Selasa, 28 Oktober 2008

7 Langit 7 Bumi ( akhir 7 )


KEMATIAN

Semua orang bingung kematian. Tua muda sama saja. Tak ketinggalan pula para ahli spiritual dan ilmuwan. Tapi yang jelas semua pasti mengalami kematian.

Wah...mengalami ?
Mengalami yang berasal dari kata dasar alam...berarti mati juga sebuah alam ?
Bagaimana suasananya ?
Berarti nggak mati dong...karena masih bisa merasakan sebuah alam....Lalu dengan perantara apa bisa merasakan sedangkan tubuh sudah mati rasa seperti tersuntik obat bius dosis tinggi sekali yang mempunyai efek waktu tak terbatas…
Sebenarnya dalam kehidupan, sosok manusia yang bisa merasakan dan menangkap segala pergerakan alam ini sang daging ataukah sang penggerak daging ?
Dimanakah kekuatan daging beserta seluruh organ tubuh ketika kematian telah tiba ?
Siapakah sang penggerak ini ?
Di manakah pengakuan diri kita atas sang penggerak ?
Siapa pula aku yang bisa mengaku ini ?
Apakah sang penggerak itu adalah aku dari diri kita masing - masing ?
Ketika mati apakah aku berada pada jasad yang terbujur kaku atau berada pada sang penggerak ?
Kalau aku adalah sang penggerak, sejak kapankah aku ada dan bisa bergerak menggerakkan ?
Lalu kemanakah perginya sang penggerak setelah kematian ?
Apakah melebur, menyatu, menempel atau berjarakkah dengan Tuhan ?
Atau musnah ?
Kalau akhirnya musnah untuk apa diciptakan ?
Lalu siapa yang memetik pelajarannya ?
Kalau melebur menyatu dengan Tuhan , apa bedanya manusia dengan Tuhan ?
Kalau tak ada beda mengapa harus ada sebuah perjalanan ?
Kalau berjarak, berarti ada ruang kosong yang bersifat antara. Ruang apakah yang bisa melingkupi kebesaran Tuhan ?
Tidakkah ini mirp pertanyaan gajah yang besar apanya ? ya kandangnya...kok ternyata masih ada yang lebih besar dari gajah itu sendiri...
Kalau surga itu suatu tempat dan manusia kembali mempunyai badan, tidakkah ini sebuah kebosanan dan kebingungan ?
Sebab badan yang terbuat dari saripati tanah ini memerlukan perawatan dari segala unsur yang terkandung dalam tanah...sedangkan tanah adalah bumi..sedangkan saat itu kita berada di surga...
Kalau badan tidak memerlukan apa - apa karena sistem surga berbeda, lantas kenapa harus ada perangkat badan lagi untuk memenuhi sebuah kenikmatan ?
Sebab yang mencecap segala kenikmatan bukanlah badan...
Sebab ketika orang disebut mati, ada sesuatu yang masih merasakan nikmat dan siksa atau istirahat dengan tenang...
Siapakah yang nikmat ?
siapakah yang tersiksa ?
Siapakah yang merasakan istirahat dengan tenang ?
Siapakah yang tetap mempunyai gerakan hidup dan merasakan ini ?
Sang badankah ?
Kalau iya dimanakah letak kematian ?
Kalau badan hanyalah perantara yang akhirnya hancur , kenapa harus diadakan lagi ?
Apakah ada misi lagi setelah surga kok tetap ada badan?
Bersambungkah perjalanan itu ?
Turun lagi ke dunia kah ?
