Selasa, 25 November 2008

Bila Lelaki Mengandung

Catatan akhir 2007


Sudah hampir empat bulan ini sang istri mengandung. Seperti biasa, saya harus berperan menjadi lelaki penghibur agar duka berat mengandungnya sirna. Seperti kebanyakan, bila istri mengandung pastilah ada kerewelan-kerewelan yang sebenarnya itu-itu saja.

Tetapi dasar lelaki ya tetep aja maunya menang sendiri. Mungkin begitu gumam sang istri. Saya pun tak ketinggalan bertingkah seperti itu.

" Yah...anakmu yang di kandungan ini pengen kue terang bulan...”
Saya jawab,” Sabar ya belum dapat order, ini biaya masih buat kebutuhan pokok...besoklah mungkin ada rejeki datang.”
" Nggak kuat nih...pengen...nanti anaknya ngileran lho...”
Saya jawab aja, " Kalau bayi nggak ngiler ya nggak lucu rek !...
" Masak anaknya sendiri minta nggak dituruti sih...Ayolah yah, mbok beli yang bikin perut nggak neg.”

" Bunda, makan seadanya dulu. Kalau anak sedari kandungan dikit-dikit sudah dituruti, nanti kalau udah besar kita yang repot. Tentunya yang paling kemakan hati ya ibunya. Sebab dia mulai kecil setiap minta apapun selalu dituruti. Jadi kebiasaan buruk. Manja. Nggak biasa tirakat dan sabar dalam mengejar cita-cita. Egois .Sedikit-sedikit dituruti sedikit-sedikit dituruti, nanti nurutnya dikit lo..”

“ Sebenarnya yang kepingin kue itu kan nafsunya bunda. Jabang bayi masih bersih nggak tahu selera makan. Tuh lihat, kalau bunda marah atau rewel, anaknya langsung protes nendang-nendang. Kan akhirnya ibunya sendiri yang kesakitan. Dia nggak mau kecampuran hal-hal kotor. Apapun alasannya.”

“ Syukuri saja yang ada. Itulah enaknya wanita mengandung... salah dikit langsung ada yang ngingetin. Apalagi yang ngingetin super bersih nggak punya
kepentingan. Meninggal pun di anggap syahid. Karena memang di situ ada penyaksian sejati....”

Wow...saya yang ganti rewel....

" Wah...wah seandainya lelaki merasakan bagaimana beratnya mengandung, baru tahu rasa...” begitu kata sangistri.

He...he… saya cuman melirik sang istri yang agak kecut nggak keturutan. Begitulah kurang lebih sepenggalan kehidupan akhir-akhir ini. Memang enak jadi komentator. Tak pernah ikut merasakan turun lapangan tetapi sudah bisa komentar layaknya superhero.

Sebenarnya sih itu semua mungkin alasan akal-akalan saya karena lagi tongpes. Tapi sesungguhnya tidak sesederhana itu. Kata-kata seandainya laki-laki mengandung itulah yang membuat saya menghibur istri sekaligus menulis hal ini.

Bahwa bila seorang lelaki mengetahui apa makna kejadian mengandung, tentulah ia akan rela senang hati mengganti posisi kodrat melahirkan seorang wanita. Bahkan mungkin lelaki siap mengandung berkali-kali demi pengulangan pelajaran kesaksian yang sangat berharga itu.

Namun hanya wanita lah yang bisa mengetahui proses kejadian manusia mulai dari nol sampai procot lahir. Lelaki hanya tahu dari katanya kata. Paling banter
sekedar mengamati. Lelaki tak pernah merasakan sesungguhnya bagaimana sebuah proses pengadaan manusia dari tiada menuju ada. Lelaki tak pernah ikut
mengalami sebuah kesaksian tertiupnya ruh ke dalam daging. Pengalaman yang tak bisa diganti dengan keterangan apapun.

Tak heran kaum lelaki lah yang paling cerewet berdebat soal Tuhan. Sebab para lelaki tak begitu paham dan sudah terlalu lupa akan kejadian di masa oroknya.

Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya...( Shaad :72 ). Grenjel...Pak anaknya gerak !...Begitu kata ibu-ibu ketika pertama kali kandungannya bergerak.

Saat itu masuklah Ruh ke seonggok daging. Sang ibu menjadi saksi nyata proses itu. Sebuah kebahagiaan dan kerinduan begitu menggelayut dalam sanubari ibu.

