Jumat, 24 April 2009

Rasulullah Pembimbing yang Lembut







Bagaimanakah cara kita mengkomposisi pribadi beliau yang lembut ? Bagaimana sosok panglima perang, suka bercanda dengan kaum tua, sayang cucu, pegulat, negosiator unggul, politikus ulung, super jujur, raja yang beralas pasir berteduh pohon korma, intelektual tanpa buku, enterpreunership, pemanah jitu, lelaki super jantan beristri banyak, tegas dalam hukum, bijak welas asih dan sebagainya bisa bersatu dalam diri beliau ?

Dan semuanya tetap terlingkupi dengan sosok anggun wibawa nan lembut ? Rahmatan lil 'alamin....lambang kasih sayang semesta...

Bagaimana bisa ?

Bukankah yang kita temui sehari-hari, bila seorang berjuluk politikus, omongannya pasti bias dan tak tegas. Bila seorang berjuluk jenderal panglima perang , pasti sedikit belas kasihnya dan angker. Bila seorang bertitel intelektual, pasti jarang bisa punya kekuatan fisik yang sempurna. Bila seorang berjuluk businessman, sangat jarang bisa bersantai dengan cucu atau sesepuh sekitarnya.

Bila ia berjuluk pakar hukum, sangat jarang bisa merubah suatu keadaan lebih manusiawi dengan daya negosiator humanis tanpa melupakan koridor kejujuran. Bila seorang angker di hadapan bawahan, belum tentu angker di waktu bobok malam dengan istri tercinta. Bahkan seorang berjuluk ustad, terkadang malah sering sinis tehadap orang fasik yang seharusnya didekati dan diluruskan.

Bagaimana kok tidak bisa ?

Bagaimana ke arah bisa ?

Cukupkah hanya meniru dengan berucap kata lembut dan bergaya sopan supaya bisa menjangkau kompleksitas pribadi beliau ? Lalu setelah memaknai lakon tutur kata lembut dan berlagak santun seperti itu, apakah kita mirip Rasulullah dan lebih mendekati jalur surga ?

Waduh, gawat, kalau sedangkal itu, kasihan dong saudara kita yang dari Madura dan Batak. Logat dan gerak sosialnya sama sekali jauh dari kelembutan. Dan jangan-jangan yang paling mirip dan masuk surga duluan orang Surakarta. Sebab tutur katanya terkenal paling lembut sedunia.

Pemaknaan ke"lathief"an yang hanya gambaran indera ini sering membuat kita terbuai. Sampai-sampai akhirnya timbul istilah serigala berbulu domba, air mata buaya dan sejenisnya. Tapi nggak apalah...wong kita masih betah di wilayah ini. Kita ini kan lebih nyaman ditipu tetapi dengan cara yang sopan daripada diluruskan dengan cara yang tegas. Lebih parahnya diluruskan dengan cara sopan pun masih marah-marah karena sudah terbiasa nyaman ditipu.

Sebenarnya apa sih yang lembut dari Rasulullah sehingga semua bisa berjalan dengan sempurna ? Logatnya, gerak badannya atau apanya ...?

*

Kalau anda seorang politisi, pasti akan mampu menaklukkan rival politikus lain karena ada kesamaan wilayah yang bisa dipertarungkan. Tetapi bagi seorang ahli mekanik, kepolitisian itu hampir tidak ada artinya. Begitu juga sebaliknya. Begitu juga seumpama kita ini pakar science, aura kewibawaan intelektual beserta pemahamannya hanya terjadi di tataran orang yang mengejar science. Sama sekali tak berpengaruh di hadapan penjual nasi pecel. Bagi penjual nasi, yang berpengaruh besar adalah kalimat " berapa bungkus pesanan ". Sebab hanya sisi itulah yang paling bisa dinikmati dan berpengaruh besar bagi dirinya.

Lebih gampang contoh, Seorang laki-laki sejati takkan tertarik sama sekali dan tergerak mencoba memakai lipstik, BH, eye shadow dan sejenisnya. Walaupun semudah dan sesabar mungkin seorang wanita menjelaskan betapa perlunya hal itu sebagai sebuah penampilan.

