Rabu, 05 Agustus 2009

" Tak Gembol kemana - mana "


Dalam tahun ini saya telah kehilangan beberapa orang yang menjadi contoh laku hidup yang baik. Dua yang terakhir adalah : pertama, teman bercanda, sahabat, orang tua sekaligus pembimbing hidup. Tak perlu sebut nama, toh beliau bukan konsumsi publik dan jauh dari potongan ngetop. Yang penting saya bisa menyaksikan dengan mata kepala bahwa : beliau ikhlas dalam membimbing saya. Tak sepeserpun minta imbalan. Baik melalui keringat, ataupun harta sepeserpun, entah atas nama sodaqoh, mahar ataupun infaq. Bahkan beliau selalu tombok..

Hal lain, dalam sakitnya yang lebih dari setahun hanya terbaring dalam tidur, beliau tak pernah mengeluh. Bahkan setiap ucapannya hanyalah canda tawa dan cuma satu pesan : "sing kenceng" alias yang lurus. Hidup cuma ikut Satu.

Bahkan dengan santainya beliau berpesan pada keluarga : Minggu depan pukul 16.30 persis saya sudah kembali ke Asal. Jadi kamu-kamu nggak usah sedih. Bergembira saja, bikin kambing guling atau apalah..hidup yang enak.. Dan benar, tiga hari sebelum meninggal, beliau mandi bersih, puasa bicara, plas...! persis tiga hari kemudian pukul 16.30, Kamis, beliau wafat dengan senyuman sumeleh.

Ah, tapi tiga paragraf di atas bukanlah bagian penting untuk anda baca. Lewati saja...karena memang siklusnya demikian. Karena toh beberapa tahun ke depan kita juga akan banyak kehilangan para penjaga ruhani. Nggak perlu terlalu larut, toh ada tunas baru yang akan di persiapkan Allah, walau terasa agak lama kalau kita nggak sabar.

Contoh laku hidup kedua, tentu saja konsumsi publik, dan ini yang akan kita ulas. Adalah Mbah Surip.

Setelah meninggalnya sahabat dan pembimbing saya, eh..anak saya kok ya serasa menyindir saya terus. Lagu mbah Surip tak gendhong kemana - mana selalu dia diplesetkan " tak gembol kemana - mana, bauk tauk ! ". Plak ! syair plesetan itu memaksa saya untuk kembali berposisi ihdinasiraatal mustaqim...

Apa beda tak gendhong dengan tak gembol ? Filosofi dan pemaknaan tak ghendong adalah posisi mendekap, mengayomi, menyenangkan dan mengantarkan.Tak gendhong identik dengan kekuatan dalam kelembutan.

Sedangkan tak gembol masih wilayah mental khawatir, egosentris, takut kehilangan, dan mental keterpaksaan akan sebuah kewajiban. Tak ada kesadaran dan kebesaran hati. Tak gembol selalu membawa beban, sarat permasalahan. Gembolan adalah sesuatu yang rasa - rasanya hanya ia pribadi yang memiliki dan sifatnya juga sangat pribadi. Dan gembolan orang modern tentunya berupa dompet atau hp beserta segala isinya....

*

Kalau kita melihat Mbah Surip secara dangkal, mungkin kita hanya menyamakan dengan kengetopan artis umumnya. Padahal dalam kandungan ruhani beliau, ada sesuatu yang luar biasa. Syair yang demikian mudahnya masuk ingatan, bukanlah suatu kebetulan. Perjalanan panjang hidupnya adalah kekuatan syair itu. Ini semacam lagu jaman wali Lir-lir yang bagi kebanyakan orang nggak paham kandungan nilai, dianggap sekedar nyanyian pelepas penat.