Dari perjalanan kerinduan ini, pemahaman ibu secara tak disadari akan terbelah dan terbingungkan sampai akhir hayat. Manakah yang harus ia cintai ? Kemana ia harus merawat, menyanjung puja, menimang-nimang dan mensujudi sebuah kejadian ?

Kepada sang Ruh yang menggerakkan daging ataukah ke sebatas jumleger wujud daging yang tak punya kuasa gerak yang kita sebut anak ?

Bila seorang ibu mampu menempuh jalan ruhani, maka ia tidak lagi terikat dengan konsep materi. Rasa sayangnya meluap-luap memenuhi jagad. Ia begitu paham bahwa ruh itu satu walau dikapling terpisah oleh daging yang bernama ibu dan anak.

Konsentrasinya hanya pada Sang Penggerak. Sang ibu akan menjadi komandan
utama menggiring anak kembali kepada Sang Penggerak, Allah.

Bagi sang ibu sejati, anak adalah wasilah terhebat menuju Tuhan. Karir profesi pribadi pun tak ada apa-apanya bila di banding kemuliaan berkarir menjadi ibu. Sebab bagaimana mungkin karier pribadi yang hanya berisi ambisi perolehan dunia dapat disandingkan sejajar dengan karier bertuhan seorang ibu dalam merawat anaknya ? Sebegitu syirik kah kita saat ini ?

Tak heran kalau Rasulullah Muhammad SAW menyuruh kita untuk berbakti kepada ibu sampai tiga kali lebih besar daripada ke seorang ayah. Surga pun di bawah tapak kakinya.

Tapi bagaimanakah kita memahami dan merealisasikan hadits surga berada di telapak kaki ibu? Apakah saking kepinginnya surga, ketika ibu lagi enak-enak jalan kemudian kakinya kita tarik-tarik untuk sekedar melihat ada tidaknya surga di tapak kakinya ?

Telapak adalah alat melangkah dimana ia akan meninggalkan jejak yang manunggal. Bila sang ibu sukanya sering menjejakkan kaki ke supermarket, tentu sang anak akan ikut sering ke supermarket. Akhirnya anak merasa terbiasa dengan tempat itu. Di situlah ia akan menganggap supermarket sebagai rumah kedua. Ia akan menganggap supermarket sebagai tempat paling menyenangkan, surga. Rumahku surgaku.

Kalau sudah begini, biasanya bapaknya yang berada di neraka. Stress karena anggaran belanja jadi bengkak. Ah, Jejak tapak kaki sang ibu begitu menentukan model surganya anak.

Proses berbakti seorang anak adalah mengamati langkah kaki sang ibu. Lalu bisakah kita disebut berbakti bila kita melihat sang ibu yang sedang kelelahan hidupnya dalam mencari kerinduan Ruh kemudian langkahnya sempoyongan hampir terjebur jurang tapi kita membiarkan ?

Terjeburnya ibu ke tempat yang tak layak akan mempengaruhi seorang anak untuk mengikutinya. Sebab anak adalah perpanjangan ruhani ibu.

***

Entah sudah lebih separuh hidup ini, saya hanya bisa mengamati proses tapak kaki ibu. Hampir tak ada komunikasi. Hanya mengamati dan mengingatkan. Bahkan diantara tiga bersaudara, saya paling kaku terhadap beliau. Sangat tidak bisa memahami bila beliau hanya menuruti isi kepala.

Mungkin kekakuan ini hanyalah rasa sayang yang tak tersampaikan karena suatu yang sangat pribadi.

Rutinitas ibu sejak masa muda adalah menyingkap kebenaran yang tercekal melalui pencarian-pencarian referensial. Entah ribuan buku yang telah terbaca.
Anehnya sebagian ada yang dibeli tapi kemudian dibuang atau dibakar.

Sebagian ada yang di simpan rapi tersembunyi. Terkadang membuat ketikan -ketikan esai tapi dibuang. Tak pernah lagi dikirimkan ke media sebagaimana ketika beliau menjadi aktivis dan pengajar.

Beliau bertandang ke berbagai tempat kebenaran seakan-akan hanya untuk menyampaikan uneg-uneg " Ini kebenaran ataukah kepentingan ? mana yang utama ?...

Hidupnya hanya sebuah ketegasan hitam dan putih dengan pernik kegundahannya yang begitu mengguncangkan jalan takdirnya.