Inilah subyektifitas yang rumit dan butuh kalibrasi ilmu pengetahuan yang tak sederhana. Dan pemaksaan penyeragaman untuk dijadikan kesepakatan objektifitas baru, sering berbuah kedongkolan intelektual.

Tetapi di balik itu ada sebuah bagian yang semua manusia memilikinya -sebuah objektifitas murni, mudah dan sederhana. Hal inilah yang disentuh dengan kelembutan Rasulullah. Dan oleh Rasulullah disindirhaluskan lewat tahap kemampuan gerakan sholat. Kalau tidak bisa berdiri ya duduk, kalau tidak bisa duduk ya berbaring, kalau tidak bisa gerak ya berkedip dst...Hal ini karena tidak semua orang memiliki kemampuan yang sama.

Lha...lalu apanya sih yang sebenarnya bersholat itu ? apanya yang sama ? apa sih yang benar -benar diperhitungkan dalam sholat itu ?

Kata nabi dalam sholat itu tidak ada pekerjaan lain. Lho ! berarti memang nggak ngapain- ngapain. Benar. Dan nggak ngapain-ngapain itu memang pelajaran yang paling berat.

Makna sebuah pengajaran bahwa di dalam sholat haruslah menuju sesuatu yang nggak ngapa-ngapain. Lha emang perintahnya gitu kok. Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu. Sabar itu ngapain sih ? adakah universitas sabar ? apakah bidang keilmuan sabar ? adakah seminar training sabar ? Adakah manusia yang kompeten bikin pelatihan sabar 24 jam pasti bisa, garansi uang kembali ?

Lha wong sabar itu cuma diam kayak wukuf...dan wukuf itu hanya diam sejenak. Masalahnya, kata sejenak itu selalu kita maknai dengan arti menyempatkan. Padahal kalau dalam keseharian bahasa Jawa, jenak itu adalah nikmat, nyaman, dan lega plong. Nasihat lungguho sing jenak bila diIndonesiakan duduklah sejenak yang artinya duduklah senikmat dan senyaman mungkin. Maka Kalau wukuf sejenak, ya diamlah senyaman mungkin, senikmat mungkin, dan selega mungkin...nggak usah mikir dan kepikiran apa - apa....

He...he... Kalau tuma'ninah badan untuk diam sejenak sih bisa. Masalahnya, yang nggak mau diam wukuf itu kan otak ini. Persis kayak embik yang meronta -ronta karena takut mau disembelih buat korban. Ah... seandainya saja ada orang jual pengikat kepala yang bisa buat mengikat fikiran agar diam. Pasti saya antri beli....

Klop kan antara sholat dan sabar itu nggak ngapain-ngapain. Dan sesungguhnya dalam diam itu terjadi aktifitas maha dahsyat. Aktifitas ini disebut aktifitas kesadaran ruh. Ruh inilah bagian terlembut dari manusia.
Dan gerak kesadaran rasulullah adalah kesadaran hidup di wilayah ruh.

Ruh inilah yang setiap orang mempunyai kadar yang sama. Tak peduli presiden, tukang tambal ban, pendakwah, ilmuwan ataupun penyanyi, yang menjadi daya menghidupi ya barangnya itu - itu saja.

Ketika seorang berada di kesadaran ruh, maka ia akan mudah bercengkrama dengan siapa saja. Sebab ruh itu menyelimuti seluruh tubuh, dus sudah pasti menyelimuti otak beserta filenya.

Misalnya, seumpama saya berada di kesadaran ruh, kemudian saya bertemu seorang pakar kelautan. Tanpa kesulitan saya hanya menggerakkan kesadaran ruh ke dalam file otaknya. Sehingga otak dia bagaikan otak saya sendiri. Sehingga percakapan tentang kelautan seakan -akan gayeng dan ramah.

