Jumat, 06 Maret 2009

Budaya dan Jembatan Ketauhidan ll


Waduh, pertama saya bukan sosiolog, anthropolog, teolog dan log log yang lain yang paham benar tentang seluk beluk Jawa.

Apa yg saya ungkapkan hanya sekedar sesuatu yg saya temui, kemudian saya tarik kepada keyakinan dasar saya, Islam. Bahwa sesungguhnya setiap manusia siapapun dia, pastilah punya ruh sebagai bagian dari" cipratan" Allah ( Al Hijr 29 ). Tentu dengan fakta itu, pastilah semua orang punya fitrah dasar ingin kembali kepada Allah ( innalillahi...), cepat atau ( ter ) lambat, dengan berbagai cara.

Yang sering kita salah kaprahi ketika orang mendengar kata kebatinan, pasti selalu berfikir stereotype syak wasangka. Padahal kalau disadari, kira2 kalau badan fisik yang gagah ini bila ditinggal pergi yang batin, sanggupkah melaksanakan aktifitas seperti makan, berbicara ataupun berfikir? Contoh mudahnya ya orang mati, bathinnya sudah hilang walaupun organ tubuh zahirnya termasuk otak yang kita banggakan ini masih utuh.

Kebatinan itu kalau diistilahkan kosa kata lain ya yang sering kita sebut dengan keruhanian. Batin = ruhani. Jadi mudahnya kalau sehabis subuhan lalu kita nyetel tv ada acara siraman ruhani bersama ustadz A, sebenarnya istilah lainnya bisa diganti dengan siraman kebatinan.

Masalahnya budaya kita masih generasi budaya lisan. Budaya nyaman di telinga. Lebih menuhankan hafalan permainan susunan huruf daripada mengasah kejelian menangkap makna.

Persis kalau kita lihat bila di tv ada ajaran kasih sesama, pasti memori kita langsung sinis menuju oh...itu pasti Nasrani. Padahal Islam itu jelas ajaran rahmatan lil 'alamin yang bila diIndonesiakan berarti kasih seluruh semesta...artinya lebih luas, lebih dari sekedar kasih sesama. Tambah bingung lagi kalau sekarang salah satu tv baru ada acara aliyah ke tanah suci, yang ternyata acara orang Nasrani ke Yerussalem. Makin curiga dan masamlah muka kita...

Kasihan lagi kalau ada jamaah haji asal Indonesia tak bisa pulang ke maktab gara-gara tiap bis yang lewat, kondekturnya selalu bilang "Haram...Haram...Haram...". Ia menyangka bis ini nggak boleh dinaiki dan disentuh. Bikin takut dan bingung. Padahal maksud sang kondektur hanyalah sekedar menawari penumpang yang melewati rute Masjidil Haram

**

Kalau saya sendiri, ketika menerima suatu berita atau isu baru, biasanya hanya melakukan dua langkah. Pertama mencari sumber terdekat dan menggali dengan baik- baik sampai pada titik puncak ilmu yang saya sanggup atau titik kondisi diri ini tidak lagi emosional,-tergantung mana yang duluan nyampe pada keadaan itu. Karena isu itu bukanlah tuhan dimana saya harus menumpahkan segalanya.

Kedua, kalau tidak bisa, ya harus diikhlaskan supaya dada tak sesak, kepala tak panas. Soalnya obat sakit kepala dan sakit jantung tambah mahal....

Bagi saya hidup ini tugasnya hanya dua, dan memang fitrahnya kesitu. Pertama, yang menugaskan diri mencari fadilah karunia di muka bumi. Tentu saja pasti urusannya harus berbaik-baik dengan sesama manusia supaya sukses. Kedua, menghujamkan rukun iman terakhir akan keberanian diri mengakui sebuah konsep takdir baik-buruk, yang terjadi dan belum sesuai lauhil mahfuz. Tentu urusannya adalah ketajaman hati menguaknya, lalu mengeikhlaskan pengetahuan hati itu kepada Allah.