Entah bertirakat atau apa, tiap hari beliau berjalan belasan bahkan puluhan kilometer pulang pergi kerja dan tak lagi memedulikan isi perutnya. Perhiasan mahal pemberian nenek pun tak pernah dipakai bahkan akhirnya dijual.

Hidupnya hanya bertarung dengan diri sendiri demi sebuah kata. Kebenaran !
Dijalaninya kehidupan itu lebih hampir tigapuluh tahun. Beliau memang orang yang berwatak keras walaupun sebenarnya nggak tegaan lihat orang yang
lebih menderita.

Setelah pensiun pun sisa hidupnya hanya di habiskan untuk bercengkrama dengan orang-orang di emperan toko. Tiap hari kerjaannya membelikan koran untuk dibaca pedagang kaki lima. Terkadang kalau pulang, saya melihat beliau membawa tas plastik yang berisi pakaian baru, tapi entah untuk diberikan kepada siapa karena besoknya pakaian itu sudah tak ada di rumah.

Mengamati dan protes adalah laku saya terhadap laku ibu. Mengapa masih ingin memperjuangkan orang lain padahal ibu sendiri kondisinya tak memungkinkan ?
Mengapa masih mencari dan menularkan berbagai referensi kebenaran dari berbagai anggapan orang yang juga belum tentu ?

Mengapa tidak langsung bertanya kepada Yang Maha Penuntun Kebenaran ? Mengapa ibu begitu bertahan dengan kondisi yang menyiksa ini ?

Begitu gerundelan batin saya tiap hari.

Ibu begitu sayang sampai-sampai saya yang sudah beranak pinak ini seakan tidak boleh jauh darinya. Otomatis pekerjaan pun bermarkas di rumah ibu. Naifnya tiap hari hampir tidak ada komunikasi. Karena sepatah dua patah kata sudah bisa membuncahkan hati dan fikiran.

Rasanya hanya ingin diam, diam dan diam. Dan tak terasa, diam malah memunculkan jutaan makna yang tak terperi dalam diri saya.

Kemampuan saya hanya menemani. Sekedar menjadi objek ibu dalam mencari buah hati sejati, Ruh. Tak lebih. Selama hidupnya, beliau hampir tak pernah memberi nasehat. Seakan-akan memberi tafsir bebas kepada saya terhadap cerita kehidupan. Enaknya ya nggak pernah di cereweti, dimarahi dan dilarang-larang. Nggak enaknya diri ini seakan yatim piatu terbiarkan sebelum waktunya.

Tapi akhirnya saya paham. Bagaimanapun Alhamdulillah saya punya ibu seperti ini. Beliau begitu setia pada kondisi itu agar menjadi ibrah bagi anaknya. Beliau
seakan-akan berkata tanpa suara " Nak, jangan kau pilih jalan kebenaran seperti ini. Terlalu melelahkan. Tapi bagaimanapun ibu tak kuasa menampiknya. Dan cukup ibu saja..."

Fuihh...Pengorbanan yang tiada tanding tiada banding.
Ya Allah, semoga engkau beri khusnul qatimah pada setiap ibu. Tak ada yang bisa saya berikan selain doa itu. Sebab dari segi apapun ibu saya jauh lebih hebat.

***

Ikatan batin ibu dengan anak memang luar biasa. Memunculkan kerinduan dan kejengkelan yang sangat hebat. Dua sifat yang luar biasa ini bagaikan mihrab tersunyi pengantar proses mi'raj. Suasananya begitu sangat surgawi atau sebaliknya. Ibu dan anak adalah dua sinergi yang bahu membahu saling melepaskan keterikatan wujud materi demi mencapai makna hidup. Ruh

Mungkinkah setiap istri kita mengalami hal demikian terhadap anak-anak kita ? Para lelaki harus mencari tahu terhadap istrinya sendiri - sendiri. Berguru kepadanya tentang kalang kabutnya mencari si buah hati sejati. Sang Ruh.

Untuk itu, bersiaplah dicereweti. Anggap saja sang istri sebagai pelatih professional dalam menundukkan hawa nafsu demi persaksian dengan Ruh. Toh setiap petarung sejati butuh pelatih dan sparring partner yang handal untuk menggapai kemenangan.

Daripada berguru ke orang lain bayar mahal kan lebih baik uangnya dikasihkan istri sendiri buat tambahan belanja. Enak lho, sudah dicereweti, masih mbayar pula....