Hal ini karena orang yang telah berada di kesadaran ruh bisa menggiring, menemani dan meluruskan akan dibawa kemana file tentang kelautan yang begitu banyak tersebut dengan mengikuti bahasa sang pakar. Sehingga setelah selesai ngobrol, hati sang pakar diam sejenak, wukuf tenang dan sadar bahwa ia akan kembali kepada muasal ruh. Masalah nanti kambuh membantah lagi, ya itu emang dalam Quran sudah tersurat banyak orang yang begitu....

Tapi kalau saya ini cuma misal lho...kalau nggak percaya ya malah enteng, jangan dibahas terlalu serius...lha wong cuma misal...

Inilah yang disebut amal shalih bin ikhlas. Amalan yang mengikuti desiran ruh....Sebuah amalan lembut yang mampu mengetuk sistem manusia lintas strata sosial dan lintas kapabilitas intelektual. Yah...sebuah sikap ikhlas yang mudah dan semua orang memiliki.

Sayangnya kemudahan itu dipersulit diri sendiri oleh sebab kita merasa bisa berdiri sendiri dengan segala pernik proses ketidaksadaran menuju jalan merumitkannya.

Dengan pemahaman seperti ini, terkuaklah peluang bahwa siapa saja bisa menikmati wangi surga dienul Islam. Warisan rasulullah ini tidak lagi hanya dimonopoli seorang berdasar keturunan, scientis atau agamawan.

Lha kalau tidak bisa untuk semua, ngapain rasulullah capek-capek ngasih contoh. Padahal jelas, bahwa Muhammad adalah sebaik-baik contoh. Karena segamblang-gamblang contoh, sudah tentu mulai anak kecil sampai kakek, budak sampai cendekia sanggup mengikuti. Nalarnya, kalau nggak bisa dicontoh, ngapain ikut-ikutan mengerjakan dan jadi muslim...

Kalau saja kita tetap memaksakan, bahwa yang paling berhak merasakan surga Islam adalah berdasar keturunan, kedekatan geografis, perkumpulan halaqah, kefasihan bicara atau kecendekiawanan, waduhh...bisa frustasi orang-orang seperti kita ini...Bagaimana tidak, jangan-jangan orang bodoh seperti saya yang tak punya KKN agama ataupun background pendidikan yang cukup ini dapat nomor kancrit. Itupun belum tentu.

Akhirnya orang-orang seperti saya ini nggerundel, " Ngapain capek-capek membangun mushola, madrasah atau pesantren..ngapain dakwah capek-capek...ngapain berbuat baik...toh peluang surga sangat kecil sekali. Biarin aja dah yang bikin masjid atau majelis agama orang -orang yang merasa dirinya garda depan".

Maka terjadilah frustasi massal. Bisa - bisa di Indonesia ini tidak ada lagi masjid, pesantren, laboratorium sertifikasi halal dan bangunan yayasan yang berdiri megah. Bahkan akan ambruk satu persatu. Sebab kenyataannya yang membangun dan merawat hal-hal tersebut adalah kaum Bilal alias kuli -kuli yang hampir tidak pernah kita perhitungkan dalam konteks gegaduhan Islam. Padahal dalam diri mereka lebih banyak porsi kepolosan daripada intrik.

Dan merekalah yang selama ini kita anggap dengan istilah abangan, Islam KTP, Islam kultural, Islam anut grubyug nenek moyang dan berbagai penyebutan yang menafikannya.

Hopeless. ...


**

Kalau merunut jalan sejarah, Islam adalah jalan tengah, jalan lurus, setelah adanya pertarungan peradaban besar antara Persia dan Romawi. Dalam hal ini, kenyataannya budaya dua kubu banyak mempengaruhi spirit berdienul Islam. Dari Romawi, yang paling kuat dan mengakar sampai saat ini adalah konsep berfikir Yunani oleh Descartes dengan jargon " Cogito ergo sum - saya berfikir maka saya ada. Dari Persia yang paling berpengaruh adalah sebuah konsep kemutlakan kepemimpinan spiritual seperti guru, mursyid, Imam atau kemutlakan otorisasi sabda.