Di wilayah ini saya hanya terus belajar untuk tidak mau menjadi syetan yang menyifati kondisi panas dampak akibat tidak bisa memegang teguh dua konsep di atas. Dan proses belajar itu masih saya lakukan sampai detik ini. Masalah hasil, wallahua'lam.

Jadi kalau kita ingin tahu kejawen atau kebatinan dan sejenisnya, alangkah baiknya langsung bertanya saja pada sumbernya. Terutama sumber hidupnya alias manusia pakar. Sebab kalau hanya sekedar buku, masih jauh dan sangat bias. Wong setiap launching buku saja, pastilah narasumber dihadirkan untuk mengetahui maksud sebuah tulisan. Itupun masih terjadi sebuah diskusi perdebatan yang sering berakhir miss persepsi.

Apalagi ini masalah ajaran turun temurun sudah terlalu banyak pro kontra dan simpangsiur isu ....Nggak mungkin pahamlah kalau kita hanya modal katanya. Entah katanya yang bersumber dari gunjingan ataupun buku sekalipun

Masalahnya, kebiasaan kita ini kalau tidak setuju dengan sesuatu, bukannya bertatap muka dengan narasumber dan berbicara baik-baik sesuai kaidah akhlak Islam. Kita lebih senang bikin statement bantahan2 yang disebar ke berbagai media dan sejenisnya. Padahal inilah metode gunjingan modern yang tak pernah mendidik manusia menjadi orang yang lapang dada, mukhlis dan berjiwa ksatria.

Kalau saja kita langsung menemui narasumber yang kita anggap melenceng, kita ingatkan baik2, pastilah tanpa susah2 pengikutnya yang jutaan akan ikut tobat juga. Toh model religiusitas apapun rata2 masih bersistem hirarki kepangkatan satu komando keimaman, yang artinya bila pucuk pimpinan sujud, cepat atau lambat shaf bagian belakang akan ikut sujud.

Kembali lagi, setelah kita bertemu pakar, Baru kita cari nilai batin ruhaninya, sinkron apa tidak dengan tujuan Quran. bukan sekedar menyama-nyamakan taraf tulisan Quran, sebab sudah jelas dari susunan huruf arab dengan ho no co ro ko saja sudah lain bentuknya.

Nah dari sini akan ketemulah tugas kaidah fiqih, melestarikan yang baik dan membuang yang obsolet. Sehingga sempurnalah sebuah ajaran, sesuai kehendak akhir Islam itu sendiri. Persis seperti Nabi melakukan puasa rajab yang notobene sebenarnya adat kebiasaan Quraisy. Tapi karena oke, ya udah diteruskan dijadikan sunah.

Di sinilah nabi tampak menghormati generasi para pendahulunya, generasi pencari Tuhan. Beliau tidak memutus sejarah dan menafikan. Untuk itu pula ada cerita dalam Quran tentang nabi2 dan kitab sucinya diakui oleh Rasulullah sebagai sebuah kebenaran yang telah dan pernah terjadi.

Sesuai dengan surat Al Isra:36 Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.

harusnya dalam segala hal, bila ingin menyelidik sesuatu, ada baiknya seperti profesionalitas dunia barat saat ini. Sebuah contoh, Komposer klasik abad 19 Debussy, Orang Prancis yang datang ke Surakarta belajar gamelan, mengkomparasikan tangga nada dan harmoni-komposisi diatonis vs titilaras pelog slendro.

Akhirnya Debussy mengacungkan jempol dan menganggap keadiluhungan estetika musik timur. Kenapa bisa terjadi ? karena ia langsung datang ke narasumber, banyak belajar dan bertanya ( bukan banyak menentang, membentur-benturkan perbedaan, berprasangka dan mendebat ).

Baru setelah parameter penyerapan ilmunya lengkap, ia dengan objektifitas bisa mengkomparasi dan memberi komentar yang gentleman.

Dan uniknya ia tidak juga harus berpindah menjadi komposer karawitan atau kebakaran jenggot karena musik klasik kalah sakral. Namanya bahkan bertambah besar karena kelapangan dadanya mengakui sebuah perbedaan. Ia tetaplah ia. Gajah masuk kandang macan, setelah keluar kandang tidaklah berubah jadi macan. Lakum dienukum waliadien.

