Jumat, 06 Maret 2009

Budaya dan Jembatan Ketauhidan l


Catatan sebuah diskusi dari milis tentang cerita legenda Cina, India dan Jawa Bag l:

Kalau Pak Deka sudah menjelaskan secara to the point, maka kali ini saya memberi gambaran sebuah jembatan peradaban tauhid. Wong namanya jembatan, ya sudah pasti siap-siap diinjak-injak. Baik dari yang pro maupun kontra kejawen.Nggak apalah, asalkan satu pemahaman dengan pemahaman lainnya bisa terhubung.

Telah menjadi bahasan klise apa itu Kejawen apa itu Islam. Tapi mari kita merenung sejenak atas sebuah konsep yang kadang bagi sebagian orang Islam dianggap penyakit sinis TBC ( Tahayul, Bid'ah Churafat ). Dalam hal ini kejawen.

Yang tak pernah kita sadari, setiap membahas istilah kejawen selalu kita bentrokkan dengan Islam tekstual, kita carikan perbedaan, lalu kita vonis dan masih seputar itulah...Cara kepahaman kita tak bisa outframe dari pakem itu.

Padahal, kenapa disebut kejawen ? jawaban mudahnya, karena pada waktu Islam masuk dan membumi di tanah Jawa mulai Kerajaan Panjalu, kasultanan Cirebon - Banten sampai ke timur pesisir Banyuwangi, belum ada negara yang bernama Indonesia. Kalau dulu sudah ada Indonesia, pasti akan disebut Islam keindonesiaan.

Seperti orang orang Timur tengah yang sampai saat ini menganggap Islam keindonesiaan itu fiqihnya hebat, tapi ibadahnya banyak yang nganeh- anehi tidak standard sono. Bisa jadi sholatnya Pak Abu Sangkan yang lama juga dianggap aneh. Yah, inilah Islam keIndonesiaan, sholatnya lain dengan orang Timur Tengah yang ngebut formula satu dan nyetir tangan satu alias suka garuk-garuk.

karena negara Indonesia tidak hanya Jawa saja, pastilah akan terjadi akulturasi dan gagap budaya. Otomatis di dalamnya gagap komunikasi pemahaman agama antar daerah. Maka akhirnya timbullah istilah itu.

Sebenarnya lumrah saja, seandainya ketika terjadi penyebaran Islam, bila pusat nusantara jaman dulu adalah Kalimantan, otomatis penyebar Islam dari Jazirah Arab akan mampir ke Kalimantan. Tentu saja dalam penyampaiannya akan terjadi persesuaian budaya, folklore dan pola sosialisasi.

Kemudian akhirnya Islam sukses, kental dan bersatu dengan penduduk Kalimantan melalui tawar menawar proses belajar mencari nilai Tauhid. Dan akhirnya orang Islam diluar Kalimantan yang asing akan budaya lokal akan menyebutnya bukan lagi kejawen melainkan kekalimantanan. Sebab yang kental muncul adalah petuah tetua Dayak yang luhur daripada istilah Islam yang letterlejk. Bisa jadi kita sinis pada Islam kekalimantanan.

Padahal yang harus kita cari sebenarnya adalah nafas ruh Islam itu sendiri, nafas salam. Ada atau tidak kandungannya. Bukan mempertentangkan cara penyampaiannya atau istilahnya.

Seperti di Jawa, Sunan kalijaga konon mempunyai jimat pamungkas Kalimosodo yang mampu menakhlukkan Raja-raja Hindu. Orang yang tak paham bisa terbelah dua. Yang nggak suka klenik pasti langsung memvonis, katanya wali...kok masih melihara jimat.

Yang suka klenik sampai saat ini masih berburu cari bentuk barang itu. Berapa milyar pasti akan di bayar. Padahal diam-diam saya menyimpannya sejak kecil. Tapi seandainya saya jual milyaran pun, transaksi akan gagal. Karena penerimanya tidak bisa memegang barang itu. Ghaib.

Sebab sesungguhnya jimat kalimosodo itu adalah "penjawaan" dari sitilah dua kalimah syahadah. Kebetulan juga atau memang demikian, sodo adalah biting, yang melambangkan lurus tapi lentur. Sesuai prinsip Islam sendiri yang fleksibel dialogis tasamuh ( berpengetahuan membumi ) tetapi tetap terarah menjulang ke langit arashy. Jadi sampean dan saya pasti tahu jimat itu. tinggal mau nggak sungguh2 memegangnya sebagai modal jimat menghadapi cobaan apapun.