Dengan adanya Muhammad, semua itu diluruskan dengan gebrakan konsep awal " Iqra...bacalah...tetapi tidak hanya terhenti disitu melainkan Bacalah dengan nama Tuhanmu... adalah konsep penolakan halus konsep cogito ergo sum dan kemutlakan guru. Dua hal ini didudukkan secara adil dan proporsional oleh beliau tanpa mengingkarinya sama sekali.

Kalau Descartes ngomong saya berfikir maka saya ada, maka oleh Nabi Muhammad didudukkan persoalan yang sebenarnya menjadi antitesis saya tidak berfikir dan saya seungguhnya tidak ada. Dan hal ini terangkum menjadi sebuah kalimat agung La ilaha ilallah....tidak ada yang patut dibahas - dibesar - besarkan - disembah - dituju selain Allah sendiri...karena semua la...tidak, semu.

Analoginya, kalau orang bisa menjalankan mobil, pasti bisa menghentikan kapan pun ia mau. Jadi kalau orang merasa bisa berfikir, logikanya ia harus bisa rem kontan pikirannya kapan saja, terutama ketika ia sholat. Eh..kok ternyata nggak bisa ya ? berarti ia tidak berdaya dong dengan jalan fikirannya sendiri ? ia tidak mampu mengendalikan fikirannya sendiri...singkatnya sesungguhnya ia tidak mampu berfikir.

Islam bukan sebatas produk fikiran atau filosofi. Sebab kalau begitu, pastilah yang diangkat menjadi Nabi bukanlah Muhammad. Karena pada waktu itu banyak sekali jago pemikir, filsuf dan penyair yang muatan katanya lebih berat dari penyair abad kontemporer seperti Khalil Gibran.

Sang rasul hanya bisa membaca bila dituntun alias dibacakan. Tidak ada kemampuan diri sendiri, la haula walaaquwwata ila billah...Beliau hanyalah manusia yang dibimbing dan dijalankan lintas batas isra' mi'raj - timeless spaceless dengan kendaraan buraq.

Dalam konsep Quran mengenai isra' - mi'raj ( yang saya artikan secara pribadi adalah pelipatan kecepatan pencapaian ilmu horisontal alias dunia beserta filsafat materinya dan ilmu vertikal alias hubungan ruh ), Muhammad menggunakan kendaraan yang bernama buraq, yang sebenarnya dalam Quran disebut barqun alias kilat cahaya. Lha kalau gitu buraq dan malaikat Jibril sama dong ? kan sama-sama dari cahaya.

Kalau masalah itu sih silahkan tanyakan ahli tafsir. Tetapi intinya sampai abad mutakhir ini, cahaya adalah konten pergerakan tercepat beserta segala penciptaan peradaban lintas waktunya. Dan Muhammad sang utusan telah dengan expert mengendarainya belasan abad silam. Sehingga beliau bisa mengetahui data cahaya sampai akhir peradaban.

Kendaraan buraq inilah yang sesungguhnya setiap manusia memiliki. Dan biasanya tugas pembimbing ruhani yang menunjukkan kendaraan ini, minimal menunjukkan cara menemui kendaraan ini. Di sinilah manusia mempunyai potensi yang sama asal mau menaiki kendaraan ini.

Sang pembimbing sekedar menunjukkan " Ini lho kendaraannya, tinggal kamu mau menaiki apa tidak. Kendaraanmu dan kendaraanku sama saja. Aku tidak lebih darimu sebagai orang biasa. Bedanya, kalau kamu tidak mau menaiki, ya silahkan menikmati rabaan akalmu yang tak berujung sampai ajal tiba ". Kata orang Madura, rejeki tak mestek, ilmu tak mestek, maa...ti mestek ( rejeki tak pasti, ilmu selalu berubah, tetapi mati sudah pasti ).

Memang pembimbing bukanlah segalanya. Tetapi bagaimanapun kita tetap membutuhkan seorang pembimbing yang memegang warisan luhur nabi. Warusatul anbiya itu bisa disebut guru, kyai atau apa saja. yang memaknakan orang yang tidak sekedar memberi keterangan, tetapi membimbing, menemani, meluruskan, merawat dan mampu menjelaskan serta menuntun pada fenomena realitas dimensi yang bertingkat. .