Karakter lagu lir ilir atau tak gendhong ini adalah karakter patrap. Karakter yang bisa mengakomodir setiap pejalanan ruhani tergantung dimana ia berada. Dalam arti trap -trap atau wilyah pijakan akan men"jujurkan" dimana sesungguhnya seseorang bermukim di wilayah bathin masing-masing. Tentu untuk di bimbing sampai tujuan akhir. Kalau kita menganggap lucu ya lucu, mainan ya mainan. Tapi bagi yang terbuka kesadaran spiritualnya, tentu hal itu bukanlah syair sembarangan.

**

Ketika dalam sebuah pentas panggung kecil mengatakan bahwa lagu ini diciptakan ketika berada di Amerika, banyak orang menganggap guyonan. Orang terlanjur menganggap remeh dan tidak mungkin benar orang ini. Seperti biasa, belaiu tidak merasa terhina karena eksistensinya yang sering keliling dunia tak diakui. Jawabannya hanyalah.."ha..ha..ha I love you full " bukan main ! cibiran dibalas cinta !

Karakter Mbah Surip adalah orang yang tak tega menggurui, mengingat beliau seniman yang berolah rasa. Setiap kata yang disampaikan adalah sindiran atau nasehat super halus sehingga kita yang menyimak seakan menganggap itu bukan nasehat atau sindiran.

Coba kita lihat korelasi syair tak gendong dan wawancaranya oleh satu koran. Beliau menyebutkan bahwa tak gendhong itu adalah filosofi bis umum. Setiap penumpang siapapun dia, entah pencopet, karyawan, bos atau pelajar ya sama-sama diantarkan ke tujuan tanpa pilih kasih.

Lha kalau saya yang jadi Mbah Surip, supaya meyakinkan penyimak dan terkesan berwibawa, pasti pemilihan kata saya lebih menjurus sok intelek atau sok alim. Pasti kalau saya yang diwawancarai banyakan njawab model begini " tak gendhong itu kan sesungguhnya prinsip dienul Islam. Kosmologinya masuk wilayah Rahmatan lil alamien. Ketika seorang menjadi kyai,ustadz atau warasatul anbiya, ia harus mempunyai hati super lapang dan wawasan luas, entah mulai wawasan jadoel perdukunan sampai post modern. Mulai mahluk halus genderuwo sampai inti atom "

" Sebab bila tidak demikan, ia hanya jadi bahan tertawaan karena tidak bisa mengantarkan penumpang yang bermacam-macam profesi sampai tujuan yang semestinya. Kendaraannnya masih kelas kendaraan pribadi yang hanya bisa mengangkut orang tertentu yang ia kenal dan sukai. Alias belum sampai tahap rahmatan lil alamien "

Syair lain seperti bangun tidur, tidur lagi, bangun lagi tidur lagi...kalau bangun terus mandi ...senam pagi ...kalau lupa tidur lagi, juga bukan main ! Nggak mungkin seorang yang pernah menjadi engineer ahli pengeboran minyak kelas multinasional hanya terkesan berucap ngawur tanpa ada pesan mendalam yang sesungguhnya.

Sekali lagi, sekedar mencoba mblejeti, sesungguhnya syair itu mengidentikkan bahwa bangun adalah makna kesadaran. Tidur adalah makna ketidaksadaran alias kehilafan. Dan proses manusia selalu pada wilayah itu. Belajar, berjuang, jatuh lupa lagi, memulai lagi, membersihkan diri dan refreshing tafakur ( mandi dan senam pagi ) dst..Dalam hal bertauhid ya berarti orang itu kadang ingat kadang lupa, alias kadang kafir kadang mukmin. Dan jiwa murtad ini bisa terjadi detik demi detik silih berganti. Nggak nunggu murtad secara formal. Jadi hati-hati bikin statement mengkafirkan atau memurtadkan orang...

Ada juga lagu yang saya suka...aku sudah sembuh..aku jadi ganteng. Ini semacam pergumulan bathin seorang anak manusia yang berhasil melewati kekusutan alur pikiran untuk menemui kekhusyukan diri. Jangan dibayangkan model kehusyukan Mbah Surip dengan model kita. Wujud kekhusyukannya adalah ha..ha..ha..Tertawanya adalah aplikasi memandang bahwa semua itu Satu adanya. Sebab kata kekhusyukan toh berasal dari makna awas, tersadar, terjaga, terbebas merdeka....