Nah, jaman dulu karena nggak ada film hollywood, maka dibuatlah cerita yang menarik tentang jimat itu atau cerita lain seperti Sun Go Kong. Lalu apa fungsinya ? Cerita adalah sebuah konsep pemaparan yang paling membekas di benak pendengar. Dan sebuah kearifan orang jaman dulu bikin cerita agar ajaran luhur bisa dipahami mulai dari anak kecil sampai kakek nenek supaya mengakar turun temurun.

Dalam hal ini ketemulah seperti dalam artikel Pak Deka tentang mengupas kulit bawang. Tinggal sampai di mana tahap kita mengupas kulit itu. Sampai dimana kita bisa menggali tingkat spiritual ruh cerita itu. Sebab yang disangka yang sudah isi, ternyata masih kulit. Yang pada akhirnya ketika kulit itu dikupas tuntas dihabiskan, eehh...kok ketemu isi yang bernama kosong. Akhirnya banyak yang pulang kecewa....

Seperti lagu lir - ilir nya para Sunan, bagi yang pemahamannya anak kecil ya dianggap hanya dolanan nyanyian. Bagi yang berfilsafat materialis kapitalis ketika menangkap syair penekno blimbing kuwi, lunyu-lunyu peneken ( panjatlah pohon blimbing itu, walaupun licin tetap rengkuhlah ), maka ingatannya langsung tertuju komoditi dagang buah.

Bagi yang paham nilai, akan melihat belahan buah blimbing itu bercabang lima yang berarti lima waktu. Bagi yang paham akan jeroannya lima waktu, hidup harus bergembira seperti syair akhir lagu surako surak hiyo ( bersoraklah hore ) Karena sudah menemukan jawaban tentang bagaimana mendirikan sholat.

Karena mendirikan akan berkelanjutan dengan bermukim. Persis seperti orang yang ingin mendirikan rumah, pasti akan bermukim disitu.Tetapi yang mengerjakan rumah seperti kuli, ya belum tentu bermukim di rumah itu. Sebab yang dibingungkannya masih bayaran atas ongkos kerja. Membangun rumah banyak orang tapi belum mampu membangun dan bermukim di rumah sendiri

Dalam Al quran sendiri terlalu banyak cerita, tamsil, dan sejarah perjalanan tauhid mulai Adam Sampai Muhammad plus cerita Romawi, Lukman Hakim dan lain-lain. Dan itu hampir sepertiga isi Al Quran. Sayangnya kita hanya menganggap itu sekedar cerita sejarah fisik.Padahal setiap huruf dan kata adalah petunjuk menuju jalan ruhani.

Kembali lagi seperti jaman para Sunan, jelas para beliau adalah orang yang hafal isi Quran. Tetapi kenapa kok malah menggunakan wayang cerita Ramayana ? kok gak to the point proses cerita nabi Ibrahim atau lainnya yang jelas sudah mukhammat secara nasab dan nashnya dalam Quran.

Inilah yang dinamakan kearifan akulturasi dan tranformasi budaya. Agar proses belajar sebuah nilai luhur dapat tersampaikan dan terluruskan tanpa ada pihak tersakiti dan terpaksa yang akhirnya hanya mencetak orang-orang riya'
.
Dan juga jelas nggak mungkinlah dalam Quran ada cerita tentang Ramayana dari India, Shinobi dari Jepang atau Sun Go Kong dari Cina. Sebab Rasulullah lahir di tanah Arab. Alquran jelas memfirmankan bahwa wahyu diturunkan dalam bahasa yang dimengerti. Dalam hal ini bahasa Arab. Tentu saja yang dinamakan bahasa tidak sekedar suara yang keluar dari mulut. Tetapi dibalik dialektika tersebut terkandung sebuah nilai kesejarahan, kearifan universal, ketokohan yang sudah akrab, peta bathin dan suasana -suasananya.

Semuanya megajarkan alif ba' ta kepahaman cerita. Dan setiap tektual Al quran, secara kontekstualnya pasti bisa diaplikasikan ke penjuru dunia manapun. Bahkan nabi pun mengajarkan menuntut ilmu sampai ke negeri Cina untuk membuktikan kebenaran Quran...eh tapi jangan- jangan nanti kalau kita kesana ketemu Sun Go Kong lagi...waduh...

Jadi alangkah baiknya kita menyelami apa makna sebuah cerita, lalu dinalar akan dibawa kemana. Terakhir dipamungkaskan di -Islamkan, alias dijadikan produk yang membawa orang pada jalan keselamatan-salam.