Pada jaman Rasulullah, beliau sendiri sebagai pembimbing sahabat-sahabatnya. Beliau sebagai tempat bertanya atas perjalanan spiritual para sahabat. Sebagai tempat pelurusan arah perjalanan. Padahal kalau dinalar, kurang khusyu apa mereka ? lha wong tiap hari selalu jamaah sholat bareng rasulullah.Seharusnya mereka tak perlu bertanya apa-apa kepada Muhammad lha wong sudah konek dengan Allah langsung.

Namun tidak, karena potensi" mblakrak" , puas diri dan bias masih ada dalam sebuah perjalaan para sahabat, maka Muhammad sebagai pejalan ruhani yang sudah khatam dari A sampai Z alias pamungkas yang bisa menyelesaikannya. Tetapi karena saat ini secara kesepakatan aman ulama mengatakan rasul telah berakhir, maka orang yang membimbing dan meneruskan mengajarkan hal ini disebut warusatul anbiya.

Dan nabi Muhammad sendiri sebenarnya dalam proses bertauhid tidak langsung seperti dukun tiban. Kita lupa sejarah bahwa beliau sebenarnya mempunyai pembimbing secara person yang tak lain adalah kakeknya, Abdul Munthalib.

Kakeknya lah seorang peletak dasar ketauhidan pada diri Muhammad kecil. Kakeknya lah juru kunci Baitullah pada waktu itu. Baik rumah Allah yang berbentuk fisik hitam itu maupun yang bersifat puncer ruhani. Kakeknya lah orang yang paling disegani kaum agamawan dan spiritualis waktu itu karena kapabilitasnya yang "jangkep"

Seperti Pak Abu Sangkan sendiri, walaupun judul bukunya " Berguru pada Allah " cukup spektakuler, tetapi realitas lapangan, beliau tetaplah mempunyai guru, bapak Slamet Oetomo. Sebab kenyataannya memang banyak hal yang harus digawangi dan di"jejeg"kan segala hasil kepahaman dan buah pikirnya oleh Bapak Slamet Oetomo.

Hal ini supaya sebuah pemahaman atau buah fikir tidak terhenti dan berubah menjadi hafalan psikologis yang akhirnya hanya mandeg pada tataran filsafat atau doktrin baru.

Misalnya, kalau dulu kita bisa merasa tentram hati setelah jihad beramal dengan semangat 45 dan membayangkan perolehan surga, kini berubah tenang karena mempunyai senjata ayat " Allah meliputi segala sesuatu dan Allah lebih dekat dari urat leher ". Posisi tenang kita hanya metamorfosis brain storming penggantian kata surga dengan kata Allah. Padahal sama-sama belum memasuki realitas yang disebut.

Di sinilah sebenarnya fungsi seorang pewaris nabi yang benar - benar " jangkep " ilmunya .Karena seorang warosatul anbiya adalah seorang yang kurang lebih memiliki tiga fase perjalanan yaitu ilmiah - alamiah - Ilahiah atau bisa juga pengetahuan indera - pengetahuan akal - pengetahuan hati ( Ruh ).

Dengan kompleksitas ini seseorang bisa saja mempunyai tiga jawaban dalam satu permasalahan. Dan jawaban itu dikemukakan sesuai porsi orang yang dihadapi alias tidak ditubruk-campuraduk dengan nafsu kepuasan diri sendiri.

Intinya, jawaban itu hanyalah alat untuk menenangkan indera, akal atau hati sang penanya. Tergantung mana yang ingin dipuaskan.

Misal, bintang itu besar apa kecil ? ketika berhadapan dengan anak kecil, ia akan menjawab kecil, dan indah menyejukkan. Ketika berhadapan dengan scientis manusia dewasa, ia akan menjawab sangat besar dan sangat panas menggerahkan. Aha...terjadilah sebuah jawaban yang bertolak belakang sesuai fase perjalanan.