Tak heran juga,kenapa setiap proses ijab kabul harus dengan syahadat. Sebab makna pernikahan adalah menempuh kebaruan hidup menjadi mahluk yang bersaksi atas proses ketuhanan. Memulai mencari asal manusia dan merasakan getaran hebat sampai tahap tersungkur di atas perjalanan Ruh.

Sayangnya, dada kita hanya bergetar hebat dag dig dug dan tubuh kita tersungkur K.O hanya sebatas malam pertama saja. Ehhmm...


Ah...bila saja lelaki mengandung..
Ah...bila saja wanita bersyukur terhadap prioritas pengajaran Allah...
Ah...ternyata ibu saya adalah guru tanpa kata...

Mari berkirim Al Fatihah kepada setiap Ibu agar kita lebih mudah mengingat asal kejadian. Ruh


Wassalam, semoga bermanfaat.

Rabu, 05 November 2008

Dzikir Anechoic


Beberapa waktu lalu saya mampir mengikuti forum teman-teman Indonesia lulusan audio engineer Berklee. Bahasan mengenai konsep ruang anechoic begitu menggelitik. Tapi saya lebih tertarik membahas hal itu untuk dikonversikan pada pemahaman ruhani. Karena diskusi itu terhenti ketika ilmu pengetahuan kehabisan parameter dan daya analisis yang akhirnya hanya mandeg pada justifikasi kata tidak percaya, Au ah ...helap...Ghaib.

Daripada ikut menambah perdebatan yang belum tentu membawa manfaat, dan belum tentu juga tulisan ini dianggap ( he..he mengingat saya tak punya basic edukasi yang jelas ), lebih baik dituangkan saja ke milis ini. Sebab saya percaya di milis ini lebih dinamis dengan segala kemungkinan kelapangan dada.

Anechoic secara mudahnya adalah ruang yang di bangun sampai sangat kuedaaap sekali tanpa interfensi pantulan sedikitpun. Baik dari segi waves ( gelombang dan gerakan satuan partikel ), EMI ( Electro Magnetic Interference ) ataupun RFI ( Radio frequency Interference ). Fungsi ruang ini untuk mengukur kondisi suara, daya magnet dan pancaran fekwensi pergerakan suatu benda, algoritma penciptaan digital signal processing ataupun aplikasi akurasi tehnologi militer kelas wahid.

Deru mesin jet, kedipan mata sampai bernafas pun content suaranya akan ketahuan dengan jernih tanpa tercampuri suara dan medan lain. Tentunya dengan memakai peralatan yang super mahal. Bayangkan, sebiji microphone dengan noise curve super rendah harganya bisa setara mobil mewah. Belum lagi alat yang lain.

Ah, tapi saya tak pernah bermimpi memiliki microphone seperti itu. Sebab kita telah diberi Allah sebuah microphone penangkap sinyal yang lebih istimewa dan akurat.

Apa itu ? telinga...! Asalkan kita tahu bahwa telinga tidak hanya sebatas daun telinga dan gendang telinga. Tetapi yang termasuk telinga, mulai dari terkasar sampai terhalus adalah daun, gendang, cochlea, dan syaraf. Kemudian rangkaian syaraf itu menjulur ribuan pikometer menuju pusat otak besar dimana segala pusat informasi DNA tergelar. Para ilmuwan menyebut dengan istilah God spot. Titik Tuhan.

Eit....ada yang kelupaan...ehh tapi memang biasanya sengaja dilupakan oleh seorang audio engineer yaitu sifat mendengar atau sama'. Sifat inilah sesungguhnya yang mampu memperkerjakan fungsi telinga. Contoh fatal gamblang orang yang tak bisa mendengar karena ditinggal sifat sama' yaitu orang mati. Semua perangkat telinga mulai daun sampai syaraf masih utuh, tapi dipanggil dan diratapi orang terkasih pun cuek bebek nggak dengar.

Kalau meramu antara ilmu audio, geologi, fisika, dan biologi yang kemudian di kerucutkan menjadi topik ibadah, suasana terlengang, segar, minim getaran, etheric dan khusyu adalah waktu tahajud atau jam dua belas ke atas. Di waktu ini akan terjadi kemungkinan asumsi teori The quietest place on earth yaitu seputar -9dBA.

Dan Sesungguhnya kalau kita bicara secara objektif, ini bukan masalah tempat alam luaran. Sebab secara telinga kasar, manusia hanya mampu menangkap pada batas tekanan gelombang udara 20 micropascal atawa 0 dB. Setelah itu telinga fisik akan blank. ...Nasi gudeg warna merah. Budeg ah...