bukankah tugas di dunia sudah usai ?
Apakah ternyata surga bukan perhentian terakhir ?
Apakah adanya wujud badan hanya agar tetap dapat disebut sebagai manusia ?
Padahal waktu di dunia ketika sang penggerak meninggalkan badan, mereka yang masih hidup tak mau lagi menyebut manusia melainkan menyebutnya mayat.
Mereka pun mengubur dan membakarnya...
Dan ternyata yang tetap dihargai serta dirawat sebagai manusia adalah pemikiran - pemikiran serta jasanya, bukan dagingnya...
Disebutkan dalam berbagai kitab suci bahwa yang kembali kepada Tuhan bukanlah badan yang sehat segar, melainkan bagian dari tiupan ruh atau jiwa yang tenang.
Apakah badan versus jiwa yang tenang atau tiupan ruh ini akan berpisah berjalan sendiri -sendiri ?
Bila sang jiwa tenang atau tiupan ruh kembali kepada Tuhan...
Sedang sang badan melenggang sendiri di surga menikmati fasilitas yang ada...
Lalu dengan apakah badan ini bergerak dan menikmati segala fasilitas surga ?
Apakah surga itu memang hanya diciptakan untuk kenikmatan badani ?
Apakah penghargaan termahal dari manusia adalah badan yang terdiri dari kulit, daging dan organ ?
Terus apa bedanya dengan hewan ? sebab secara garis besar cara kerjanya sama.
Lalu kenapa hewan tidak masuk surga ?
Kalau pembedanya adalah akal, kenapa yang menikmati surga bukan akal ?
Kalaupun akal masuk surga juga ngapain ?
Sebab akal diciptakan untuk berfikir mencari jawaban sedangkan di surga semua telah terjawab dengan gamblang.
Kalau toh surga itu hanya perwakilan suasana, berarti surga itu ya di dunia ini ?
Sebab di dunia pun banyak orang bisa mencapai suasana tenang sampai tingkat ekstase tertinggi hingga lupa keruwetan dunia, padahal mereka masih memiliki badan yang bergerak.
Dan lupanya orang ekstase persis seperti lupanya orang pikun atau amnesia. Mereka sama sekali tak ingat akan kepedihan -kepedihan yang pernah dilalui
Kalau surga hanya sebuah keadaan damai tak terperi tanpa wujud tempat, unsur apa yang bisa merasakannya ?
Kalau jawabannya unsur non materi, bukankah unsur non materi hanyalah kamuflase istilah unsur materi terhalus karena ia masih mempunyai wujud alam ?
Kemudian unsur yang bisa merasakan ini akan terhenti kemana ?
Kekalkah unsur itu seperti kekalnya Keberadaan Tuhan ?
Kalau iya berarti hilang lah ke Maha Kekalan dan ke Maha Tunggalan Nya ..
Tak perlu lagi kah kita menyebut dengan awalan Maha..?. karena tak ada pembeda...masih sama...
Kalau toh akhirnya melebur, berarti tak akan ada lagi rasa damai itu karena Tuhan tak kenal rasa damai sebab Ia tak pernah terkondisikan dengan apapun jua.
Kalau rasa damai sebagai satu - satunya rasa yang ada ikut lebur, berarti tak akan ada apa - apa lagi.
Maka tak ada - apa menjadi bentuk keberadaan itu sendiri.
Tiada yang Ada selain yang Ada itu sendiri.
Kalau kita ini sebenarnya nggak ada lalu ngapain kok suka mengada - ada ?