Yang aneh ketika ia berhadapan dengan manusia yang jatah umurnya tinggal 345600 detik alias 40 hari lagi. Ia akan dengan serius menjabarkan dan menuntunnya ke wilayah diluar indera dan science sampai si calon mayat ini bisa dengan gamblang terkesiap menjelaskan haqul yakin penglihatan hatinya bahwa bintang itu tidak ada. Yang ada hanya Allah.... La ilaha ilallah....sebuah ungkapan yang tak lagi dari sekedar nalar pemahaman.

Yang muncul hanyalah sebuah jawaban outframe di luar besar - kecil. Sebuah jawaban yang sangat tak memuaskan akal dan indera, tetapi dinginkan semua orang agar terucap ketika akhir hayat.

Memang begitulah kompleksitas seorang pewaris...dan kita tahu, dalam Alquran juga banyak sekali satu ayat yang seakan-akan bertolak belakang dengan ayat lain. Padahal samasekali tidak. Semua tergantung bagaimana kita memaknai dan mengetahui " temali ghaib" benang merah grade antar ayat.

He..he..yang rada membingungkan bila sebuah pertanyaan seperti bintang di atas, harus dijabarkan bebarengan pada beberapa manusia yang mempunyai kepentingan indera, otak dan hati. Pasti bakalan tidak ada yang puas. Setiap golongan kepentingan pasti mengklaim bahwa jawaban untuk pihak merekalah yang paling penting dan benar...

Mungkin sang pewaris nabi cuma mesem, " Urusan bintang yang sudah jelas keberadaannya saja masih bingung dan ribut, lha apalagi kalau urusan caleg yang ingin tahu jadi tidaknya. Bagaimana tidak, caleg satunya minta doa sambil membawa uang 50jt untuk pembangunan masjid, caleg satunya lagi minta bocoran info langit sambil bawa material dan sembako untuk kelangsungan pembangunan masjid. Padahal jatah kursi cuma satu...

Belum lagi nanti ada pilpres...karena ketegangan situasi, kelompok pendukung capres A selalu meneriakkan Allahuakbar, kelompok pendukung capres B selalu menyanjung Rasulullah " Allahummashalialaamuhammad "...

Kira - kira malaikat Jibril ini harus laporan gimana sama Gusti Allah ? Mungkin sang malaikat cuma bisa mbathin " Lho.. benar kan manusia itu suka bertikai...mumet.

4 komentar:

  1. assalamu'alaikum
    Bagus weblognya mas
    assalamu'alaikum salam kenal saudara perjuangan untuk menebarkan zikir2 di muka bumi.
    salam dari quantumillahi
    www.quantumillahi.wordpress.com
    Boleh ndak saling tukar weblog?

    BalasHapus
  2. wsb..
    monggo silahkan...dg senang hati

    BalasHapus
  3. artikel yang menarik kang mas. semoga blog kang mas bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. mohon ijinnya untuk saya link kan ke blog saya. salam.

    BalasHapus
  4. "Analoginya, kalau orang bisa menjalankan mobil, pasti bisa menghentikan kapan pun ia mau. Jadi kalau orang merasa bisa berfikir, logikanya ia harus bisa rem kontan pikirannya kapan saja, terutama ketika ia sholat. Eh..kok ternyata nggak bisa ya ? berarti ia tidak berdaya dong dengan jalan fikirannya sendiri ? ia tidak mampu mengendalikan fikirannya sendiri...singkatnya sesungguhnya ia tidak mampu berfikir."

    Persoalan saya persis kalimatnya Mas Dody yg saya kutif diatas.., Sebenarnya yg terjadi itu sesungguhnya seperti apa sih mas...?

    Kita itu bisa berfikir atau diberfikirkan... Saya sedang belajar untuk tidak ngapain-ngapain (DIAM BERSERAH)), harapan saya supaya ketika shalat saya sungguh2 bisa merasakan sedang menghadap Allah Yang Maha Agung & Maha Meliputi.

    Tapi ternyata "sangat sulit" mas, karena antara aku dan fikiran/perasaanku telah menjadi satu.
    Bagaimana agar keadaan/posisinya tidak seperti itu mas ...?
    Jujur..., semua posting diblognya Mas Dedy sungguh2 keren..

    Salam & Tks
    senterled@gmail.com

    BalasHapus