Padahal sebetulnya sih, di bawah itu yang terdengar adalah dynamic pergerakan blueprint manusia. Bagi yang biasa tahajud, kalau disadari dan dikehendaki berhenti di keadaan itu, pasti akan terdengar desingan sinyal sine wave alias ngiiii...iiing. Kemudian mulai muncul seperti sinyal pink noise kayak suara gemuruh banjir bandang. Sesungguhnya suara itu adalah suara aliran darah.

Orang yang mendengar wilayah ringing bel dan gemuruh ini, bila secara pemahaman dan peletakan hati tidak siap, ia akan mengalami freak out alias sedikit bocor alus, sinting.Hal ini telah dibuktikan pada percobaan ruang anechoic chamber.

Sering terjadi, dalam kondisi ini banyak orang mengaku menjadi dukun yang suka menebak nasib orang sampai mendeklarasikan diri menjadi Imam Mahdi. Di wilayah ini memang banyak mencetak spiritualis instan atau sufi gadungan yang masih kental butuh pengakuan akan kebisaan diri.

Ketika angan-angan, ego, dan nafsu belum diredakan, orang yang masuk ruang ini dalam keadaan tanpa cahaya, paling hanya bertahan lima belas menitan. Sebab ia akan mendengar bahkan muncul gambaran yang tidak - tidak. Padahal ini adalah wujud ketidak teraturan impuls syaraf tak tertata, yang mewujud menjadi rangkaian gambar dan suara dalam imaji, yang teramplifier berkali-kali seakan-akan meloncat ke realitas. Persis seperti OHP atau LCD projector.

Sketsa blueprint jalan darah ini hanya bisa dibaca dengan baik dan benar oleh orang yang menaruh kedirian pada wilayah kekhusyukan dan kesabaran. Sikap sholat atau dzikrullah. Di wilayah ini akan terjadi pengajaran seperti yang digamblangkan pada Surah Al Alaq ayat 1-5. Yah, segumpal darah itu mengangkut milyaran kalam data tak terkira yang telah dibentangkan dengan nyata oleh Allah.

Masalahnya sih yang dinamakan nyata itu, ternyata tiap orang berbeda-beda. Karena nilai empiris setiap manusia sangat tergantung pada sebuah perjalanan yang pernah ditempuh. Bisa jadi bagi seseorang hal itu begitu nyata, tetapi bagi yang lain dianggap utopia hanya karena belum pernah mencecapnya.

Sikap khusyu dan sabar laksana seeokor kucing yang akan menangkap tikus. SI kucing tak peduli seupil pun kondisi sekitar. Tak perlu menganalisa atau menebak. Sebab analisa dan main tebak-tebakan akan membuat penafsiran dan angan-angan yang malah membuat teledor sebuah pencapaian.

Berapa lama waktu pasti dilewati. Yang dia tuju hanya satu, menunggu keluarnya tikus dari liang. Ya, hanya menunggu dengan kesungguhan. Dan tiba-tiba secepat kilat...Gotcha...! dapat !. Mungkin begitulah gambaran kasar orang yang ingin membaca informasi di darah yang lagi didistribusikan ke seluruh tubuh.

Kondisi khusyu membaca kalam data yang dibawa darah itu seperti mekanisme memperlambat gerakan frame per second sebuah film. Sehingga kita bisa melihat dengan detil bagian - bagian yang banyak terlewati dan kabur ketika film diputar dengan keadaan normal. Layaknya film, dalam kondisi normal kita hanya bisa melihat adegan per detik. Padahal dalam satu detik sudah ada 24-30 adegan gambar berlainan. Malah saat ini tehnologi film sudah mengarah ke 60fps. Bahkan game mencapai ratusan fps. Lha kalau darah kan isinya frame tak terhingga per second....

Maka makin khusyu seseorang, makin banyak hal yang bisa dibaca dengan teliti. Itulah nikmat sebuah pengajaran tiada tanding tiada banding.