STOP ! Cobalah berhenti membaca dulu, jangan dipikirkan pertanyaan dan pernyataan itu selama sepuluh menit ke depan mulai dari SEKARANG .....!.

Nah ...belum satu menit kok malah tambah muncul pertanyaan - pertanyaan dan bantahan - bantahan baru....
Daripada difikirkan, meraba -raba dan berbantahan lebih baik miliki satu keyakinan saja bahwa mulai detik ini kita berpasrah siap mati apapun keadaannya nanti, karena itu lebih membantu, karena kematian datangnya secepat kilat tak terduga .

Seribu pertanyaan itu begitu rumit serumit menjawab pertanyaan sederhana " duluan mana ayam sama telur...? " Karena masalah kematian akan terjawab dengan benar setelah saya dan anda yang membaca tulisan ini mengalami mati...Ada pepatah, untuk merasakan adanya sebuah permen, jalan satu -satunya adalah mengemutnya.

Mendengar keterangan jutaan ahli permen, meyakininya, mengecek kebenarannya hanya menimbulkan tafsiran dan sensasi gambaran - gambaran saja, tak lebih. Dan itu pun belum tentu sesuai dengan maksud sang ahli.

Ah ..dibalik segala kerumitan itu ternyata kewajiban kita sekarang yang masih merasa ada ini cuma belajar saling mengenal, menghormati, menghargai dan membantu sebab di dalam setiap manusia ada 'aku" dengan segala perniknya.

Setiap manusia tak mau menyebut diri sendiri dengan sebutan kamu atau mereka. Tak mungkin untuk menunjukkan sebuah kedirian, saya berkata " nama mereka Dody ' pasti saya akan ngomong " namaku Dody " anda pun juga ngomong " Namaku Tukul...namaku Ratu Elizabeth...namaku Nur...namaku Rahmat......namaku Putri Diana...namaku pangeran kodok...namaku Betty alias Bejo...namaku Mince alias Minto...dan sejuta nama lainnya..."

Aku ini ternyata satu walaupun ada pada milyaran tubuh manusia. Maka merawat "aku" yang ada pada setiap manusia sama saja dengan merawat "aku" yang ada dalam diri sendiri....mencelakainya sama saja menghambat perjalanan diri sendiri...meremehkan mereka sama saja dengan meremehkan dan memenjarakan diri sendiri dalam keterasingan yang menggerogoti lapangnya dada...percaya atau tidak ? Silahkan merenungi dan merasakannya...mulai detik ini !


Wassalam

Dody Ide

Rabu, 22 Oktober 2008

Jagal Pemikiran


tulisan ini sekedar tanggapan atas diskusi sholat salah kaprah

Alkisah, ada anak kecil yang suka buang sampah sembarangan. Seperti biasa, sehabis makan jajanan ia membuang sampah seenaknya. Tetapi naas, tiba - tiba ia ditegur orang tinggi besar bin sangar, Hei...jangan buang sampah sembarangan ! sambil mengingatkan si anak, orang itu membuka kancing bajunya.

Si anak melihat tato dibadannya. Sekilas ada tulisan JAGAL...dan gambar mirip gagang kapak

Waduh gawat, jangan -jangan preman ini mau menghajarku gara-gara aku buang sampah sembarangan..ih, liat tatonya aja seyyemm deh..ada tulisan JAGAL... dan kayaknya ada gambar ..ss...sse... senjata tajam. Pasti dia ..pasti dia pembunuh kejam berdarah dingin hi....

Si anak gemetar ketakutan sambil memejamkan mata...

Orang itu semakin mendekat. Sambil menaruh baju di pundak, ia memegangi kepala anak itu...

Lalu...

Dengan elusan lembut di kepala, ia menasehati anak itu, " Dik, mbok jangan buang sampah sembarangan ya...abang udah capek mbersihin...

Karena merasa diperlakukan dengan lembut, si anak memberanikan diri membuka mata. Tepat di hadapnnya, orang tinggi besar itu bertelanjang dada dengan tato di badan.

Ups, si anak terkesiap setelah melihat dengan jelas tulisan tato di dada orang itu.

Ternyata bertuliskan ' JAGALAH KEBERSIHAN lengkap dengan gambar dua gagang sapu melintang....sama sekali jauh dari kata seram...

Sesuatu yang luarnya terlanjur dianggap kasar, kotor dan kejam ternyata penuh kelembutan, suka kebersihan dan santun.

Yah hanya karena salah menduga...salah kaprah.....

**




Memang kelemahan utama kita dari dulu adalah keahlian memotong pembicaraan untuk disesuaikan dengan prasangka sendiri. Keahlian derivatif turunannya adalah menyortir kalimat tanpa mau mencari tangkapan makna atas keseluruhan konteks pembicaraan. Hal ini juga berlaku pada tulisan atau pemikiran.

Seringkali kita keras bin kaku dalam menyimpulkan tulisan hanya karena ada salah satu dari ratusan kalimat yang tidak sinkron dengan konsep otak kita. Sehingga kita menafikan kebenaran kalimat lain yang ada dalam tulisan itu.

Sesungguhnya kalau kita menyadari, ini adalah warisan para penganut orientalis yang selalu berorientasi dengan ketidakterimaan "aku" kecil dan pendapat golongan. Serumit apapun bahasan ilmiahnya, akhirnya hanya mengerucut pada kalimat pokoknya begini tidak begitu, pokoknya begitu tidak kayak yang gini.

Sayangnya kita sendiri terjebak ikut-ikutan menggunakan pola ini dalam mengkaji kebenaran agama. Akhirnya, tahap paling akut kita juga sering berani korup terhadap ayat ketika ayat itu tidak sesuai dengan tafsir kehendak nafsu kita.

Seperti yang kerap terjadi pada surah An nisa ayat 3 tentang bolehnya laki-laki nikah lebih dari satu. Seorang laki - laki yang normal kayak saya kalau di tawari nikah empat pasti wooow...mau dong. Tapi ketika Al Quran menantang bahwa apakah engkau termasuk orang yang adil ? apakah engkau telah menunjukkan kemampuan adil ?

Lhagadah...para cendekia agama yang rata-rata laki- laki kok nggak pernah bahas detail apa yang dimaksud adil, dimana parameternya, apa hukumnya berlaku tak adil. haramkah atau sekedar keluar fatwa yang memaknakan ah manusia pasti ada khilafnya.

Atau adakah semacam keseriusan bahasan seperti RUU pornografi bahwa sangsi tidak adil adalah bla bla bla dengan sekian ratus pasal yang mendukung berdasar analogi An Nisa 3 itu sendiri, bahwa tidak adil adalah berbuat aniaya.

Sehingga setiap perbuatan aniaya pasti ada ganjaran fisiknya. Semisal denda sekian puluh juta atau sebesar- besarnya kurungan ayam...eh maksudnya kurungan badan lima tahun penjara. Tapi ya boleh juga sih ditaruh di kurungan ayam agar sang jago nggak gampang gagah berkokok ke sana-kemari.

Dan sesungguhnya hak dari ayat itu tentang keadilan sudah dijelaskan pada ayat sebelumnya ( An Nisa ayat 2 ) yaitu tentang kewajiban2 kita merawat dan memperhatikan anak yatim. Kemudian baru naik ke masalah wanita itu sendiri. Memaknakan bahwa sebelum kita bersenang -senang, kewajiban sosial harus dijadikan landasan sebuah kemukminan seseorang. Karena mukmin setingkat lebih naik lagi daripada muslim.

Intinya ayat surah ini ada dalam kejujuran batin kita. Apakah tangkapan atas surat ini mengajarkan pendidikan keadilan yang memang harus dilatih pada diri setiap orang yang ingin jadi mukmin, ataukah hanya mengajarkan bolehnya bersenang - senang dengan lain jenis kelamin.

Kalau saya sih cuman bilang, mosok sih Quran cuman mengandalkan hal dangkal atas kesenang-senangan daripada kesungguhan pengajaran tentang kesadaran kemukminan. Walaupun kenyataannya setiap lelaki ( sudah pasti termasuk saya ) kalau hanya bilang urusan gitu pasti pengen kayak raja jaman dulu yang punya selir sampai puluhan. He...he..itu kalau kita hidup hanya nuruti nafsu.

Waduh kok mbahas polyphony lagi....

Uraian contoh tsb hanya sekedar sebagai gambaran betapa dahsyat efek dari memotong pembicaraan. Bahkan dampaknya lebih dahsyat dari sekedar memotong rejeki. Sebab di dalamnya sudah pasti terkandung ketidaksabaran, ketidakakuratan data, tingginya ego, ketidakluasan cara memotret space seseorang yang akhirnya berbuntut fitnah.Yang disayangkan seberapapun daya intelek atau keimanan seseorang akhirnya hanya berujung like or dislike.

Jadi dalam konteks salah kaprah sholat bukannya membela Pak Deka, Pak Abu Sangkan atau siapa saja. Tetapi mari belajar tidak memotong, menyortir pembicaraan, tulisan ataupun pemikiran seseorang. Pelajari dulu pesan batinnya.Dan mari menghargai ide seseorang apa adanya sampai tuntas layaknya murid yang mendengar ajaran mursyid sampai tuntas tanpa berani menyela.

Karena sesungguhnya segala sesuatu yang memancing diri kita untuk berfikir adalah guru. Masalahnya hanya umpan pancingan itu lezat atau pahit.

Mungkin saja saya sekedar bermimpi muluk untuk menghilangkan tabiat ini. Lha wong kenyataanya firman Tuhan saja masih sering kita sela . Apalagi omongan -omongan model warung seperti tulisan ini.

Akhirnya kita ini kayaknya semakin intens berdiskusi atau ndakik mempelajari Quran, tetapi hati makin gundah, jiwa terjun bebas terhenti bermaqam di nafsu amarah. Sebab kita masih suka menjadi jagal atas pemikiran orang lain ataupun ayat.Sehingga pesan makna sesungguhnya tak pernah sampai membuka hati kita.

Tapi sudahlah, ayo belajar jangan hanya berhenti pada ilmu, filosofi, tafsir-tafsir, karya, atau spiritual saja. Tapi belajar hargai manusia. Karena ilmu tanpa ilmuwan tak akan ada harganya. Seni tanpa seniman tak akan berasa. Tafsir tanpa tafsir-wan tak akan bermakna apa-apa. Spiritual tanpa spiritual-wan juga jadi kertas fotokopi tanpa ada suasana kekhusyukannya.

Sebab para wan-wan itulah yang bikin hidup lebih hidup. Tanpa Pak Wan segala sumber ilmu pengetahuan tak bisa kita tangkap dan hadirkan di sini.

Tak lain karena kita belum begitu yakin bahwa Allah lah sesungguhnya yang memberi pengajaran langsung terhadap sang jiwa yang bermukim di setiap ruh manusia. Walaupun begitu banyak ayat yang menjelaskan akan hal itu secara mukhamat.....

Last, Man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu, Ana indadzhoni abdi.. berkenalanlah dengan berbagai manusia secara baik - baik maka engkau akan bertemu Tuhan yang baik. Bukan Tuhan yang suka merengut. Karena Tuhan sesuai persangkaan si hamba...wallahu alam

Wassalam, semoga baik-baik selalu

Dody Ide

Selasa, 07 Oktober 2008

Apa hebatnya bertemu Tuhan ?


Ah...tidak berhakkah si bisu mencicipi perjumpaan dengan Tuhan hanya karena ia tak mampu berucap Allah beserta ragam taraf bahasa pencapaiannya ? entah teologi bahasa Arab, Jawa, Indonesia , Inggris, India dlsb ...

Ah...tidak berhakkah si tuli tenggelam dalam Tuhan hanya karena semenjak lahir ia tak pernah mendengar syahadat secara fasih lisan ?

Apakah hanya karena Tuhan kita adalah tuhan kata - kata ?

Rileks sejenak...
Jangan bawa doktrin apapun...
Jangan bawa reka pemikiran apapun...
Jangan bawa pengalaman apapun...

Pandangi saja manusia yang ada di dekat kita
Amati...
Energi apa yang bisa membuatnya bergerak dan bertingkah polah sedemikian rupa.
Temukan...
Ikuti...
Itulah jalan Tuhan yang sangat nyata
Begitu lurusnya hingga sering ditawar oleh akal yang berbelit dan qolbu yang berbolak - balik

Kalau saya dan anda tak mampu bermaqam memandang, bahwa sebenarnya setiap manusia itu sama persis hanya sebatas daging wayang tak berdaya yang diselubungi oleh Sang Ruh, lalu apa hebatnya bertemu Tuhan di kejadian antah brantah.... ?

Lha wong Iblis saja sejak Adam ada sudah ' face to face " ngobrol dan berbantahan dengan Tuhan..
Iblis pun nggak perlu kusyu beribadah untuk berjumpa dengan Tuhan....

Terus gimana ?

Kalau saya pribadi ummi saja mengikuti jejak Rasulullah...

Maksudnya ?

Ummi ya ummi....hanya mampu mengeja alif ba' ta' kalau di tuntun Allah.

Lalu terus belajar menghargai setiap manusia karena di dalamnya bersemayam Sang Ruh.

Nggak lebih, nggak kurang.

Nggak tahu lah...

La haula walaquwwata ila billah

Wassalam

Dody Ide