Senin, 14 Juli 2008

7 Langit 7 bumi ( bag 1 )



TERLAHIR

Dua abad yang lalu yang lalu, semua yang saat ini menginjakkan kaki di muka bumi tak pernah mengetahui dengan pasti apa yang terjadi. Karena perangkat badan, fikiran, dan jiwa belum terlahir seperti sekarang. Bagi kita yang saat itu belum terlahir , yang ada hanyalah suasana kokosongan dan keheningan. Wang-wung. Serasa tak ada apa-apa walaupun di satu sisi dengan nyata para pendahulu abad itu telah merasakan dan menceritakan segala bentuk kejadian dalam torehan kitab sejarah, prasasti-prasati, imperium bangunan eksotik dan tentu saja batu-batu nisan sebagai wujud keberadan sang mahluk bernama manusia.

Bagi yang saat ini belum terlahir juga demikian adanya. Semua penuh teka-teki yang mendebarkan dibalik realitas keseharian yang sedang kita hadapi. Suasana sebelum lahir tak ada ruang dan waktu, tidak ada siang malam yang otomatis tak akan ada panas-dingin dan berakibat hilangnya susah-gembira , kaya miskin, baik-buruk dan segala sesuatu yang berlawanan. Tak ada penjelasan keadaan tentang hal yang sesungguhnya sedang ada. Dalam ketiadaan yang ada itu, manusia yang sedang hidup di dunia ini hanya bisa menyebut raelitas Tuhan.

Tiba-tiba pada masa yang telah ditentukan Tuhan berkreasi di wilayah kelembutan yang hening itu. Sebagian dari wilayahNya disublimkan menjadi bentuk kejadian. Mula-mula dari alam cahaya yang berada di dalam benih yang sedang mencari tempat persinggahan. Kemudian ketika benih itu telah menemui tempat berdiam dengan tenang, maka cahaya itu dengan sendirinya mulai mengikuti gerak diamnya benih dengan cara mengurangi kecepatan geraknya hingga jutaan kali.

Bila saja tak ada cahaya yang mengikuti benih ini maka tak akan lahir seorang anak manusia. Juga seandainya cahaya ini tak mempunyai rumah benih yang kuat dan tempat persinggahan yang tenang maka ia akan kembali ke asalnya.

Ketika pada suatu masa, cahaya itu telah berada pada fase gerak terlambat yaitu diam. Maka saat itu juga realitas diamnya tampak terlihat menjadi proyeksi materi yang menjadi cikal bakal daging manusia, gumpalan darah. Realitas cahaya itu telah berubah menjadi realitas dunia materi dan mulai belajar mengenal segala hukumnya yang begitu lamban dan beralih-alih suasana.

Namun gumpalan darah itu tak mempunyai kekuatan apapun karena ia telah kehilangan sifat cahaya yang cepat dan dinamis. Ia hanya tergantung oleh sapaan akrab keberadaan cahaya yang melingkupinya. Cahaya itu berada dalam tubuh sang ibu. Sebagian dari cahaya itu melambat pergerakannya menjadi atom-atom ilmu pengetahuan rasa dan pengetahuan wujud.

Kelak bila pengetahuan rasa ini bekerja lebih banyak maka terlahirlah bayi perempuan dan bila pengetahuan wujud yang lebih sering menyapa maka lahirlah bayi laki-laki.

Cahaya itu mengarahkan segala sesuatu yang masuk dalam tubuh sang ibu baik berupa fisik maupun psikologis untuk ditransformasikan ke dalam gumpalan darah ini. Lama-kelamaan gumpalan ini membesar menjadi seonggok daging yang mulai berbentuk. Pola wujud daging ini mengikuti segala masukan materi dan non materi yang telah disifati sang ibu.

Seiring dengan perkembangan daging, Tuhan telah mempersiapkan bagianNya, ruh, untuk disusupkan ke dalam tubuh ini. Ruh ini melebihi kecepatan cahaya apapun. Saking cepatnya sampai-sampai terkesan diam. Kemanapun pergi, Ia akan tetap terlihat kembali di singgasananya yang suci. Kepergiannya kemanapun telah melebihi kecepatan dan jarak tempuh terjauh dari cahaya yang pernah ada sehingga disebut yang berada di mana-mana tapi tak kemana-mana..

Namun ketika ruh memasuki sebuah wadag, Ia terhadang oleh berbagai keadaan hukum dan suasana. Kejadian ini bagaikan meteor yang jatuh ke bumi. Lapisan luar bergesekan dengan atmosfer tubuh dan alam sehingga memecah dan menyatu dengan keadaan.

Itulah jiwa. Unsur ini mengetahui perpaduan bentuk kejadian alam nyata dan alam ghaib karena telah bersentuhan langsung dengan keduanya. Ia punya pola gerak hukum alam yang lamban dan berubah-ubah suasana sekaligus memiliki kemampuan kembali kepada asalnya dengan kecepatan cahaya.Maka setelah gesekan itu terjadi, yang tinggal hanyalah inti ruh yang terus menyusup menghunjam ke cikal bakal tubuh manusia.

Bertepatan dengan itu terjadilah hukum persaksian bahwa Ia hanya menyusup untuk kembali.

Ruh itu bagaikan kemilau air dalam botol pekat tak tembus cahaya yang sedang mengapung di samudra tak terbatas. Botol adalah jasad manusia. Tutup botol adalah jiwa. Sang ruh harus kembali ke samudra tak terbatas dengan perantara tutup botol yang telah terbuka, jiwa yang tenang, jiwa yang telah mensifati cahaya. Namun terkadang jiwa ini lebih condong memandang bentuk botol karena ia merasa bagian dari botol ini sehingga ia selalu menutup rapat ingin selalu bersatu dengan botol...

Apapun yang terjadi nanti, saat ini telah sempurna sosok cikal bakal manusia yang akan bersiap diri menghadapi hiruk pikuk dunia. Sang khalifah sedang menunggu waktu untuk berpindah ke alam yang paling kasar yang pernah ia temui.

Maka Digelarlah panggung kehidupan itu melalui rahim sang ibu...


BERSAMBUNG...

Dody Iskandar Dinata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar