Kamis, 24 Desember 2009

Ketika Ayat Mewujud





Entah sampai saat ini kok diri ini masih ngaji kelas juz amma aja gak beres - beres. Sampai - sampai minder melihat saudara seumuran yang sudah khatam Al Qur'an berkali-kali. Tiap hari hanya menghafal surat Al Ikhlas - Al Ashr, dibolak -balik terus kayak bis jurusan Malang - Surabaya PP gak ada putusnya. Tapi nggak apa -apa ding, lha wong kelas makmum kok mintanya memaksa menghafal surat yang panjang - panjang. Tahu diri ah...

Memang, kalau sekedar membaca dua surat itu sih, Insya Allah walau agak grothal - grathul lumayan fasih lah. Tapi menghafal itu lho yang bikin laku hidup ini setengah mateng... Lho ? apa susahnya menghafal surat yang begitu pendek ? anak kecil aja lewat tuh....iya sih iya...tapi bagi diri ini, makna menghafal dengan menirukan kok lain ya...

Sebenarnya sih, ini persoalan pribadi alias bukan untuk memprotes konsep luar diri.

Kalau sekedar menirukan dan mengulang - ulang saja, entah bunyinya, entah artinya, burung beo pastilah bisa. Tapi menghafal di luar urusan bunyi itulah yang bikin diri ini semakin ummi dan ummi....Sebab bukankah yang disebut "ayat" adalah bermakna " tanda ". Ayat bukanlah sekedar sebentuk tulisan kertas dan bunyi. Apalah arti tulisan kertas dan bunyi huruf tanpa mewakili suatu "tanda" yang agung dan suci....

Nah, yang repot bila ayat itu muncul bukan dalam bentuk tulisan dan suara. Lalu bagaimana pula cara menghafal kapan munculnya ayat itu ? waduh...hhmmmhh...

Ada juga sih yang menyebut dalam setiap surat itu ada khadam atau penjaganya dan bisa memunculkan diri. Entah apa maksud sebenarnya. Katanya sih ada penunggu mahluk ghaib di setiap huruf yang bisa kita manfaatkan sesuai hajat diri.

Ah...tapi saya nggak ngerti masalah kesaktian dan dunia aneh seperti itu. Karena yang saya maksud bukan kehebohan seperti itu. Melainkan sebuah kejadian manusia sehari -hari yang semuanya bakal mengalaminya.

*

Ketika suatu ayat telah mewujud menjadi sebuah kejadian hidup, apakah diri ini masih mampu mengaku beriman terhadap Al Quran ? begitu hebatnya bila ayat ini telah mewujud menjadi kejadian hidup sampai -sampai Rasulullah setiap "didatangi" ayat, beliau selalu ketakutan, berkeringat, menggigil bahkan tak sadar diri kemudian terkadang menangis berhari - hari. Tapi juga menjadikan tertawa bahagia.

Semisal dalam surat Al Ikhlas, Katakanlah bahwa Allah Maha Ahad. Memang, kalau kita mengatakan secara ikrar mulut ya mudah saja. Tetapi bagaimana seandainya yang dimaksudkan katakan bukan sekedar mulut, melainkan sebuah tuntutan kesaksian utuh atas sebuah kejadian ? Dan kesaksian utuh itu meminta pertukaran seluruh kepemilikan, entah aset material, aset intelektual, aset kepercayaan sesama manusia bahkan aset tabungan tirakat kita.

Misalkan, suatu saat tiba - tiba Allah memberi test case suatu keadaan di mana posisi kita dihadapkan seperti kompleksitas cobaan Nabi Yusuf yang dibenci saudaranya tanpa sebab yang seharusnya, plus Nabi Ayyub yang dijauhi istri, plus Nabi Khidr yang harus menjalani konsep lelaku di luar nalar sehat, plus Nabi Isa yang dikhianati sahabat sendiri, plus Nabi Ya'qub yang dibohongi anak sendiri, plus Nabi Ibrahim yang pemikirannya tak sejalan dengan ortu sendiri.

Hmmmh..waduh...duh...kurang gimana para manusia suci itu bertakwa, lha kok masih dikasih yang gak enak -gak enak....binun deh....

Seperti permisalan di atas, intinya segala mahluk menafikan diri kita tanpa sebab yang jelas.....dan....Eh..lha kok apesnya juga, dalam hal ini upaya - upaya penyelesaian lewat kadar intelektual, pengeluaran material, meyakinkan karib dan sahabat ataupun laku tirakat yang top markotob hasilnya nihil.

Dan di luar itu kita sudah pada tataran tidak punya senjata apa -apa lagi. Hopeless. Di wilayah kejadian inilah Allah seakan - akan menantang kita dengan surat Al ikhlas. Kita dipaksa seratus persen untuk mengungkapkan ayat bahwa hanya Allah lah tempat bergantung. Sebab ketika kita menggantungkan penyelesaian kasus dengan aset - aset yang kita miliki hasilnya nol...no...dan nol.

Dalam hal ini yang dimaksud ayat katakan Allah Maha Bergantung bukan lagi sebagai bentuk tulis, ucap ataupun rekayasa filosofi pemikiran. Melainkan katakan yang bersifat tagihan ketahlukan keberserahan total, Islam. Lebih tepatnya bukan lagi katakan tetapi meningkat pada tuntutan ke "nyatakan", menjadikan sebuah kata ini sebagai suatu yang nyata. Sebuah ayat riil, tanda yang jelas.

Bagaimana kita dalam kejadian ini dikondisikan layaknya yatim piatu tak beribu -berbapak alias tak punya rasa nyaman berlindung dan menghela kasih sayang. Bagaimana kita dikondisikan hanya tunduk seperti orang kalah perang yang pasrah menyerah entah mau diapakan terserah. Sebab yang dihadapi tak dapat diserupakan dan tak dapat ditandingi dengan apapun.

Karena tak dapat diserupakan dan ditandingi dengan apapun, tentu saja penyelesaiannya jelas juga tak bisa diserupakan dan ditandingi dengan penyelesaian aset material, intelektual, jaringan pertemanan bahkan wirid model apapun.

Hmmmhh...Memang sih, seperti yang ada di awal tulisan, ini hanyalah sebuah uraian pribadi. Jadi, yang tidak pernah mengalami sebuah wujud ayat yang menyelimuti segala gerak hidup, sangat - sangat boleh membantah.

He..he..tetapi saya tak akan mau berbantahan ding. Sebab bagaimana mungkin berdebat tentang nikmatnya tidur vs nikmatnya bangun. Lha wong wilayah kesadarannya jelas berbeda kok, walau sama - sama nikmat sih...

**

Seperti yang tertera dalam Surah Al Waaqiah : 79 " Tidak menyentuhnya kecuali orang yang disucikan ". Entah kenapa kok kita mengartikan sekedar berwudhu sebelum memegang mushaf Al Qur'an. Padahal kalau melihat tarikh kesejarahan, mushaf baru ada setelah jaman Khalifah Ustman ra. Lha sebelum itu kan berceceran di daun lontar, kulit unta dan lain -lain yang ada kemungkinan bercampur hadats. Tentunya juga berserakan tidak tertata rapi seperti saat ini kita melihat mushaf Al Quran yang selalu rapi di atas rak.

Apalagi dalam dunia modern global kalau yang dimaksud Qur'an sebatas mushaf, maka bisa - bisa ayat Al waaqiah 79 itu terlalu banyak dilanggar dan tak berdaya. Bagaimana tidak, kadang di handphone ada program Qur'an. Padahal kita menaruh hp di pinggang, di saku belakang, atau di bawa masuk ke kamar mandi. Bahkan bercampur satu memori dengan sms sayang-sayangan dengan pacar, trik bisnis, memarahi bawahan, ketik REG SOLUSI dll .