Siratan syair ini mengungkapkan pernyataan tersembunyi bahwa beliau sudah sembuh dari tekanan peradaban dunia. " aku masuk ruang hampa, lima menit kemudian aku berubah jadi ganteng ha...ha..ha.." Itulah ketauhidan beliau. Memasuki wilayah hampa tak ternilai, tak terhingga, tak terucap, tak terfikir, sangat luas dan nyaman. Sehingga sejenak saja orang yang pernah memasuki wilayah itu, hidupnya jadi ganteng, sip tenan....

Dan terakhir cita- cita beliau 40 hari sebelum meninggal sudah berpesan ingin punya helikopter. Orang - orang pada tertawa. Padahal pemaknaan helikopter adalah sebuah sarana transendental ilahi. Beliau ingin mi'raj tanpa take off yang terlalu memakan lahan. Sifat helikopter tidak seperti pesawat terbang. Helikopter hanya membutuhkan lahan sedikit untuk naik secara vertikal.

Pesawat terbang itu ketika akan menuju langit butuh lahan yang panjang. Maksudnya orang kebanyakan seperti kita ini kalau mau ngomong syukur kan nunggu cita-cita terlaksana. Tentu saja cita-cita itu selalu berhubungan dengan perolehan kandungan tanah. Rata-rata orang bisa khusyu setelah fasilitas rumah, mobil, perhisan dan sejenisnya tercukupi dengan lengkap, bila perlu lebih. Baru setelah terpenuhi semua, orang dengan gagah berani merasa paling dekat dengan Tuhan.

Prinsip ini telah beliau buktikan kesetiaan pada dunia kreatifitasnya yang berpuluh tahun tanpa tersentuh hasil kemakmuran dunia. Tidak harus nunggu sukses untuk menyetiai perjalanan hidup. Bahkan setelah royalti bermilyar -milyar, ia tetap hidup sederhana merasa gak punya apa -apa. Cita -citanya hanya ingin membagikan hartanya pada anak yatim piatu.

Seakan-akan Mbah Surip menyindir," Ah..coba kalau semua perolehan itu tidak kamu miliki atau dikukuti satu persatu. Bisakah kamu terbang menjulang tinggi gagah berani seperti Kanjeng Nabi ? Bagaimana bisa kamu ingin mendapat hidayah khusyu' sedang di dalam pikiranmu masih suka nyanyi tak gembol kemana-mana ? "


( Tulisan ini sekedar mengingat dua tokoh yang bagi saya pribadi sudah pada wilayah tak gendhong....orang yang tahu tapi tak pernah merasa tahu...)


Wassalam, belum kuat nggendhong


Dody Ide

5 komentar:

  1. Ulasan yg mantap kang, .. terus terang aku engga kepilih akan kata2 yg sederhana itu mengandung suatu yg dalam.

    BalasHapus
  2. luar biasa, seringkali kita cepat mentertawakan sesuatu tanpa mendalami makna yg terkandung didalamnya... salut atas blejetane..

    BalasHapus
  3. Bahagia sekaligus iri kalau kita mendapati orang yang telah mendapati/mengetahui jalan yang benar , yaitu jalan mendapat rakmat dan barokah bukan jalan yang Tuhan murkai.

    Banyak orang merasa terpaksa, dipaksa melalui jalan hidup yang dia lalui. kadang sampai lupa kalau jalan hidup adalah pilihan.

    Tujuan Hidup Adalah SATU

    Semoga jalan hidup yang kita jalani sekarang tidak menyesatkan kita

    BalasHapus
  4. mbah surip org yg mazdhub

    BalasHapus
  5. luar biasa ternyata, sederhana tapi dalam banget.

    BalasHapus