Dan suatu saat bila perjalanan ruhani kita mampir melewati wilayah ini, kita akan tahu bahwa sesungguhnya mekanisme berfikir itu otomatis. Sudah berjalan sendiri dari sononya sesuai kapasitas kekhalifahan tiap orang .Tanpa kita perintah seupil pun. Persis seperti denyut nafas yang kayaknya bisa kita tahan atau kita percepat untuk asah ilmu kanuragan. Padahal samasekali tidak. Kecuali tindakan itu hanya memunculkan sifat rumongso yang sulit ditolong. Inilah secuil makna lauhil mahfudz. Wilayah di mana jodoh, rejeki dan mati sudah dapat diintip timingnya. Bukan lagi hal ghaib.

Intinya dibalik kerumitan data yang bisa menciptakan manusia menjadi apapun, titik puncaknya manusia hanya memilih jadi Islam atau kufur. Menjadi sang penyaksi atau sang penyangsi. Jadi Qabil atau habil. Jadi yang terima atau tidak. Mukhlis atau mungkar. Jadi Firaun atau sang pengabdi.Tak peduli seberapa tinggi derajat keilmuan, kekayaan, pengalaman dan kualitas keturunan.

Memang sih kelihatannya sepintas Al Quran memuat banyak konsep afalaa ta'qilun, tatafakkaruun, tubsiruun. Padahal konsep ayat-ayat ini adalah konsep peringatan, sindiran dan pembuktian Allah atas sebuah kemutlakan. Titik tumpunya bukan berfikir atau tafakur seperti tafsir ego kita. Tapi untuk mensyahadati dan mengetahui Siapa yang memberi pertanyaan itu. Setelah itu barulah kita paham bahwa sebenarnya kita ini sunguh-sungguh bisa berfikir atau tidak. Diperjalankan atau jalan sak karepe dewe....

Kemudian sampailah kita pada pembenaran dawuh rasulullah bahwa konten subhanallah itu lebih dari segala isi alam ini. Dan itu ternyata bukan hanya sekedar kalimat, rangkaian huruf, konsep atau filosofi doang. Melainkan benar-benar sebuah realitas terjaga yang berdiri sendiri. Hanya bisa di tembus orang yang mau memukhliskan kedirian.

Kembali lagi urusan konversi audio menjadi bahasan ruhani, sekedar pengistilahan, jadi dzikir anechoic hakekatnya adalah dzikir ruh, Subhanallah. Maha Suci. Dimana wilayah itu tidak ada lagi interferensi pergerakan apapun, tak tercampur faktor apapun. Qiyyamuhu bi nafsi. Tak memantul untuk urusan imbalan dan sejenisnya. Keadaan yang mengarah pada kemengertian bahwa Allah itu benar-benar mutlak, Murni, Maha Esa, dan Ahadnya segala aspek.

Bila kita enggan menapaki wilayah ini, maka dzikir subhanallah yang kita lafalkan sehari-hari jangan-jangan hanya mekanisme pemahaman burung beo. Dimana segala sesuatu hanya sesuai dengan fotokopi hafalan di memorinya.

Memang masalahnya sih kita ini kalau bicara dzikir ruh pasti pesimis. Bagaimana bisa lha wong kita tidak diberi pengetahuan tentang ruh kecuali dikit. Biasanya kita selalu berujar begini.

Lhadalah...kita ini memang aneh ya...kalau Allah sudah jelas memberi gambaran bahwa dunia ini sangat kecil dan sedikit bagai debu, kok ya kita ini bisa kejar dan ngudal -udal sampe muncul peradaban tehno yang sangat mengagumkan. Kita bisa menyebut pola-pola hukum materi dengan ilmu fisik ( a ) karena ada aksi reaksi gerakan partikel dan energi. Dan akhirnya mau mengakui total secara badani (lahiriyah ) atau “otakiyah” ( realitas idea ) karena kedirian kita mampu bersinergi di wilayah itu.

Sedangkan kalau urusan yang sedikit itu bernama ruh, pasti kita menafikan, meremehkan atau malah lari tunggang langgang baik secara akal maupun mental. Cap kita hanya bilang, ah itu hanya sensasi...itu hanya perasaan...era tahayul...phobia, delusif, katarsis, khayalan tingkat tinggi, nggak muiiin...

Jangan kaget, karena kita anti menujunya, suatu saat pasti kita akan berani ngomong kayak orang jahiliyah..ah itu kan kayak Muhammad yang lagi kumat ayan. Tukang ngigau !

Padahal bila sedikit saja diteruskan setelah melewati wawasan terlembut mengenai inti atom ataupun renik eukaryot - prokaryot, kalau kita tersadar, disitulah baru muncul pengetahuan sifatullah. Di wilayah ini akan muncul yang dinamakan “ kecerdasan keimanan “. Yup, mungkin ini sekedar istilah baru yang iseng saya buat. Sekedar membuat garis batas yang tegas ( bagi diri saya sendiri ).