Belum lagi nasib pengiriman mushaf dari percetakan melalui expedisi yang kita tak tahu apakah kurir atau ABK nya membanting - banting paket itu karena keburu waktu. Belum lagi apa status agamanya, belum lagi kalau ABK itu suka mabuk-mabukan....

Ufffhh....apakah dengan demikian Quran menjadi tidak suci dan terhina ? Bisa iya, marah -marah dan kebingungan mencari fatwa rujukan sana sini atas fakta ini. Tetapi bisa tidak asalkan kita mau melengkapi pemahaman dengan modal ayat sebelum dan sesudahnya - Dalam kitab yang terpelihara ( Al Waaqiah 78 ) & Diturunkan Allah dari Allah semesta alam ( Al Waaqiah 80 ).

Dalam hal ini wahyu tetaplah wahyu yang mulia dan tetap terpelihara. Ibarat air, sesungguhnya air tidak bisa kotor walau ia tercampur dengan gula, kopi ataupun limbah. Komposisi air tetap tak pernah berubah walau kelihatannya berubah bentuk, rasa dan bau. Hanya saja kita tak punya metode pemikiran pengurai pensucian hingga yang disangka limbah adalah air, yang disangka air adalah limbah.

Kata kunci Al Waaqiah 79 adalah "disucikan" yang bermakna bukan mensucikan diri sak karepe dewe. Kalau disucikan kan berarti ada pihak yang mensucikan. Siapa dong ? Tentu Allah, Subhanallah - Maha Suci Allah.

Proses penyucian analoginya ya persis seperti penyucian benda - benda sehari -hari. Tetapi ini masalahnya lain karena menyangkut akal, budi dan kejadian diri. Jadi pasti melibatkan sebuah pertarungan ke"aku"an yang hebat.

Kalau benda mati di cuci sih, ya tinggal gosok sekerasnya atau rendam sampai kotoran larut, beres deh...Lha kalau badan, hati dan fikiran yang telah lekat sejak lahir apa bisa diperlakukan dengan gampangnya seperti benda mati ? Apa gak sakit bukan main ! lha wong disentuh dengan kelembutan saja kadang kita masih berontak persis seperti masyarakat jahiliyah yang diingatkan Rasulullah. Padahal cara beliau amatlah santun.
Sebenarnya, seringkali Allah akan memberikan sebuah pemahaman hikmah dan wujud ayat kepada kita, sesuai Al Baqarah : 151 " Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui ".
Tapi ketika ayat hikmah itu akan diberikan lewat proses pensucian persepsi diri kita terlebih dahulu, eehh..lha kok kita ini malah lari nggak mau menghadapi. Sebab terkadang penyucian itu datangnya lewat sesuatu yang tidak mengenakkan secara persepsi kemapanan ekonomi, pemikiran, ataupun status sosial.

Segala bentuk protes kepada Allah kita kerahkan. Melalu doa dan apa saja kita babat habis demi terhindarnya datangnya tanda ayat itu.

Sehingga yang terjadi adalah istidraj alias pemanjaan dan penangguhan Allah kepada kita. Tentu saja dengan konsekwensi pemahaman kita yang semakin kusut berputar - putar tanpa ending yang indah. Persis seperti anak kecil yang maunya minta ke ortunya yang enak - enak terus. Akibatnya si anak menjadi pemalas, penuntut, gagap kondisi dan pemberang di tengah sang waktu yang menuntut ia harus lebih bersikap dewasa.

Akhirnya kita tidak bisa menyentuh ayat itu karena kita lari tak mau disucikan. Kita tak bisa memahami, menyentuh dan mendekapnya menjadi bagian perjalanan hidup. Dan kita pun gagal memegang satu ayat yang sesungguhnya akan menjadi petunjuk hidup alias furqan.