Ia telah mengetahui garis hidup yang telah dijalaninya sejak kecil. Tanpa khawatir berubah menjadi yang lain. Ia mempelajari apa yang belum diketahui dengan cara yang serius. Tanpa ada ketakutan kehilangan jatidiri dan dipermalukan. Tanpa narcis-sinis kepada pihak lain. Objektif.

Itulah kenapa daerah barat lebih sukses. Dan kita yang di timur hanya memupuk kecemburuan perolehan dunia barat dengan berbagai dalil yang menumpuk. Di sisi lain, yang minder dan gagap atas kemajuan barat mencoba mengecat rambutnya jadi coklat supaya kelihatan bule. He he...bahkan kaum intelektual malah mengecat otaknya supaya kosa katanya selalu terlihat berkamus bule. Entah etos kerjanya...

Padahal barat dan timur teteplah milik Allah ( Al Baqarah 115 ). Sama sekali bukan milik orang barat atau orang timur. He..he..yang kita lupa, jaman keemasan Islam kan ada di Cordoba Spanyol Andalusia yang notobene Barat...Imam Bukhari juga dari Rusia...

Budaya penelisikan objektif inilah yang hilang dan belum ditumbuhkembangkan lagi di Indonesia. Kita masih senang pada isu yang dikumpulkan menjadi bundelan buku, lalu buku itu dibahas, kemudian hasil bahasan itu menjadi isu baru dan dibukukan lagi dan seterusnya berulang-ulang seperti jejaring Multi Level Marketing.

Dan kita pun mencicipi ilmu itu pada piramida yang terakhir dan terbawah dengan perasaan berat di hati namun tinggi di prasangka angan-angan perolehan. Jadilah kita akar rumput yang mudah terbakar.

Masalah mentalnya sih, urusan kejawen itu kan urusan keyakinan. Jadi ya high sensitive...Kalau teman kita pakai blangkon, dengan mudahnya kita langsung memvonis kejawen dan menghubungkan dengan konsep religiusitas. Kita tak pernah punya ilmu untuk menghubungkan dengan konsep jatidiri kebudayaan. Padahal kedepannya hal inilah yang menjadi identitas manusia global dan berharga mahal.

Ya mbok kalau cara berfikir kita tetap begini, sekalian saja orang yang berjas dasi ataupun jeans t-shirt kita anggap kafir karena pakaian gini adalah produk identitas " non muslim". Kita sebut saja mereka kemlondho...Lalu kita cukupkan saja berpakaian muslim seperti gamis. Eit...tunggu dulu...kira-kira Abu Jahal dan Abu Lahab pakai gamis apa jas dasi ya ?....

Coba saja kalau semua ini bukan urusan kotak keyakinan, pasti kita sangat teledor walaupun sebenarnya daya rusaknya sangat ditentang Quran.

Contoh, sebelumnya maaf yang pro atau kontra rokok. Nuwun sewu, karena rokok bagi saya bukan suatu yang harus ada atau tidak ada. Rokok bukan tuhan yang harus saya masukkan hati dan jadi bahasan utama yang selalu saya wiridkan secara akbar.

Saya sekedar menyampaikan ide ketololan dalam diri ini:

Kira -kira kalau ada dua ruangan 5x5 meter, yang satu isinya enam perokok yang menyalakan rokok terus menerus sambil ngobrol satu jam. Ruangan satunya ada enam orang duduk saja sambil ngobrol santai, tapi di situ ada mobil sedang menyala selama satu jam juga. Dan kedua ruangan itu sama-sama tertutup. Kira-kira duluan mana ya yang modar ?

Seberapa jauh daya jangkau polusi antara rokok vs asap kendaraan di wilayah publik ? Kira-kira asap apakah gerangan yang membuat lapisan ozon ini berlubang dan memanaskan suhu bumi ? asap rokokkah atau asap mesin2 industri ? Atau rumah kaca yang suejuuk tanpa asap itu...Kalau kita carikan ayat tentang larangan membuat kerusakan di bumi, asap apakah yang terkena pasal duluan ? Aktifitas apakah gerangan yang membuat paru-paru bumi berlubang yang membuat nafas sesak dan akhirnya menciptakan sakaratul maut massal secara perlahan-lahan tapi pasti ?

Kalau sepengetahuan saya, jelas asap mesin2 daya bunuhnya lebih hebat. Tapi karena kita ikut menikmati pergumulan hasil industrinya, ya mental kita jadinya kayak orang yang kecipratan korupsi. Diam dan baik baik saja sambil mencari celah pembenaran.

he...he..tapi yang paling parah tentu saja industri rokok. Polusi mesin industrinya membunuh, produknya juga membunuh.

Tapi siapa sih yang berani menfatwa bahwa acara yang disponsori rokok haram hukumnya ? sebab kalau bulan ramadhan kenyataannya banyak juga lho acara tv islami yang disupport rokok....

Bisa-bisa juga para olahragawan tak jadi sehat karena kurang gizi. Karena selama ini ia mencari makan dari sponsor rokok.

Yang rada seru, bila masyarakat grassroot maniak bola yang selama ini melampiaskan kekesalan hidup dengan teriak-teriak di pinggir lapangan, ehh tiba2 tak ada lagi pertandingan bola karena tak ada dana sponsor.

Kekhawatiran pribadi, akan kemanakah kesumpekan itu ditumpahkan ? jangan - jangan mereka berbondong-bondong bak air bah ke tempat2 para wakil rakyat alias wakil umat....

Lalu kalau mereka datang, apakah kita bisa mengangkat kedhuafaan mereka sebab dari kita mengeluarkan sebuah fatwa ? Karena seorang mufti atau pembuat fatwa haruslah seseorang yang kapabilitas dan aura kewibawaannya jauh melebihi tiga pilar pelaku negara, yaitu eksekutif, yudikatif dan legeslatif.

Ini karena ulama derajatnya lebih tinggi dari umara. Entah itu dilihat dari sisi derajat keilmuan, kharisma kepribadian, kecukupan harta, kedekatan riil dengan masyarakat luas, kejelian batin, daya kasih sayang, negosiator ulung, problem solver, dan sebaginya dan sebagainya...yang intinya masyarakat bisa melihat beliau sebagai figur orang tua yang dekat, cerdas, berwibawa dan layak dikagumi.

Sehingga dalam wilayah ini, karena orang pada hormat dan mengenal pribadi beliau, otomatis tak ada lagi paksaan-paksaan yang bikin kuduk merinding. Semua sudah ikhlas menaati segala anjuran alias fatwanya.

Dan tentu saja ciri sosok orang tua yang bijak, sebelum melarang dan menyuruh, selain bisa menjadi teladan, syarat lain haruslah punya kemampuan mencukupi segala kebutuhan dan menjamin keselamatan si anak terlebih dulu. Ini baru ortu yang top markotob...

Kesimpulannya, daya juang ulama atau mufti harus lebih tinggi dari sekedar umara. Kalau dalam undang - undang dasar kita disebutkan fakir miskin dan anak yatim dipelihara negara, maka ulama harus plus janda, plus buruh ( bahasa budak yang diperhalus ), plus pedagang kaki lima dan plus plus yang masih banyak lagi.

Tentunya semua itu sebagai bentuk pertanggungjawaban yang amat besar bagi seseorang yang sudah berani menisbatkan diri atau ditahbiskan orang dengan gelar ulama ataupun ustadz.

walah-walah kok jadi ngalor ngidul ngobrolnya...nanti tulisannya jadi blunder panjang lagi... wah daripada dimarahi orang-orang, tak bobok dulu...dah malem...anggap tulisan ini tak pernah ada...

Wassalam, tetep makmum kelas ekonomi

Dody Ide

Budaya dan Jembatan Ketauhidan l


Catatan sebuah diskusi dari milis tentang cerita legenda Cina, India dan Jawa Bag l:

Kalau Pak Deka sudah menjelaskan secara to the point, maka kali ini saya memberi gambaran sebuah jembatan peradaban tauhid. Wong namanya jembatan, ya sudah pasti siap-siap diinjak-injak. Baik dari yang pro maupun kontra kejawen.Nggak apalah, asalkan satu pemahaman dengan pemahaman lainnya bisa terhubung.