Seperti dalam Islam sebenarnya sepintas banyak terlihat hal yang membingungkan kalau kita hanya membaca secara tekstual saja. Misalnya kecenderungan utama penyikapan kita terhadap anjing pasti jijik dan najis. Tetapi kenapa malah anjing Ashabul Kahfi ikut masuk surga. Padahal yang terkena hukum surga neraka hanya manusia. dan hewan takkan paham apa itu surga neraka. Di sini kita akan bingung mana ayat mukhamat mana ayat mutasyabihat. Padahal anjing Ashabul Kahfi tamsil mutasyabihat seperti cerita kera Sun Go Kong yang bermakna jiwa yang harus di luruskan mengikuti tuannya ( ruh ).

Bila anjing yang menyimbolkan hewan cerdas ini setia dan menunjukkan gua tempat persembunyian ( ruang tersembunyi di dada ), maka Ashabul Kahfi akan tertidur berabad-abad ( lepas ruang waktu ) dengan makanan yang tidak akan basi ( kandungan nafas ), sedangkan keledainya ( jasad ) jadi bangkai ( budaya daging yang tak perlu dicintai berlebih ) yang sudah selesai tugasnya. Akhirnya bertemulah mereka dengan pemerintahan yang adil ( jiwa merdeka yang telah bertemu Tuannya ).

Awal pertemuannya ketika mereka melakukan transaksi ( diskusi ) di pasar ( otak banyak orang ) dengan membawa uang kuno ( nilai ajaran luhur yang telah sukses mengalami berbagai perjalanan keadaan cerita manusia A sampai Z ). Maka jadilah mereka tamu istimewa di bumi pada jamannya alias khalifah. Ashabul kahfi sendiri yang berjumlah tujuh melambangkan tujuh unsur fisik dan ruhani manusia yang harus menempuh sebuah proses keimanan. Ini adalah sebuah contoh ayat tekstual yang menjadi konteks universal.

Kalau dalam Islam kejawen kenapa kok bisa membahas jeroan ghaib manusia secara detail dan terperinci. Tak lain waktu itu memang tuntutannya begitu. Nggak mungkinlah mbahas tehnologi wong belum ada.

Sebenarnya sih Inti ceritanya dulu dan sekarang sama saja. Kalau Allah berfirman bahwa tidaklah manusia mengetahui ruh kecuali sedikit, maka sedikitnya Allah sudah terlalu banyak bagi orang Jawa. Dan akhirnya dikejarlah sampai tuntas pengetahuan ruh yang sedikit itu.

Dan itulah peradaban yang pernah dicapai Islam di tanah Jawa jaman dulu yang membuat berbagai bangsa mulai Belanda, Jepang, Portugis, Mongol, India, dan Amerika ingin ikut mencicipi kandungan berkah rizki bumi Nusantara.

Hal ini persis seperti tren saat ini kita yang lagi asyik menyibak tabir alam dunia yang berbuntut kecanggihan buanyaak hal. Padahal Quran sudah menjelaskan bahwa dunia ini sedikit sekali bagai debu, laibun wa lahwun,senda gurau dan main-main. Kampung akhirat lebih baik. Dan kita nggak ada yang sinis akan hal ini kan ?.Dan oleh karena manusia adalah mahluk bertanya dan mencari, maka Quran adalah kitab yang bisa menjabarkan segala isi otak dan daya batin manusia mulai A sampai Z.

Di sinilah terlihat betapa Islam menjangkau segala sesuatu, meliputi segala sesuatu. Semua aktifitas budaya, kecenderungan2 sifat manusia mampu diluruskan melalui apa yang individu sukai. Mulai dari yang ghaib klenik sampai iptek tercanggih mampu diluruskan dan dikembalikan pada Allah dengan lembut. Sebab kalau kita tidak bisa menjangkau setiap aspek budaya polah tingkah manusia, maka bidang garapan Islam akan terbatas, nggak bisa jadi rahmatan lil alamin. Paling banter rahmatan lil halaqah, alias kelompok sendiri.

Dalam AlQuran sudah menyindir-haluskan cerita Nabi Yakub As bagaimana isyarah memasuki kebenaran dari berbagai pintu yang berlainan ( Yusuf : 67 ). Kenyataannya setiap orang mempunyai "sreg" tersendiri untuk membuka hati menuju Allah. Ada yang seperti Pak Deka yang senang cerita tentang tentang ruang-ruang kesadaran, kamar panas dan dingin. Pasti bila diberi penokohan antagonis dan protagonis tambah seru. Anak -anak pasti suka mendengar. Bila perlu dibikin kayak film bernafas Islam yang lagi menjamur.