Kita tak pernah bisa menjamah Al Qur'an hanya karena kita tak mampu "bersuci" dengan Yang Maha Suci

Hari -hari kitapun hanya sanggup sebatas diisi dengan copy paste pengalaman -pengalaman tokoh -tokoh yang kita anggap punya kadar spiritual tinggi. Mudah ditebak, yang terjadi pastilah bias dan tafsir subjektifitas tinggi yang mengarah pada mental temperamental jauh dari tawadhu.

Sebab sebuah ayat yang dihadapi, dipahami dan dipegang tokoh tersebut ternyata jauh dari rekaan pemikiran kita. Repotnya kita ini selalu bersikeras bahwa pemahaman dan keadaan tokoh itu sebanding lurus sejajar persis dengan diri kita.

Ah...layaknya orang yang menceritakan tentang cerita orang makan durian....padahal mencicipi barang secuilpun tak pernah mau. He..he...lha wong lelaku perjalanannya lain, kok derajatnya minta sama....

Pantas saja Allah menyindir halus melalui An Nisa : 43 " hai orang beriman, janganlah kamu sholat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.....". Jelas bahwa kita dituntut untuk mengerti dan mengalami dulu apa kandungan di balik tulisan, huruf dan bunyi yang keluar dari mulut.

Balik lagi, gampangnya, jangan ngomong durian dulu kalau belum pernah tahu keadaan utuh durian serta rasanya.Kalau dipaksa ngomong, nanti ya persis orang mabuk lah...cuma dapat pamer gagahnya, tapi ngawur...

Lha sekarang mari koreksi diri kita. Sesudah sholat, kita merasa tunduk tawadhu dan paham apa itu makna Allahuakbar yang kemudian diakhiri dengan ikrar salam ke sesama , apa malah gemagah merasa paling beriman dan obral omongan ngawur mengkafir - kafirkan sambil menonjoki orang -orang yang gak sepaham dengan perolehan copy paste kita ?

Bila masih gitu, lebih baik patuhi saja ayat di atas " janganlah kamu sholat...Lho kok ...? kenapa takut, wong yang nyuruh nggak sholat Allah juga kok. Daripada sampai dicap Allah dengan kata munafik seperti dalam surat Al Maa'un, gimana hayo ? apa nggak malah perih hati ini ? terus kalau perih begitu menghebat, mengadu ke siapa lagi dong... lha wong Pusat Pengaduan sudah mereject kita ?


***

Entah juga diri ini mulai kecil kok juga senang dengan surat Al Ashr yang pendek itu ( he..he..padahal ini sekedar ngeles bebalnya diri gak mampu menghafal surat panjang -panjang ). Dalam surat ini kenapa sih kok sampai -sampai Gusti Allah bersumpah demi waktu dan ditutup dengan kata sabar ? pasti ada rahasianya nih...

Dalam pemaknaan ini ternyata yang dinamakan waktu bukanlah gerakan jarum jam. Melainkan sebuah gerakan hati.

Bila hati berbunga, walau bersama kekasih bertahun - tahun akan terasa sangat cepat. Tapi kalau gerak hati membenci, sekedar lima menit bertatap muka saja serasa di Nusakambangan limabelas tahun. Di manakah rahasia waktu itu ? ah...ternyata ada di sabar. Tetapi bila kita tak tahu apa yang di"sabar"i, pastilah waktu akan terasa sangat - sangat menjerat.

Padahal sabar itu pekerjaan paling ringan lho....lha wong gratis, gak pakai bayar dan gak pakai keluar keringat. Tapi kok gak ada yang mau pakai sih ? sabar itu kan kayak tuma'ninah yang bersifat menunggu jeda, sekedar merilekskan badan, tenang, diam, nggak keburu -buru dan mengalir mengikuti gerakan berikutnya...

Waktu dan sabar adalah hukum penawaran dan permintaan. Semakin kita bisa bersabar, semakin kita bisa melipat waktu. Persis seperti hukum relatifitas Einstein. Atau gamblangnya permisalan, semakin planet dekat ke matahari, semakin pendek jarak tempuh garis edar, semakin sedikit waktu yang dibutuhkan dalam satu putaran yang sama.

