ilmu itu kaku tak berujung, musik itu hidup.
Anda yang tak paham musik pun akan mudah membedakan keindahan organ tunggal atau electone vs musik live yang dimainkan musisi berkualitas. Mesin keyboard electone takkan pernah salah karena di dalamnya telah terumuskan dengan baku sebuah matematis harmony modern. Tanpa berlatih sungguh -sungguh, asal pencet pun bisa berbunyi bagus.
Tapi apakah keyboard lebih dapat menyentuh sebuah keindahan akan penciptaan sebuah karya bila dibanding dengan musisi live band sesungguhnya ? begitulah analaogi yang paling bisa kita praktekkan secara gampang...entah secara hablumminannas atau hablumminallah....
Seandainaya cara kerja audio engineer diterapkan dalam dakwah saat ini, betapa harmoni dunia ini. Dan sebenarnya hal ini sudah pernah diwariskan awal kali Islam masuk Nusantara. Keharmonian, keindahan, etos kerja dan etika telah menyatu dengan alam nusantara.
Sampai-sampai Syech Mahmud Syaltout dari Mesir menganggap Nusantara adalah penggalan surga. Bagaimana tidak, di tanah arab untuk merawat satu meter tanaman butuh dana sampai puluhan juta. Sedang di sini kata Koes plus tongkat kayu dan batu jadi tanaman tanpa keluar modal sepeserpun.
Tapi kenapa sekarang seperti penggalan neraka ya ? banyak hutan gundul dan sampai-sampai saking panasnya, masjidpun banyak yang terbakar....
Apa mungkin kita ini karena kita sering mendengar orasi yang pemetaan nada dan dinamiknya seperti musik death metal ...? kenceng melulu tanpa jeda alias monolog tak memberi kemerdekaan diam merenung.....isinya penuh ketidakpuasan, nggak ridho ...
**
Sangat jelas dalam surah Yaasin 69 : "Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al Quran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan.
Bahwa Allah tidak mengajari syair Muhammad karena memang itu tidak layak, dalam arti sudah sangat jelas perbandingan posisi sebuah keluhuran ilham dengan proses budaya manusia dalam meraba-raba keberadaan Tuhan.
Bagi saya pengharaman itu hanyalah karena kita tak pernah mengetahui kehebatan Al Quran. Sehingga seakan - akan buah karya budaya manusia yang bernama musik, entah yang berupa nyanyian, instrument atau syair sanggup menandingi kehebatan dan kecepatan sebuah ilham.
Hal ini persis seperti kita yang terselubungi syirik halus dengan beranggapan bahwa syetan dengan Allah adalah sebuah konsep pertarungan sederajat sehingga kita merasa bisa membela Allah, meninggikan nama Allah dan melindungi Allah dari godaan setan. Kita secara tak sadar melemahkan kemampuan Allah...kita sudah berfikir terbalik...alam e njungkir, dunyo kate kiamat rek !
Kalau kita mengharamkan musik, lebih baik mulai sekarang kita copoti saja corong - corong adzan yang ada di masjid. Sebab secara sejarah, alat itu diciptakan untuk kegiatan musik dan aktifitas Yahudi Nasrani. Kalau perlu kita nggak usah pake mobil, listrik, hp, komputer, apalagi internetan made in Pentagon ini....toh ini semua bukan orang Islam yang buat....
Memang di sinilah letak keheranannya. Bagaimana bisa kegiatan yang sifatnya meng"healing" anugerah tubuh kok malah diharamkan. Sedangkan kondisi polusi suara yang bikin sakit badan dan mental malah tak pernah ada solusi fatwa agama.
Kalau merunut secara hadits, nabi sendiri selalu menganjurkan me"nada"kan bacaan Quran bukan ?. Dalam makna, bawa sesuatu yang sangat berbobot haruslah disampaikan dengan suatu keindahan supaya hal itu benar -benar membekas di hati penyimak. Coba saja seumpama kita baca Quran seperti logat naratif pembaca berita...wah pasti sangat garing sekali.
Yang jelas anak kecil sebagai generasi penerus akan bertambah asing dan malas karena tidak ada ketertarikan awal. Bukti pribadi yang gampang, ketika menyetel radio dan terdengar keindahan nada adzan, anak saya yang masih umur satu tahun sering langsung menyimak diam, khusyu sekali seakan-akan paham rintihan hati sang muadzin.
Tapi ketika saya membuka Al Quran sambil santai membaca dalam hati, dengan kesigapan tangan mungilnya...kreek....sudah tiga kali ini kitab itu disobek. Untung nggak saya marahi... lha wong derajat kesucian saya kalah sama dia hare...namanya saja bayi masih fitrah....dan fitrah itu perjalanan pembelajarannya tanpa rekayasa. Persis kayak Musa yang makan api waktu bayi....semua membawa pesan tersembunyi.
Tapi yang rada aneh para jamaah haji kita. Suatu saat sang jamaah haji baru menginjakkan tanah di Makkah. Tiba -tiba dari kejauhan ia melihat orang arab berteriak -teriak sambil membawa surban. Ia pun langsung mendekat dan menegadahkan tangan sambil berucap lembut...amien...amien...amien... Tiba - tiba teman sebelahnya nyeletuk " mas, orang itu lagi jualan surban..ngapain sampeyan amin - amin ? oo rupanya pedagang toh...kirain pemfatwa...
***
Memang sih pada perjalanannya, musik bisa menjadi godaan yang melenakan tujuan. Dan itu lumrah saja, tergantung kesadaran ilahi masing - masing penikmat. Sama persis seperti orang yang belajar fiqih, nahwu sharaf, ilmu mantiq dll. Toh pada perjalanannya banyak yang tak sampai pada kesadaran ilahi.
Banyak yang akhirnya tertahan pada kekuasaan, fasilitas wibawa, jual beli suara, nego jatah menteri atau kucuran dana luar negeri yang semuanya masih menandakan mental tangan di bawah alias mengemis pada penduduk dunia untuk sebuah anggapan dunia yang tak berujung berputar - putar. Alias tak begitu yakin akan Daya Allah
Tapi sekali lagi, sesuai judulnya, musik hanyalah jalan, hanyalah kendaran, bukan tujuan. Persis seperti disiplin ilmu fisika, biologi dan renik kebudayaan yang lain. Kalau tujuan billah sudah tercapai, kenapa sebuah jalan dan kendaraan harus diributkan ? kenapa harus ditandingkan ...?
Biarkan sajalah tiap orang mencari jalan menuju Tuhannya sesuai jatah ilmu dan kebudayaan yang ia pahami... karena kita tak pernah tahu seberapa besar ketulusan mahluk dengan Khalik. Padahal inilah awal point penting sebuah proses perjalanan ketauhidan.
Waba'du, mohon maaf kalau bahasan ini sifatnya campur aduk dengan menggunakan metode ilminik alias ilmiah campur klenik karena musik memang menyangkut dua dunia, logis dan nonlogis. Rasa plus matematis.
Wassalam
Dody Ide
Langganan:
Postingan (Atom)