Atau ada Pak Marconi yang lebih sreg dan super teliti menelisik kandungan Quran melalui ilmu modern dan tehnologi ( maturnuwun pak, kiriman email pribadi topik Muharram nya ). Juga Mas John Bandempo dengan jargon horizon semangat berilmu yang patut dijadikan suplemen energi berketuhanan.. Di milis sebelah bahkan memakai metode Sun Go kong. Bisa jadi bukan hal aneh dan malah cepat terserap kalau itu untuk mendorong pertumbuhan Islam di Tiongkok. Walaupun sebenarnya secara sejarah, Islam lebih dulu ada di Cina daripada di Indonesia.

Mungkin ada juga orang seperti saya yang suka jadi pemulung . Memungut barang-barang kotor untuk didaur ulang dan dijadikan memiliki nilai kembali. Terkadang jadi tukang rombeng yang membeli barang yang sebenarnya mahal dan berguna dengan harga receh sekenanya supaya pemilik tidak tinggi hati.

Dan tentu saja guru Pak Abu sangkan, Bapak Slamet Oetomo yang mempopulerkan kembali istilah patrap di kehidupan modern. Sebuah Isltilah dan laku yang akrab dilingkungan keraton Jawa dan ditularkan secara rapi dan santun. Sudah tentu, masih banyak silent majority yang lebih baik lagi dengan berbagai metode yang sesuai dengan keakraban komunitasnya.

Semua adalah pilihan jembatan peradaban ketauhidan. Tinggal kita milih yang "sreg" yang bisa memuaskan tuntas titik akhir ketauhidan. Bukan lagi masalah kecepatan patas atau kelas ekonomi. Melainkan sebuah kenyamanan dan kebersamaan hidup dalam menempuhnya. Karena belum tentu apa yang kita ungkapkan sebagai suatu yang paling cepat, mudah dan nyata, ehh bisa jadi malah bagi orang lain adalah suatu yang ribet, absurd dan utopia.

Jadi kita nikmati saja renik-renik perjalanan manusia menuju Tuhannya. Sambil kita sentuh dadanya dengan kelembutan. Agar seseorang segan dan mau mengikuti dengan legowo jalan kebenaran yang telah kita tempuh.

Anggap saja kita belajar Islam seperti masuk restoran. Asalkan niatnya makan-bukan merusak restoran, itu sudah benar. Tinggal pilih menu yang disukai. Kita tidak bisa memaksakan selera makanan walaupun kepada teman karib. Persis seperti hormatnya Rasulullah terhadap pilihan akhir pamannya, Abu Thalib. Sebab selera itu tak ada ukurannya. Persis seperti tak dapat diukurnya ruh.

Inilah sebuah kearifan dan keluasan Islam. minadzzulumati ilannur. Merubah pemahaman apa saja yang gelap remang- remang menuju pemahaman cahaya terang benderang...



Wassalam

Dody Ide

3 komentar:

  1. Walah........

    wes kadhung nulis koment dowo banget kok malah ilang Gus....

    Ini loh ribete Blogspot kuwi, yen arep koment dadak nggo blusak-blusuk..neng lompongane tonggo...

    iki koment nyobo2 wae loh..

    BalasHapus
  2. cukup menarik koq mazzz....
    akhirE hal p'tanyaanQ sdkit terjwab
    matur nuwun
    terus berbagi y . . .
    keereeen . . . ;)

    BalasHapus
  3. Mas Dody, penjelasannya enak dan gamblang cocok sekali dengan nama blog-nya.

    Jujur mas Dody, Ajaran Islam (Quran & hadist) menjadi sangat ni'mat dan dalam sekali kalau di kuliti & diselami dengan budaya & spriritual jawa/kejawen. Saya orang Jawa muslim, & rasanya saya sangat menikmati menghayati islam seperti tulisan Mas Dody diatas. Tapi kadang saya juga muncul rasa tidak sreg & akhirnya muncul pertanyaan kenapa orang2 kejawen sepertinya agak sinis degan syariat Islam yaa....? Kalau sinis dengan orang islam bisa saya maklumi. Karena banyak orang islam yg akhlaqnya masih jauh dari yg diajarkan oleh Nabi saw.

    salam
    senterled@gmail.com

    BalasHapus