Telah menjadi bahasan klise apa itu Kejawen apa itu Islam. Tapi mari kita merenung sejenak atas sebuah konsep yang kadang bagi sebagian orang Islam dianggap penyakit sinis TBC ( Tahayul, Bid'ah Churafat ). Dalam hal ini kejawen.

Yang tak pernah kita sadari, setiap membahas istilah kejawen selalu kita bentrokkan dengan Islam tekstual, kita carikan perbedaan, lalu kita vonis dan masih seputar itulah...Cara kepahaman kita tak bisa outframe dari pakem itu.

Padahal, kenapa disebut kejawen ? jawaban mudahnya, karena pada waktu Islam masuk dan membumi di tanah Jawa mulai Kerajaan Panjalu, kasultanan Cirebon - Banten sampai ke timur pesisir Banyuwangi, belum ada negara yang bernama Indonesia. Kalau dulu sudah ada Indonesia, pasti akan disebut Islam keindonesiaan.

Seperti orang orang Timur tengah yang sampai saat ini menganggap Islam keindonesiaan itu fiqihnya hebat, tapi ibadahnya banyak yang nganeh- anehi tidak standard sono. Bisa jadi sholatnya Pak Abu Sangkan yang lama juga dianggap aneh. Yah, inilah Islam keIndonesiaan, sholatnya lain dengan orang Timur Tengah yang ngebut formula satu dan nyetir tangan satu alias suka garuk-garuk.

karena negara Indonesia tidak hanya Jawa saja, pastilah akan terjadi akulturasi dan gagap budaya. Otomatis di dalamnya gagap komunikasi pemahaman agama antar daerah. Maka akhirnya timbullah istilah itu.

Sebenarnya lumrah saja, seandainya ketika terjadi penyebaran Islam, bila pusat nusantara jaman dulu adalah Kalimantan, otomatis penyebar Islam dari Jazirah Arab akan mampir ke Kalimantan. Tentu saja dalam penyampaiannya akan terjadi persesuaian budaya, folklore dan pola sosialisasi.

Kemudian akhirnya Islam sukses, kental dan bersatu dengan penduduk Kalimantan melalui tawar menawar proses belajar mencari nilai Tauhid. Dan akhirnya orang Islam diluar Kalimantan yang asing akan budaya lokal akan menyebutnya bukan lagi kejawen melainkan kekalimantanan. Sebab yang kental muncul adalah petuah tetua Dayak yang luhur daripada istilah Islam yang letterlejk. Bisa jadi kita sinis pada Islam kekalimantanan.

Padahal yang harus kita cari sebenarnya adalah nafas ruh Islam itu sendiri, nafas salam. Ada atau tidak kandungannya. Bukan mempertentangkan cara penyampaiannya atau istilahnya.

Seperti di Jawa, Sunan kalijaga konon mempunyai jimat pamungkas Kalimosodo yang mampu menakhlukkan Raja-raja Hindu. Orang yang tak paham bisa terbelah dua. Yang nggak suka klenik pasti langsung memvonis, katanya wali...kok masih melihara jimat.

Yang suka klenik sampai saat ini masih berburu cari bentuk barang itu. Berapa milyar pasti akan di bayar. Padahal diam-diam saya menyimpannya sejak kecil. Tapi seandainya saya jual milyaran pun, transaksi akan gagal. Karena penerimanya tidak bisa memegang barang itu. Ghaib.

Sebab sesungguhnya jimat kalimosodo itu adalah "penjawaan" dari sitilah dua kalimah syahadah. Kebetulan juga atau memang demikian, sodo adalah biting, yang melambangkan lurus tapi lentur. Sesuai prinsip Islam sendiri yang fleksibel dialogis tasamuh ( berpengetahuan membumi ) tetapi tetap terarah menjulang ke langit arashy. Jadi sampean dan saya pasti tahu jimat itu. tinggal mau nggak sungguh2 memegangnya sebagai modal jimat menghadapi cobaan apapun.