He…he jadi bukan kecerdasan spiritual lagi lho…sebab kata Pak Abu Sangkan kecerdasan spiritual sudah salah kaprah menjadi spiritual digital dan sejenisnya. Tapi ada benarnya juga sih kecerdasan spiritual digital itu. Jongkok persoalannya, kecerdasan spiritual digital itu adalah wilayah puncak af’al lelaku yang berposisi sebagai pelepasan terompah Musa di Bukit Tursina yang suci. Sama sekali bukan akhir perjalanan.

Bila terompah yang bermaknakan kendaraan ilmu pengetahuan, pengalaman, harga diri, kekayaan dan lain-lain tak sanggup diikhlaskan, ya terhentilah segala pencarian menuju pusat Adanya Sesuatu. Dan makna bukit tursina adalah terminal di mana pendakian hati kita mulai sumeleh tunduk mengakui la haula wala quwwataa ila billah dengan segamblang - gamblangnya. Bukan lagi sebatas penjabaran penafsiran ikut-ikutan.

Ah...sesungguhnya perjalanan ke arah ruh yang sedikit saja itu sudah mampu menyimak tabir hakekat kenikmatan dan kemakmuran. Tanpa perlu peralatan ukur semacam anechoic chamber, osiloskop, DSP, ECG, Radar Cross Section Measurement, sonar, FFT, dan sejenisnya. Karena manusia dibekali kelengkapan alat tercanggih yang pernah ada di muka bumi ini. Lha wong namanya saja insan kamil buatan Tuhan he ! Mosok kalah sama alat buatan manusia....

Eit..tapi gimana cara membuktikan dan mencapainya ya...? Ini kan jaman modern bro...! masak kita orang mau dikadali dengan tulisan semacam ini...

cara yang paling gampang adalah cintai Allah semampumu, maka Allah akan meng"iqra'kan dirimu secara bertahap sesuai dengan kadar kamus bahasa kekhalifahan hidupmu. Titik.

Cara paling rumit, bacalah apa saja yang ada di google search enginee ( hhmmm... ), di seluruh perpustakaan universitas dunia, di kitab - kitab kuning yang tersebar di seluruh jazirah Arab Indonesia, di jantung kebudayaan primitif sampai kosmopolit, diperkamen naskah-naskah kuno, di riak-riak para spiritualis yang berada di gunung, hutan, samudera, tempat -tempat suci, di konsep animisme dinamis modern yang mengatakan benda buatan manusia itu punya power dan di mobilitas seluruh mahluk beserta gejala alamnya.

Sampai pada titik waktu yang pasti terjadi, akalmu tak sanggup lagi menjangkaunya hingga engkau tertunduk lesu dan bertanya " Di manakah sesungguhnya perhentian akhir...aku tahluk...aku kapok...aku menyerah...dan aku berserah...aku berislam...

Mungkin mulutmu akan terbungkam rapat tak sanggup berucap lagi. Tapi jiwa ragamu akan bersyahadat dengan dahsyatnya menggedor- gedor seluruh penjuru tubuh,, menarik-narik pejal syarafmu, mengoyak moyak silang sengkarut auramu, dan meremas-kencang-kencang organ tubuhmu hingga keluar rintihan termelas dalam hidupmu ......

Waduh, pusing juga ya sekedar mbahas telinga kok malah mblakrak nggak karu-karuan. Tapi sudahlah, tulisan ini jangan terlalu diseriusi daripada bikin puyeng. He...he saya yang nulis juga puyeng sendiri rek !. Sebab jangankan ngomong menelisik dynamic blueprint lauhil mahfudz dengan perantara telinga, lha wong menghafal rentang karakter frekwensi ambang dengar normal 20 Hz - 20 kHz untuk urusan pekerjaan audio sehari-hari saja masih meleset amburadul.

Mungkin juga sampeyan dan saya sendiri setelah baca tulisan ini banyak yang lupa istilah-istilah dan rumusan njlimet tentang sedikit konsep audio. Atau malah menganggap tulisan ini sampah yang nyasar secara rutin dalam email. Tapi nggak apalah... asalkan yang penting tidak lupa sama yang bikin telinga...Allah


Wassalam, semoga memiliki golden ear.

Dody Ide