Minggu, 10 Agustus 2008

7 Langit 7 Bumi ( bag 2 )


ANAK - ANAK

Wuiih cerianya....Mereka bermain bersama dengan segala hiruk pikuknya. Kemampuan bermain petak umpet, congklak, video game, dan sejenisnya secara tak langsung telah menginspirasi mereka untuk mematuhi segala aturan main kehidupan.

Sebuah perrmainan memang harus diciptakan dengan peraturan tertentu agar semua bisa merasakan perolehannya dengan adil. But, kalah menang bukan tujuan mereka. Berkumpul ceria bersama adalah satu-satunya tujuan sehingga mereka mampu mengalihkan dan meruntuhkan fokus rasa kebanggaan dan kemurungan akibat kalah menangnya sebuah permainan.

Permainan anak-anak itu telah mengasah bangunan kepatuhan bernafaskan keceriaan serta berlandaskan kesadaran berkumpul dan rasa saling membutuhkan. Anybody play the game. Seakan mereka berkata kepada manusia dewasa " bagaimanapun hidup ini hanyalah sebuah permainan walau kadar kerumitannya berbeda, yang penting patuhi peraturan dan tetap berkumpul agar hidup tetap terasa hidup "

Bermain menjadi proses belajar yang sangat-sangat menyenangkan sehingga terkadang para orang tua sangat khawatir. Mau jadi apa kalau begini terus...kerjaannya cuman main nggak mau belajar....Kalimat mau jadi apa adalah sebuah ungkapan perasaan kekhawatiran terdalam sekaligus pemaknaan terdangkal yang keluar dari benak orang tua.

Mantra mau jadi apa tak lebih dari sebuah rentetan perjalanan filosofi engkau dilihat siapa engkau melihat siapa. Semua terfokus pada luar dirinya. Sebuah filosofi kebutaan akan diri sendiri yang sangat jauh dari sebuah ketulusan perjalanan hidup.

Tak pernahkah kita berfikir untuk memfokuskan ke dalam diri ? Aku dijadikan sebagai apa ? siapakah yang sebenarnya menggerakkan diriku ? kemanakah aku ketika tidur karena aku tak ada walau tubuhku tetap ada...Tubuhku kah aku ? pikiranku kah aku ? perasaanku kah aku ? siapakah aku sebenarnya?

Pendidikan yang terarah ke dalam diri akan membuat anak mempunyai kecerdasaan tak terhingga. Tak hanya sebatas kecerdasan intelegensi, emosional, atau spiritual karena kecerdasan yang sesungguhnya tak mengenal istilah itu. Makna kecerdasan dalam diri anak itu telah berubah menjadi kecerdasan timeless dan spaceless.

Kemanapun dan kapanpun ia berada, ia merdeka karena ia sadar seluruh hukum semesta telah menjadi realitas dalam dirinya. Ia menggenggam tanpa menggenggam. Ia memiliki tanpa memiliki. Ia berfikir tanpa berfikir. Semua daya kecerdasan itu menyusup begitu cepat melebihi kecepatan cahaya.

Tapi sanggupkah orang tua memiliki anak seperti ini ? sebab perjalanan orang tua selama puluhan tahun dapat diringkas oleh anak hanya menjadi sekerdipan mata. Bisa-bisa secara maknawi anak itu berubah menjadi orang tua atas orang tuanya sendiri.

Maka seharusnya berbahagialah para orang tua bila anaknya mampu memberi masukan - masukan yang positif demi terarahnya rentetan perjalanan menuju keabadian yang sekian lama telah terlupakan, sebab ia adalah anak yang terpilih untuk memiliki kecerdasan itu. Maka rawatlah dengan kedalaman pengenalan diri agar kecerdasan itu menjadi nyata senyata-nyatanya.

Tak terasa... mereka tetap bermain dengan santainya. Para orang tua bekerja dengan seriusnya demi masa depan mereka. Santai tapi serius, serius tapi santai, mudah diucapkan tetapi menjadi momok kala diterapkan pada kehidupan keluarga karena sang anak terbiasa dengan santai sedangkan orang tua terjebak dengan keseriusan.

Tak terelakkan terjadi tawar menawar kedua sifat yang berlawanan itu. Untuk mencapai hakikat serius tapi santai maka harus tercipta keseimbangan. Sebagai orang tua yang berjiwa besar terlebih dulu ia harus mengosongkan sebagian ruang serius untuk diisi kesantaian anak. Secara otomatis bagian kesantaian anak terkurangi karena telah bersinergi diberikan kepada orang tua. Seketika itu kekosongan pada diri anak harus diisi dengan keseriusan yang bermakna, bukan tumpahan keseriusan dari kebuntuan menghadapi kehidupan.

Mau tak mau hakikat santai tapi serius, serius tapi santai menjadi pekerjaaan rumah yang tak terelakkan. Pekerjaan ini bagaikan pekerjaan dagang yang ekstrim, untung satu untung semua, rugi satu pasti rugi semua. High risk high return. Tak ada cerita menang-menangan yang satu untung yang satu rugi atau sebaliknya karena bila ini terjadi maka tinggal menunggu ledakan bom waktu yang membalikkan bumi.

Suatu saat yang merasa untung di depan akan rugi belakangan, yang dirugikan di depan akan untung belakangan. Blar ...! hilanglah kebersamaan dalam keluarga itu karena masing - masing kepala sibuk berhitung atas perolehan - perolehan diri.

Tokkeek...untung...tokkeek...rugi...tokkeek...untung...tokkeek...rugi...dst takkan pernah usai.Yang ada tinggallah angan - angan dan kejengahan sisa hidup.

Waktu terus berjalan cepat. Hari demi hari orang tua mengoperasi membedah tubuh dan jiwa anak untuk dimasuki segala sesuatu yang dianggap paling ideal. Buang sana buang sini, tanam sana-tanam sini, program sana-program sini, pecah sana pecah sini.

Tanaman-tanaman dari orang tua itulah yang menyebabkan ia mempunyai sekat-sekat hidup yang bernama golongan, suku, bangsa, agama dan ras. Kelak bila sang anak tak mampu menemui kembali kesatuan akan keragaman itu, ia akan mudah merasa terasing terpenjara dengan segala bentuk kejadian entah itu susah maupun senang.

Namun jika anak ini dapat menemukan kunci bahwa semua keberagaman itu asalnya satu jua, maka kediriannya akan melesat kembali menjadi bentuk cahaya yang menerangi segala penjuru dada dan fikirannya.

Wasb



Dody Ide

Tidak ada komentar:

Posting Komentar