Nah, jaman dulu karena nggak ada film hollywood, maka dibuatlah cerita yang menarik tentang jimat itu atau cerita lain seperti Sun Go Kong. Lalu apa fungsinya ? Cerita adalah sebuah konsep pemaparan yang paling membekas di benak pendengar. Dan sebuah kearifan orang jaman dulu bikin cerita agar ajaran luhur bisa dipahami mulai dari anak kecil sampai kakek nenek supaya mengakar turun temurun.

Dalam hal ini ketemulah seperti dalam artikel Pak Deka tentang mengupas kulit bawang. Tinggal sampai di mana tahap kita mengupas kulit itu. Sampai dimana kita bisa menggali tingkat spiritual ruh cerita itu. Sebab yang disangka yang sudah isi, ternyata masih kulit. Yang pada akhirnya ketika kulit itu dikupas tuntas dihabiskan, eehh...kok ketemu isi yang bernama kosong. Akhirnya banyak yang pulang kecewa....

Seperti lagu lir - ilir nya para Sunan, bagi yang pemahamannya anak kecil ya dianggap hanya dolanan nyanyian. Bagi yang berfilsafat materialis kapitalis ketika menangkap syair penekno blimbing kuwi, lunyu-lunyu peneken ( panjatlah pohon blimbing itu, walaupun licin tetap rengkuhlah ), maka ingatannya langsung tertuju komoditi dagang buah.

Bagi yang paham nilai, akan melihat belahan buah blimbing itu bercabang lima yang berarti lima waktu. Bagi yang paham akan jeroannya lima waktu, hidup harus bergembira seperti syair akhir lagu surako surak hiyo ( bersoraklah hore ) Karena sudah menemukan jawaban tentang bagaimana mendirikan sholat.

Karena mendirikan akan berkelanjutan dengan bermukim. Persis seperti orang yang ingin mendirikan rumah, pasti akan bermukim disitu.Tetapi yang mengerjakan rumah seperti kuli, ya belum tentu bermukim di rumah itu. Sebab yang dibingungkannya masih bayaran atas ongkos kerja. Membangun rumah banyak orang tapi belum mampu membangun dan bermukim di rumah sendiri

Dalam Al quran sendiri terlalu banyak cerita, tamsil, dan sejarah perjalanan tauhid mulai Adam Sampai Muhammad plus cerita Romawi, Lukman Hakim dan lain-lain. Dan itu hampir sepertiga isi Al Quran. Sayangnya kita hanya menganggap itu sekedar cerita sejarah fisik.Padahal setiap huruf dan kata adalah petunjuk menuju jalan ruhani.

Kembali lagi seperti jaman para Sunan, jelas para beliau adalah orang yang hafal isi Quran. Tetapi kenapa kok malah menggunakan wayang cerita Ramayana ? kok gak to the point proses cerita nabi Ibrahim atau lainnya yang jelas sudah mukhammat secara nasab dan nashnya dalam Quran.

Inilah yang dinamakan kearifan akulturasi dan tranformasi budaya. Agar proses belajar sebuah nilai luhur dapat tersampaikan dan terluruskan tanpa ada pihak tersakiti dan terpaksa yang akhirnya hanya mencetak orang-orang riya'
.
Dan juga jelas nggak mungkinlah dalam Quran ada cerita tentang Ramayana dari India, Shinobi dari Jepang atau Sun Go Kong dari Cina. Sebab Rasulullah lahir di tanah Arab. Alquran jelas memfirmankan bahwa wahyu diturunkan dalam bahasa yang dimengerti. Dalam hal ini bahasa Arab. Tentu saja yang dinamakan bahasa tidak sekedar suara yang keluar dari mulut. Tetapi dibalik dialektika tersebut terkandung sebuah nilai kesejarahan, kearifan universal, ketokohan yang sudah akrab, peta bathin dan suasana -suasananya.

Semuanya megajarkan alif ba' ta kepahaman cerita. Dan setiap tektual Al quran, secara kontekstualnya pasti bisa diaplikasikan ke penjuru dunia manapun. Bahkan nabi pun mengajarkan menuntut ilmu sampai ke negeri Cina untuk membuktikan kebenaran Quran...eh tapi jangan- jangan nanti kalau kita kesana ketemu Sun Go Kong lagi...waduh...

Jadi alangkah baiknya kita menyelami apa makna sebuah cerita, lalu dinalar akan dibawa kemana. Terakhir dipamungkaskan di -Islamkan, alias dijadikan produk yang membawa orang pada jalan keselamatan-salam.

Seperti dalam Islam sebenarnya sepintas banyak terlihat hal yang membingungkan kalau kita hanya membaca secara tekstual saja. Misalnya kecenderungan utama penyikapan kita terhadap anjing pasti jijik dan najis. Tetapi kenapa malah anjing Ashabul Kahfi ikut masuk surga. Padahal yang terkena hukum surga neraka hanya manusia. dan hewan takkan paham apa itu surga neraka. Di sini kita akan bingung mana ayat mukhamat mana ayat mutasyabihat. Padahal anjing Ashabul Kahfi tamsil mutasyabihat seperti cerita kera Sun Go Kong yang bermakna jiwa yang harus di luruskan mengikuti tuannya ( ruh ).

Bila anjing yang menyimbolkan hewan cerdas ini setia dan menunjukkan gua tempat persembunyian ( ruang tersembunyi di dada ), maka Ashabul Kahfi akan tertidur berabad-abad ( lepas ruang waktu ) dengan makanan yang tidak akan basi ( kandungan nafas ), sedangkan keledainya ( jasad ) jadi bangkai ( budaya daging yang tak perlu dicintai berlebih ) yang sudah selesai tugasnya. Akhirnya bertemulah mereka dengan pemerintahan yang adil ( jiwa merdeka yang telah bertemu Tuannya ).

Awal pertemuannya ketika mereka melakukan transaksi ( diskusi ) di pasar ( otak banyak orang ) dengan membawa uang kuno ( nilai ajaran luhur yang telah sukses mengalami berbagai perjalanan keadaan cerita manusia A sampai Z ). Maka jadilah mereka tamu istimewa di bumi pada jamannya alias khalifah. Ashabul kahfi sendiri yang berjumlah tujuh melambangkan tujuh unsur fisik dan ruhani manusia yang harus menempuh sebuah proses keimanan. Ini adalah sebuah contoh ayat tekstual yang menjadi konteks universal.

Kalau dalam Islam kejawen kenapa kok bisa membahas jeroan ghaib manusia secara detail dan terperinci. Tak lain waktu itu memang tuntutannya begitu. Nggak mungkinlah mbahas tehnologi wong belum ada.

Sebenarnya sih Inti ceritanya dulu dan sekarang sama saja. Kalau Allah berfirman bahwa tidaklah manusia mengetahui ruh kecuali sedikit, maka sedikitnya Allah sudah terlalu banyak bagi orang Jawa. Dan akhirnya dikejarlah sampai tuntas pengetahuan ruh yang sedikit itu.

Dan itulah peradaban yang pernah dicapai Islam di tanah Jawa jaman dulu yang membuat berbagai bangsa mulai Belanda, Jepang, Portugis, Mongol, India, dan Amerika ingin ikut mencicipi kandungan berkah rizki bumi Nusantara.

Hal ini persis seperti tren saat ini kita yang lagi asyik menyibak tabir alam dunia yang berbuntut kecanggihan buanyaak hal. Padahal Quran sudah menjelaskan bahwa dunia ini sedikit sekali bagai debu, laibun wa lahwun,senda gurau dan main-main. Kampung akhirat lebih baik. Dan kita nggak ada yang sinis akan hal ini kan ?.Dan oleh karena manusia adalah mahluk bertanya dan mencari, maka Quran adalah kitab yang bisa menjabarkan segala isi otak dan daya batin manusia mulai A sampai Z.

Di sinilah terlihat betapa Islam menjangkau segala sesuatu, meliputi segala sesuatu. Semua aktifitas budaya, kecenderungan2 sifat manusia mampu diluruskan melalui apa yang individu sukai. Mulai dari yang ghaib klenik sampai iptek tercanggih mampu diluruskan dan dikembalikan pada Allah dengan lembut. Sebab kalau kita tidak bisa menjangkau setiap aspek budaya polah tingkah manusia, maka bidang garapan Islam akan terbatas, nggak bisa jadi rahmatan lil alamin. Paling banter rahmatan lil halaqah, alias kelompok sendiri.

Dalam AlQuran sudah menyindir-haluskan cerita Nabi Yakub As bagaimana isyarah memasuki kebenaran dari berbagai pintu yang berlainan ( Yusuf : 67 ). Kenyataannya setiap orang mempunyai "sreg" tersendiri untuk membuka hati menuju Allah. Ada yang seperti Pak Deka yang senang cerita tentang tentang ruang-ruang kesadaran, kamar panas dan dingin. Pasti bila diberi penokohan antagonis dan protagonis tambah seru. Anak -anak pasti suka mendengar. Bila perlu dibikin kayak film bernafas Islam yang lagi menjamur.

Atau ada Pak Marconi yang lebih sreg dan super teliti menelisik kandungan Quran melalui ilmu modern dan tehnologi ( maturnuwun pak, kiriman email pribadi topik Muharram nya ). Juga Mas John Bandempo dengan jargon horizon semangat berilmu yang patut dijadikan suplemen energi berketuhanan.. Di milis sebelah bahkan memakai metode Sun Go kong. Bisa jadi bukan hal aneh dan malah cepat terserap kalau itu untuk mendorong pertumbuhan Islam di Tiongkok. Walaupun sebenarnya secara sejarah, Islam lebih dulu ada di Cina daripada di Indonesia.

Mungkin ada juga orang seperti saya yang suka jadi pemulung . Memungut barang-barang kotor untuk didaur ulang dan dijadikan memiliki nilai kembali. Terkadang jadi tukang rombeng yang membeli barang yang sebenarnya mahal dan berguna dengan harga receh sekenanya supaya pemilik tidak tinggi hati.

Dan tentu saja guru Pak Abu sangkan, Bapak Slamet Oetomo yang mempopulerkan kembali istilah patrap di kehidupan modern. Sebuah Isltilah dan laku yang akrab dilingkungan keraton Jawa dan ditularkan secara rapi dan santun. Sudah tentu, masih banyak silent majority yang lebih baik lagi dengan berbagai metode yang sesuai dengan keakraban komunitasnya.

Semua adalah pilihan jembatan peradaban ketauhidan. Tinggal kita milih yang "sreg" yang bisa memuaskan tuntas titik akhir ketauhidan. Bukan lagi masalah kecepatan patas atau kelas ekonomi. Melainkan sebuah kenyamanan dan kebersamaan hidup dalam menempuhnya. Karena belum tentu apa yang kita ungkapkan sebagai suatu yang paling cepat, mudah dan nyata, ehh bisa jadi malah bagi orang lain adalah suatu yang ribet, absurd dan utopia.

Jadi kita nikmati saja renik-renik perjalanan manusia menuju Tuhannya. Sambil kita sentuh dadanya dengan kelembutan. Agar seseorang segan dan mau mengikuti dengan legowo jalan kebenaran yang telah kita tempuh.

Anggap saja kita belajar Islam seperti masuk restoran. Asalkan niatnya makan-bukan merusak restoran, itu sudah benar. Tinggal pilih menu yang disukai. Kita tidak bisa memaksakan selera makanan walaupun kepada teman karib. Persis seperti hormatnya Rasulullah terhadap pilihan akhir pamannya, Abu Thalib. Sebab selera itu tak ada ukurannya. Persis seperti tak dapat diukurnya ruh.

Inilah sebuah kearifan dan keluasan Islam. minadzzulumati ilannur. Merubah pemahaman apa saja yang gelap remang- remang menuju pemahaman cahaya terang benderang...



Wassalam

Dody Ide