Bila ditamsilkan secara mikrokosmos, matahari adalah Allah, hati manusia adalah planetnya. Kehebatan manusia dibanding mahluk lain seperti planet adalah mempunyai akal yang hakikatnya adalah konsep daya tawar. Jadi setiap manusia ketika "diletakkan" Allah dalam satu putaran garis edar ujian, ia bisa menawar takdir garis edar. .Apakah ia akan mendekat ke sumber cahaya, Nur ala nur yang penuh rahma, dan mendapat pencerahan atau malah menjauh dan semakin menemui kegelapan serta kelelahan perjalanan.

Dan penawaran itu bukanlah hal yang rumit seperti yang kita sangka -sangka. Penawarannya hanyalah sikap tunduk dan sabar. Ada yang menyebut sikap diam tafakur. Sikap inilah menjadi lompatan quantum yang bisa bertranformasi memindahkan garis edar lebih mendekat ke asal kejadian planet. Sang Matahari. Akhirnya walau kadar ujian berat dan detak waktu jarum jam tetap kadarnya, hidup terasa tetap nikmat.

Di sini Jelas sekali ayat Al Anfal : 53 " Allah tidak merubah nikmat yang dianugerahkan kepada suatu kaum, kecuali mereka merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri...". Konsep nikmat dan sabar akan bertemu padu di titik ini. Sayangnya kita selalu mengartikan sebuah perubahan kenikmatan perolehan materi. Padahal untuk masalah itu jelas - jelas Allah pasti menggilirkan kejayaan suatu kaum ( Ali Imran 140 )

Sebab faktanya, banyak manusia yang sebenarnya telah digilirkan secara pesat kejayaan peradaban lahiriahnya, tetapi secara batiniah malah seperti planet yang semakin menjauh ke pusat cahaya. Sehingga tak ada perubahan kenikmatan nasib yang signifikan. Apa saja telah diperoleh dan dinikmati, tetapi ketenangan tak dimiliki. Kata eyang, kalau gak bisa sabar hidup gak akan barokah walau segala keinginan sudah tergenggam di tangan.

Seandainya manusia menggunakan akal untuk hal seperti ini, pastilah akan mudah menemukan pencerahan -pencerahan. Hatinya penuh putaran garis edar pendek yang tak melelahkan. He..he..apalagi sampai si planet ini lebur dalam matahari. Tak akan ada lagi perputaran yang bikin pusing. Semua serba terang benderang. Tapi panasnya itu lho yang gak kuaaaaat.....

Dalam Albaqoroh 45 " jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu.....". Jelas, pilihan kata juga mendahulukan sabar ketimbang sholat. Maknanya sholat yang tak dibarengi sebuah konsep sabar dan tuma'ninah, tak akan cespleng atau muspro sama sekali. Tak bisa dijadikan obat pelega dada dan penolong sebuah masalah.

Gimana tidak, sholat kan disarikan dari kata shilatun alias nyambung, kepada Allah. Dalam proses penyambungan ini, mana bisa tanpa dibarengi laku tenang diam sabar. Ibaratnya kita mau kontak "HP" nya Allah. Nomor dah ada, cara pencet tombol dah ngerti. Rukun S.O.P nya pun seratus persen benar. Eh lha kok masa tunggu konek kok ya gak sabar....kita keburu menutup telpon sambil nggerundhel " Hehh...di telpon kok gak diangkat-angkat sih...! "

Ya sudah...akhirnya kayak -kayaknya kita sudah tahu nomor dan telah merasa menghubungi, tetapi kita tak pernah mendapat jawaban - jawaban pencerahaan problem hidup. Sholat yang tidak sholat.

Padahal aktifitas dan gerutuan model itu selalu diulang setiap hari, berkali - kali. Gak heran Kanjeng Rasul mengatakan banyak orang sholat tapi hanya dapat capek ....

Lha wong gak sabar seeh.....




Wassalam, makmum garda belakang

Dody Ide